DESKRIPSI KITAB, PENGARANG, DAN MASALAH
A. Setting Biografi Jalaluddin al-Suyuti
Al-Şuyūţī nama lengkapnya adalah al-Ḥāfiż ‘Abdurrahmān Ibnu al-Kamāl Abī Bakr Bin Muhammad Bin Sābiq al-Dīn Ibn al-Fakhr ‘Uṣmān Bin Nażīr al-Dīn al-Hamām al-Khudairi al-Şuyūţī. Penulis Mu`jam al-Mallifīn menambahkan: al-Ţālūnī al-Mişrī al-Syāfi`ī, dan diberi gelar Jalāluddīn, serta di panggil dengan nama abdu al-Fadal.
Al-Şuyūţī dilahirkan di wilayah Asyuth sesudah magrib pada malam ahad, bulan Rajab 849 H, begitulah al-Şuyūţī mengatakannya sendiri, dan para sejarawan sepakat tentang tahun kelahiran ini, kecuali Ibnu Iyās dan Isma’īl Pasha al-Bagdādī yang menganggap bahwa kelahiran al-Şuyūţī adalah pada bulan Jumadil akhir. Ia dibesarkan dalam keadaan yatim piatu. Ayahnya meninggal dunia pada malam senin, 5 Safar 855 H, pada saat ia masih berusia 6 tahun.
ó Perjalanan dalam menuntut ilmu:
Pada usia yang amat sangat muda ia telah hafal Al-Quran, dan hafalan ini menjadi sempurna ketika ia menginjak usia 8 tahun. Setelah itu ia lanjutkan dengan menghafal kitab-kitab semisal al-`Umdab, Minhaj al-fiqh, al-Uşūl, dan al-fiyah Ibn Mālik.
Selanjutnya ia menekuni berbagai bidang ilmu dan saat itu usianya baru menginjak usia 16 tahun, yakni pada tahun 864 H. Ia mempelajari Fiqh dan Nahwu dari beberapa guru, dan mengambil ‘ilmu Farāid dari ulama di jamannya yakni Syaikh Syihāb al-Dīn al-Syarmasahī, lalu menimba Ilmu Fiqh kepada syaikh al-Islām al-Balqinī sampai yang disebut terakhir ini wafat, dan dilanjutkan oleh putranya `Ilmuddīn al-Balqinī. Ia kemudian berguru kepada Muhyiddīn al-Kafayāji selama 14 tahun. Dari ulama ini ia menyerap Ilmu al-Tafsir dan Ushul, Lughah dan ma`ani, lalu menyusun buku-buku ringkas tentang ilmu-ilmu ini.
Selain itu, al-Şuyūţī juga telah mendatangi syaikh Safuddīn al-Hanafi dan berulangkali mengkaji kitab al-Mukasyāf dan al-Taudīh. Ia pernah pula dikirim orang tuanya mengikuti majelis yang diselenggarakan oleh al-Ḥāfiẓ Ibnu Hajar, dan mengkaji Şahīh Muslim sampai hampir tamat. Kepada al-Syairafī di samping kitab-kitab lain seperti al-Syifā`, al-Fiyah Ibnu Mālik, Syarh al-Syudūr, al-Mughnī, sebuah kitab Ushul Fiqh Mażab Ĥanafiyah dan syarhnya pada Syams al- Marzabani al-Hanafi, dan mendengarkan pengajian kitab al-Mutawassiţ serta al-Safiyah berikut syarhnya yang ditulis oleh al-Jarudi yang disampaikan oleh ulama ini. Selain itu, mempelajari juga Alfiah karya al-`Irāqi, dan menghadiri pengajian ilmiah yang diberikan al-Balqinī. Dari ulama yang disebut terakhir itu, al-Şuyūţī menyerap ilmu yang tidak terhingga jumlahnya. Sesudah itu ia tinggal bersama al-Syaraf al-Manawī, hingga ulama ini meningggal dunia. Dari ulama ini al-Suyūţi menimba ilmu yang tidak terbilang juga banyaknya. Lalu secara tetap pula mengikuti pengajian yang diberikan oleh Saifuddīn Muhammad Bin Muhammad al-Hanafī, serta pengajian-pengajian yang diberikan oleh al-’Alamah al-Syamanī dan al-Kafijī.
Al-Suyūţī banyak melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu, antara lain ke kota Al-Fayun, Al-Mihlah, Dimyat, lalu menuju Syam dan Hijaj, Yaman, India dan al-Maghrib (Maroko).
Al-Suyūţī kemudian dikenal dengan orang yang begitu dalam ilmunya, dalam tujuh disiplin ilmu : Tafsir, Hadis, Fiqh , Nahwu, Ma’ani, Bayan dan Badi’.
ó Guru dan Murid al-Suyūţī:
Al-Suyūţī mengakui sekitar seratus lima puluhan orang ulama sebagai gurunya, dan yang menonjol diantaranya adalah: Ahmad al-Syarmasāhī, `Umar al-Balqinī, Şālih Bin ‘Umar Bin Ruslān al-Balqinī, Muhyiddīn al-Kafijī, dan Al-Qadhī syarafuddīn al-Manāwī. Selain guru, beliau mempunyai murid yang jumlah ribuan namun yang paling menonjol adalah Syamsuddīn al-Sakhāwī dan Ali al-Asymunī.
ó Pengaruh intelektualitasnya:
Begitu al-Suyūţī menginjak usia 40 tahun, ia segera mengasingkan diri dari keramaian, dan menunjukkan perhatian dalam bidang karang-mengarang, sehingga hanya dalam waktu 22 tahun saja ia telah membanjiri perpustakaan-perpustakaan Islam dengan karya-karyanya dalam berbagai bidang ilmu yang jumlahnya sekitar 600 judul, semisal Tafsir dan Ilmu Tafsir, Hadis dan Ilmu Hadis, Fiqh dan Usul Fiqh, bahasa Arab dengan berbagai cabang ilmunya, Sirah Nabawiyah, dan Tarikh.
Adapun karya al-Suyūţī yang paling menonjol dalam bidang Hadis dan Ilmu Hadis sebagai berikut:
Pertama: Hadis
• Zahr al-Rabbiy ‘Ala Mujtaba li an-Nasā`ī
• Al-Hawalik `Ala Muwat}a` Mālik
• Marqat al-Shū`ud Syarkh Sunan Abi Dāwud
• Jam`u al-Jawāmi`/ al-Jāmi` al-Kabīr
• al-Jāmi` al-Şāgīr
Kedua: Ilmu Hadis
• Tadrīb al-Rāwī bi syarkh Taqrīb al-Nawāwī
• Alfiyah fī al-Ĥadīś
• As`af al-mabtha` bi Rijal al-Muhtha`
• Durr al-Şaĥābah fī Man Nazal al-Nishīr min al-Şahābah
• Naśr al-Abīr fī Takhrīj Ahādīś al-syarkh al-Kabīr
ó Wafatnya:
Kehidup syaikh al-Suyūţī sarat dengan kegiatan menghimpun ilmu dan mengarang. Untuk itu ia mengeram dirinya di rumah dalam kamar khusus yang di sebut Raudhah al-Miqyās dan hampir-hampir tidak beranjak dari situ. Ia terus menerus terlibat dalam hal ini hingga akhir hayatnya sesudah menderita sakit dan kelumpuhan total pada tangan kirinya selama seminggu. Nampaknya karena sakit yang di derita inilah ia lalu meninggal dunia pada hari kamis, 19 Jumadil Ula 911 H di tempat kediamannya, dan dimakamkan di Hausy Qousun.
B. Kitab al-Jami’ al-Saghir
ó Latar Belakang Penulisan Kitab
Usaha ulama ahli hadis pada abad V ditujukan untuk mengklarifikasikan hadis dengan metode menghimpun hadis-hadis yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam suatu kitab hadis. Disamping itu mereka mensyarahkan (menguraikan dengan luas) dan mengikhtisharkan (meringkas) kitab-kitab hadis yang telah disusun oleh ulama terdahulu. Dengan demikian, lahirlah banyak kitab hadis.
Selanjutnya pada abad berikutnya, tepatnya abad X bangkit ulama ahli hadis yang berusaha menciptakan kitab kamus hadis untuk mencari pentakhrij sebuah hadis atau mengetahui dari kitab hadis apa suatu hadis didapatkan. Dan salah satu dari kitab tersebut ialah Kitab kamus al-Jāmi’ al- Şagīr, karya Imam Jalāluddīn al- Suyūţī. Dalam kitab ini terkumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab enam (Kutub al-Sittah) dan lainnya, seperti dalam kitab al Mustadrak karya al Hākim al-Naisābūri, Syu’ab al-Imān karya al Baihāqī, al-Sunan al-Kubrā karya al Baihāqī, dan masih banyak lagi. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 907 H. Adapun Nama lengkap kitab kamus tersebut adalah: االجامع الصغير من أحاديث البشير النّذ ير , dinamakan al-Jāmi’ al-Şagīr karena dalam kitab kamus tersebut memuat sebagian hadis yang telah terhimpun dalam kitab himpunan kutipan hadis yang disususun oleh al-Suyūţī juga, yakni kitab:جمع الجوامع yang sering dikenal juga dengan sebutan الجامع الكبير. sedang dinamakan من أحاديث البشير النّذ ير karena dalam kitab kamus tersebut terdapat hadis-hadis yang didalamya terkandung kabar gembira yang diperuntukkan bagi orang-orang mukmin dan orang-orang yang senantiasa taat kepada Allah, serta peringatan bagi orang-orang kafir dan yang menyimpang dari ajaran agama. Adapun contoh hadis yang berkenaan dengan kabar gembira dan peringatan, dapat dilihat dibawah ini:
إنّ المسلم إذا عاد أخاه المسلم لم يزل في مخرقة الجنّة حتى يرجع
إنّ أبخل الناس من بخل با لسلام, وأعجز الناس من عجز عن الدعاء
ó Sistematika dan Jumlah Hadis dalam Kitab al-Jāmi’ al- Şagīr.
Kitab kamus al-Jāmi’ al- Şagīr terdiri dari dua jilid dengan jumlah hadis 10031, jilid 1 terdiri dari 4367 hadis ( mulai dari hadis-hadis yang yang awalnya أ sampai ر pertengahan awal) dan jilid 2 (mulai dari pertengahan hadis yang yang awalnya ر sampai ي ) terdiri dari 5664 hadis. Adapun penempatan hadis-hadis tersebut diatur berdasarkan urutan huruf-huruf hijaiyyah, dimulai dengan hadis yang huruf pertamanya alif, bā’, tā’ dan seterusnya, begitu juga dengan urutan huruf ke dua, tiga, dan seterusnya. Seperti hadis-hadis yang dimulai dengan huruf bā’, maka huruf berikutnya adalah bā’ dengan alif, bā’ dengan bā’, bā’ dengan tā’ dan seterusnya. Selain itu, penomoran hadis juga berdasarkan pada silsilah urutan hijaiyyah.
Dan untuk lebih jelas mengetahui rincian jumlah hadis yang ada dalam al-Jāmi’ al- Şagīr, dapat dilihat dibawah ini:
1. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf hamzah ( أ ) terdiri dari 3110 hadis.
2. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Ba>’ ( ب ) terdiri dari 79, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Bā’ terdiri dari 37 hadis, jadi total keduanya 116 hadis.
3. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Tā’ ( ت ) terdiri dari 158, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Tā’ terdiri dari 30 hadis, jadi jumlah keduanya 188 hadis.
4. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Şā’ ( ث ) terdiri dari 152, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Şā’ terdiri dari 6 hadis, jadi jumlah keduanya 158 hadis.
5. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Jim ( ج ) terdiri dari 34, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Jim terdiri dari 50 hadis, jadi jumlah keduanya 84 hadis.
6. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Hā’ ( ح ) terdiri dari 115, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Hā’ terdiri dari 101 hadis, jadi jumlah keduanya 216 hadis.
7. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Khā’ ( خ ) terdiri dari 247, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Khā’ terdiri dari 45 hadis, jadi jumlah keduanya 292 hadis.
8. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Dal ( د ) terdiri dari 79, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Dal terdiri dari 65 hadis, jadi jumlah keduanya 144 hadis.
9. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Źal ( ذ ) terdiri dari 39, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Źal terdiri dari 11 hadis, jadi jumlah keduanya 50 hadis.
10. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Rā’ ( ر ) terdiri dari 9 hadis, ini berada pada jilid 1 sedang pada jilid 2 terdiri dari 121, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Rā’ terdiri dari 62 hadis, jadi jumlah totalnya 183 hadis.
11. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Zai ( ز ) terdiri dari 31, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Zai terdiri dari 15 hadis, jadi jumlah totalnya 46 hadis.
12. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Sīn ( س ) terdiri dari 191, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Sīn terdiri dari 64 hadis, jadi jumlah totalnya 255 hadis.
13. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Syīn ( ش ) terdiri dari 69, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Syīn terdiri dari 53 hadis, jadi jumlah totalnya 122 hadis.
14. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Şād ( ص ) terdiri dari 148, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Şād terdiri dari 82 hadis, jadi jumlah totalnya 230 hadis.
15. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Dād ( ض ) terdiri dari 23, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Dād terdiri dari 17 hadis, jadi jumlah totalnya 40 hadis.
16. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Ta’ ( ط ) terdiri dari 81, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Ta’ terdiri dari 29 hadis, jadi jumlah totalnya 110 hadis.
17. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Zā’ (ظ ) terdiri dari 1, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Zā’ terdiri dari 3 hadis, jadi jumlah totalnya 4 hadis.
18. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf ‘Ayn ( ع ) terdiri dari 292, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan‘Ayn terdiri dari 103 hadis, jadi jumlah totalnya 395 hadis.
19. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Gayn ( غ ) terdiri dari 34, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Gayn terdiri dari 39 hadis, jadi jumlah totalnya 73 hadis.
20. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Fā’ ( ف ) terdiri dari 145, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Fa’ terdiri dari 22 hadis, jadi jumlah totalnya 167 hadis.
21. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Qāf ( ق ) terdiri dari 177, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Qaf terdiri dari 27 hadis, jadi jumlah totalnya 204 hadis.
22. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Kāf ( ك ) terdiri dari 251, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Kāf terdiri dari 22 hadis, dan terdapat pula bab (كان) وهي الشمائل الشريفة yang jumlah hadisnya sebanyak 722, jadi jumlah totalnya 995 hadis.
23. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Lām ( ل ) terdiri dari 553, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Lām terdiri dari 11 hadis, jadi jumlah totalnya 564 hadis.
24. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Mīm ( م ) terdiri dari 1373, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Mīm terdiri dari 123 hadis, jadi jumlah totalnya 1496 hadis.
25. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Nūn ( ن ) berjumlah 325 dengan rincian:
Awal lafadznya ( ن ) terdiri dari 39 hadis.
Sedang yang awalnya Nūn dengan menggunakan lafadz نهيت terdiri dari 6 hadis,
Hadis yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Nūn terdiri dari 31 hadis.
Hadis dalam bāb larangan yang letaknya disendirikan berjumlah 249 hadis.
26. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Waw ( و ) terdiri dari 54, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Waw terdiri dari 35 hadis, jadi jumlah totalnya 89 hadis.
27. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Ha’ ( ه ) terdiri dari 23, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Ha’ terdiri dari 5 hadis, jadi jumlah totalnya 28 hadis.
28. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Lām Alif ( لا ) terdiri dari 294 hadis.
29. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Yā’ ( ي ) terdiri dari 39, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Yā’ terdiri dari 5 hadis, jadi jumlah totalnya 44 hadis.
ó Metode Penulisan Kitab
Dalam menuliskan hadis pada kitab kamus al-Jāmi’ al- Şagīr, Jalāluddīn al- Suyūţī menggunakan metode-metode tertentu, diantaranya membagi setiap halaman menjadi dua bagian yakni bagian atas dan bawah, bagian atas halaman berharakat dengan berisikan bunyi hadis sedang bagian bawah tanpa harakat yang beisikan keterang hadis. Dan Hampir pada setiap akhir hadis yang dikutip dalam kitab kamus tersebut diterangkan nama sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis yang bersangkutan, nama Mukharrijnya ( periwayat hadis yang menghimpun hadis dalam kitabnya), dan kualitas hadis. Selain itu, dalam menyebutkan keterangan hadis baik yang berkenaan dengan nama Mukharrij atau kualitas, al- Suyuţī menggunakan rumus-rumus tertentu. Adapun rumus-rumus tersebut berjumlah 33 macam, 3 rumus ( ض, ح, ﺻﺤ ) yang menunjukkan kualitas hadis dan 30 yang rumus yang lain menunjukkan nama periwayat hadis yang menghimpun hadis beserta kitabnya.
Hadis-Hadis tentang larangan dalam Kitab al-Jami’ al-Saghir
A. Nahi dan Hal - Hal yang Berkaitan dengannya.
Secara bahasa, nahi berarti larangan atau cegahan. Sedang secara terminologi, nahi berarti tuntutan atau perintah meninggalkan suatu perbuatan dari yang lebih tinggi kedududkannya kepada yang lebih rendah kedudukannya. Menurut Ulama ahli ushul, nahi adalah suatu lafadz yang digunakan oleh pihak yang lebih tinggi tingkatannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya, supaya tidak mengerjakan suatu pekerajaan.
Khalid Abdurrahman mengartikan nahi sebagai perkataan yang menunjukkan permintaan berhenti dari suatu perbuatan, dari orang yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Sedang menurut Sayyid Ahmad al-Hasyimi adalah tuntutan mencegah perbuatan yang datang dari atasan. Ash-Syafahsi mengatakan bahwa sesungguhnya keharusan larangan adalah meninggalkan yang dilarang sesegera mungkin, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang dilarang.
Dalam penyajian redaksi Kalimat yang itu menunjukkan nahi, biasanya ada beberapa bentuk, yang diantaranya: menggunakan fi’il nahi, lafadz utruk, da’, naha, dan harrama. Larangan seperti halnya perintah, membawa berbagai variasi makna. Meskipun makna pokok dari nahi adalah keharaman (الاصل في النهي للتحريم), tetapi nahi juga seringkali dipakai untuk mengutarakan makna lain, seperti:
1. Kemakruhan perbuatan yang dilarang”
2. Larangan yang mengandung perintah melakukan yang sebaliknya.
3. Nahi bermakna do’a
4. Nahi bermakna Irsyad (bimbingan)
5. Nahi menegaskan keputusasaan
6. Nahi untuk menentramkan.
7. Nahi bermakan Tamanni (harapan)
8. Nahi bermakan Tahdzir (ancaman)
B. Pemaparan Model Redaksi Hadis-Hadis Tentang Larangan
Dalam kitab al-Jami’ al-Saghir, hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan berjumlah 360 hadis, yang mana dari hadis-hadis itu dipaparkan oleh al-Suyuti dengan menggunakan beberapa model redaksi, yang diantaranya adalah dengan menggunakan redaksi awal lafadz hadis naha yang itu dipisahkan dalam satu sub bab tersendiri yang terletak pada akhir bab nun. Selain itu, sama halnya dengan redaksi yang pertama (awal redaksi menggunakan lafadz naha) namun yang sedikit membedakannnya hanyalah pada waqi’nya saja, jika naha yang terdapat pada sub bab khusus itu menggunakan waqi’ mufrad mudzakar ghaib, ini berbeda dengan naha pada model yang kedua ini yang letaknya bercampur dengan hadis – hadis lain yang awal redaksinya menggunakan huruf nun itu menggunakan waqi’ mutakallim wahdah. Model redaksi lainnya adalah dengan menggunakan awal reaksi لا yang disususul dengan fi’il mudahri’(Fi’il Nahi).
Dari deskripsi itu dapat diketahui bahwa hadis-hadis tentang larangan dalam kitab al-Jāmi’ al- Şagīr dipaparkan dengan menggunakan tiga macam bentu redaksi, diantaranya:
1. Hadis-hadis dengan awal readaksi lafadznya menggunakan lafadz naha dengan waqi’ mutakallim wahdah, ini berjumlah sebanyak 6 hadis, adapun mengenai contohnya bisa dilihat sebagai berikut:
٩٢٨٥نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها, فإنّها تذ كّركم الموت
٩۲۸٦نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها, فإنّلكم فيها عبرة
٩٢٨٧نهيت عن التعرّي
٩٢٨٩نهيت عن أن أمشي عريانا
٩٢٩۰نهيت عن المصلّين
٩٢٩١نهيناعن الكلام في الصلاة, إلاّ با لقرآن و الذكر
2. Hadis-hadis dengan awal redaksi lafadznya menggunakan lafadz naha dengan waqi’ mufrad mudzakar ghaib yang itu terletak pada sub bab khusus, berjumlah 249 hadis, sebagian redaksi itu seperti contoh dibawah ini:
نهى عن بيع الثمرة تى يبدو صلاحها, وعن النخل حتى يزهو
نهي عن أكل كل ذي ناب من السباع, و عن كل ذي مخلب من الطير
نهى أن نستقبل ا لقبلتين ببول أو غائط
3. Hadis-hadis dengan awal readaksi lafadznya menggunakan lafadz لا yang disususul dengan fi’il mudahri’. Ini berjumlah sebanyak 105, sebagian contoh hadis-hadis tersebut seperti:
۹۸٦٦ لا تمسّ القران إلاّ وأنت طاهر
٩٨٥٧ لا تكبروا في الصلاة حتى يفرغ المؤذن من أذانه
٩٨٤٢ لا تقتلوا الجراد, فإنّه من جند الله الأعظم
٩٧٧٩ لا تسافر المرأة ثلاثة أيام إلاّ مع ذي محرم
٩٧٢١ لا تأكلوا با الشمال فإنّ الشيطان يأكل بالشمال
۹۸۱٦ لا تصوموا يوم الجمعة مفردا
Namun demikian, dari ketiga macam model redaksi hadis di atas bagaimana dengan makna dan kandungan dari setiap hadis yang berkenaan dengan larangan tersebut, apakah makna dan kandungan kesemuanya hadis-hadis itu sama atau ada hal lain yang membedakannya.
C. Pensyarahan Hadis dan Kualitasnya
Dari sekian banyak hadis yang berkenaan dengan larangan, disini penulis berusaha mensyarahi sebagian hadis dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai makna dari hadis-hadis tentang larangan tersebut, dalam hal ini penulis mengambil 3 hadis yang diambil dari masing-masing model redaksi tersebut:
Contoh 1:
نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها, فإنّها تذ كّركم الموت (رواه الطبراني, ح)
Artinya: “Aku melarangmu untuk zirah kubur, maka berziarahlah karena hal itu bisa mengingatkanmu akan kematian”
Adapun mengenai hasil takhrij hadis tesebut antara lain:
No. Mukharrij Kitab No Hadis
1. Muslim Al-Janaiz 1623
2. Nasa’i Al-Janaiz
Adz-Dhuhaya
Al-Asribah 2005, 2006
4353
5557, 5558
3. Daud Janaiz
Al-Asyribah 2816
3212
4. Ahmad bin Hanbal Baqi Musnad al-Ansar 21880, 21925, 21937, 21960, 21974
Syarah Hadis:
An-Nawawi: menjelaskan bahwa hadis ini merupakan salah satu hadis yang didalamnya terdapat aplikasi nasakh mansukh, ini akan tampak jelas pada kisah seorang lelaki yang mana saat ia akan melakukan ziarah kubur nabi melarangnya, akan tetapi larangan itu kemudian dinasakh dengan hadis itu sendiri tepatnya pada kelanjutan redaksi hadis tersebut, yang menunjukkan perintah akan dilakukannya ziarah kubur, adapun untuk kaum wanita masalah ziarah kubur masih menjadi perdebatan diantara para ulama.
Muhammad Abdurahman dalam Tuhfatul Ahwadhi, menjelaskan bahwa setelah datang larangan akan ziarah kubur, datang perintah untuk melakukan ziarah kubur yang mana ini terlihat pada kejadian yang mana Nabi Muhammad saat memeberikan izin untuk berziarah kubur, disamping itu beliau juga berziarah ke makan ibunya. Ibn ‘Amr mengatakan bahwa ziarah kubur itu wajib dilakukan karena itu bisa mengingatkan umat manusia akan adanya kematian yang sewaktu-waktu bisa datang merenggut nyawa manusia.
As-Sindi, mengatakan bahwa dalam hadis tersebut terdapat nasakh dan mansukh, adapun mengenai dibolehkannya ziarah kubur itu bersifat umum dan tidak hanya diperuntukkan untuk para kaum adam saja, namun para kaum hawa juga mendapatkan rukhsah pembolehan itu, hal ini dengan mempertimbangkan bahwa dalam redaksi hadis tersebut tidaka ada lafadz atau ‘illah yang menunjukkan akan dilarangnya kaum hawa untuk berziarah kubur.
Dari beberapa uraian syarah hadis tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa adanya larangan yang disusul dengan perintah itu menunjukkan akan bolehny asuatu perbuatan untuk dilakukan bahkan wajibnya suatu pekara untuk dikerjakan, dan oleh karenanya nahi di sini bermakna perintah bukan larangan lagi.
Kritik sanad hadis:
Berdasrakan keterangan akan kualitas hadis yang tertera dalam kitab al-Jami’ al-Saghir, menurut al-Suyuti hadis di atas berkualitas hasan. Dan untuk membuktikan akan kehasanan hadis tersebut, penulis di sisni melakukan kroscek ulang dengan menggunakan perantara CD ROM Masu’ah al-Hadis al-Syarif, dengan mengecek ulang kualiatas hadis tersebut serta hadis-hadis hasil takhrijnya, dan itu menunjukkan bahwa hadis itu memangberkualaitas hasan, sebab dari beberapa rentetan sanadnya, ada dua rawi yang menduduki tingkatan ke 4 dan ke 5 yang mana itu merupakan salah satu bukti akan kehasanan hadis itu.
Contoh 2:
نهى عن الشرب قائما و الأكل قائما (صح)
Artinya: “Rasulullah melarang minum dengan berdiri dan makan dengan berdiri”
Adapun mengenai hasil takhrij hadis tesebut antara lain:
No. Mukharrij Kitab No Hadis
1. Muslim Al-Asribah 3774, 3772, 3771
2. Ibn Majah Al-Asribah 3415
3. Ahmad bin Hanbal Baqi Musnad al-Ansar 7985, 11740, 11888, 12033
4. Darimi Al-Asribah 2034
5. Turmudzi Al-Asribah ‘an Rasulullah 1800
6. Abu Daud Al-Asribah 3229
Syarah Hadis:
An-Nawawi, menjelaskan bahwa Nabi SAW melarang minum dalam keadaan berdiri, bahkan dalam riwayatnya Abu hurairah dijelaskan bahwa barang siapa terlanjur minun dalam keadaan berdiri hendaknya ia memuntahkan apa yang ia telah ia minum, namun demikian diriwayatkan oleh Ibn Abbas bahwa Nabi minum air zam—zam dalam keadaan berdiri, dari dua riwayat tersebut ada makna yang seakan-akan itu bertentangan, namun demikian setelah diteliti kedua riwayat tersebut bisa dikompromikan. Adapun mengenai hukum meminum dalam keadaan berdiri itu adalah makruh tanzih (makruh yang mendekati halal). Jadi, dalam kedua hadis tersebut nabi menggambarkan akan adab minum, dan dari dua riwayat itu tampak bahwa kalaupun seseorang terpaksa minum dalam keadaan berdiri maka itu hukumnya makruh, dan kalaupun tidak dalam keadaan terpaksa untuk minum dalam keadaan berdiri sebaiknya minum dalam keadaan duduk, sebab suatu hal yang hukumnya makruh lebih baik dijauhi selagi pelaku mampu dan sanggup.
Abu Tayyib dalam Aunul Ma’bud, menjelaskan tidak jauh beda dengan penjelasan yang diberikan oleh an-Nawawi bahwa ada dua hadis yang seakan-akan bertentangan, namun pada hakikatnya itu tidaklah bertentangan. Satu golongan menjelasakan bahwa kedua hadis itu bisa dikompromikan, namun ada juga golongan lain yang menyatakan bahwa hadis yang menyatakan bahwa nabi minum dalam keadaan berdiri itu muncul terlebih dahulu yang kemudian hadis itu disusul dengan hadis yang menjelaskan akan larangan minum dengan berdiri. Sahabat ‘Ikrimah memberikan penjelasan serta bersumpah bahwa nabi pernah minum dalam keadaan berdiri namun itu karena terpaksa dan beliau sedang berada di atas kendaran. Golongan lain berkata bahwa nahi disini tidaklah bermakna larangan namun bermakna irsyad (membimbing atau menunjukkan) agar meninggalkan yang pertama (minum dalam keadaan berdiri) yang menurut adab itu kurang bagus.
Ibn Qayyim al-Jauzi, jika an-Nawawi dan Abu Tayyib dalam menyikapi dua hadis yang seakan-akan bertentang itu mereka memaparkan akan adanya kemungkinan untuk kompromi namun ada juga kemungkinan nasakh mansukh , di sini Ibn Qayyim berbeda dengan mereka berdua. Ibn Qayyim secara tegas menjelaskan bahwa kedua hadis tersebut (nabi minum dalam keadaanberdiri dan larangan minum berdiri) adalah nasakh mansukh, yakni hadis yang menjelaskan bahwa nabi minum dala keadaan beridiri itu dinasakh oleh hadis larangan minum berdiri.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa hadis nahi dalam hads tersebut beramakna irsyad (menunjukkan), selain itu hukum minum dalam keadaan berdiri adalah makruh tanzih, selagi kita mampu untuk menghindari hal-hal yang makruh sebaiknya itu dilakukan, namun kalaupun dalam keadaan yang sangat terpaksa hal itu boleh dilakukan dengan catatan tidak terlalu sering, karena kalau keseringan bisa berdampak menjadi kebiasaan, dan kebiasaan melakukan hal makruh itu tidaklah baik.
Kritik Sanad Hadis:
Jalaluddin al-Suyuti dalam kitabnya menjelasakn bahwa hadis tersebut berkualitas shahih, setelah mengecek ulang kalitas hadis tersebut serta hadis-hadis lain hasil takhrijnya melalui CD ROM Masu’ah al-Hadis al-Syarif, nampaknya dalam menilai kualitas suatu hadis AL-Suyuti lebih memilih pada kualitas yang mayoritas, karena dari hadis di atas dan juga takhrijnya penulismenemukan dua kulaitas hadis tersebut. Kesemuanya hadis baik hadis pokok ataupun hadis hasil takrij mayoritas berkualitas shahih, sedang yang berkualitas hasan hanya pada riwayat Muslim (3774), Ibn Majah (3415), dan Ahmad (7985).
Contoh 3:
لا تأكلوا بالشمال، فإن الشيطان يأكل بالشمال : (ه) عن جابر , (ح)
Artinya: “Janganlah makan dengan menggunakan tangan kiri, karena sesungguhnya syaitan makan dengan tangan kiri.
No. Mukharrij Kitab No Hadis
1. Muslim Al-Asribah 3763
2. Ibn Majah Al-Ath’imah 3259
3. Ahmad bin Hanbal Baqi Musnad al-Ansar 13604, 13662, 13930, 13980, 14060, 14178, 14327, 14620, 1438
4. At-Turmudzi Al-Ath’imah 1721
Syarah Hadis:
An-Nawawi, menjelaskan bahwa hadis di atas mengandung makna akan sunnahnya makan dan minum dengan menggunakan tangan kanan dan makruh nya keduanya dengan menggunakan tangan kiri. Dan kalaupun makan dan minum dengan menggunkan tangan kiri hendaknya itu hanya dalam keadaan dharurat saja seperti halnya tangan kanannya luka atau terkilir dan sebagainya. Dan kalaupun dalam keadaan sehat bugar menjauhi perbuatan yang itu serupa dengan perbuatan syaitan haruslah dilakukan.
Muhammad Abdurahman dalam Tuhfatul Ahwadhi, dalam mensyarahi hadis di atas Muhammad Abdurrahman berpegang pada dua pendapat, pendapat pertama menyatakan bahwa nahi dalam hadis tersebut bermakna karahah (makruh) yang mana argumen ini beliau nukil dari ucapan al-Syaukani, sedang pendapat kedua makna nahi dalam ahdis tersebut adalah wajib yakni wajibnya untuk melakukan yang sebaliknya (makan dan minum dengan menggunakan tangan kanan), hal in untuk membedakan antara ni’mat dan penyakit.
Berdasarkan uraian syarah hadis diatas, dapat difahami bahwa nahi dalam hadis tersebut disamping dapat difahami sebagai kemakruhan suatu perbuatan juga bisa menunjukkan akan wajibnya melakukan hal yang sebaliknya.
Kritik Sanad Hadis:
Berdasarkan kualitas yang diberikan oleh Jalaluddin al-Suyuti, hadis tersebut berkualitas hasan. Dan setelah mengkroscek ulang kualitas hadis tersebut serta hasil takhrijnya mayoritas berkualitas hasan, namun demikian ada dua hadis yang berkualitas shahih: at-Turmudzi (1721), Ahmad (1438)
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa hadis-hadis larangan dalam kitab al-Jami’ al-Saghir kandungan maknanya bukan hanya mengenai makna tahrim (keharaman) yang mana biasanya seseorang dalam memaknai sebuah larangan kebanyakan langsung menjastifikasi bahwa semua larangan itu bermakna tahrim, dari penelitian di atas di dapatkan makna lain dari sebuah nahi (larangan) selain makna tahrim, yang diantaranya adalah makna wajib yang itu sebagaimana didapatkan dalam pensyarahan hadis pada contoh nomor satu, sedang pada contoh nomor dua didapatkan nahi dengan makan irsyad (menunjukkan atau membimbing), dan pada contoh nomor tiga makna nahi nya menunjukkan akan kemakruhan namun ada juga yang berpendapat nahi pada hadis tersebut bermakan kewajiban melakukan yang sebaliknya. Selain itu kualitas dari hadis-hadis yang diteliti rata-rata menduduki tingkatan shahih dan hasan, dengan demikian hadis tersebut bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa hawatir mengenai palsu atau tidaknya hadis itu.
B. Saran-saran
Demikianlah hasil penelitian hadis-hadis tentang larangan dalam kitab al-Jami’ al-Saghir, untuk menunjang dan meningkatkan kajian tentang makna serta kandungan nahi dalam suatu hadis yang selama ini kurang mendapatkan perhatian para cendekiawan, penulis berharap ada penelitian yang melanjutkan bahasan tentang nahi dalam hadis dengan mengkajinya secara mendalam dengan merujuk pada kitab-kitab lain yang belum dipakai dalam penelitian ini sehingga dapat ditemukan makna dan kandungan nahi yang lain serta aspek lain yang belum dibahas dalam penrlitian ini.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Khalid. Ushull al-Tafsir wa Qawaiduha. Beirut: Dar al-Nafais. 1986.
Al-Adzim, al-Fadhil al-Jalil Abu al-Tayyib Muhammad al-Syahir Syamsuddin al-Haq. Aunul Ma’bud, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Al Mubarakfuri, Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim. Tuhfah al-Ahwadhi, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Al-Sindi. Hasyiyah al-Sindi ‘aaibn Majah, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Al-Suyuti, Jalaluddin. Jam’u al-Jawami’, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah. Versi Edisi 2.11.
_________________. Jami’ al-Ahadis, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah. Versi Edisi 2.11.
_________________. al-Jāmi’ al-Śagīr. Beirut: Dar al Fikri. tt.
_________________. Proses lahirnya sebuah Hadits. Bandung: Pustaka. 1985.
Al-Manawi, Abdur Rauf. Faidh al-Qadīr, DVD al-Maktabah al-Syāmilah, ( Solo: Pustaka Ridwana, 2004), jilid 1, hlm. 16.
An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Chirzin, Muhammad. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. 2003.
Depag RI. Ushul Fiqh II, Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad. Jakarta: Proyek
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama. 1986.
Ibn Bakr, Syamsuddin Muhammad. Ta’liqat al-Huffadz, dalam CD ROM Masu’ah al-Hadis al-Syarif
Ismail, Syuhudi. Cara Praktis Mencari Hadis. Jakarta: Bulan Bintang. 1991.
Kamāl, Mustafā (dkk.). ‘Ulum al-Ḥadīś. Jakarta: Depag. 1997.
Sayyid Ahmad al-Hasyimi. Mutiara Ilmu Balaghah dalam Ilmu Ma’ani, terj Muhammad Zuhri dan K Ahmad Chumaidi Umar. Surabaya: Mutiara Ilmu. 1994.
Siswanto, Deding. Ushul Fiqh, Bag 2. Bandung: PT Armico. 1993.
Zarkasyi, Imām. “Kajian Kitab Hadis al Jami’” dalam http.Indoskripsi.com, diakses tanggal 24 April 2009.
DESKRIPSI KITAB, PENGARANG, DAN MASALAH
A. Setting Biografi Jalaluddin al-Suyuti
Al-Şuyūţī nama lengkapnya adalah al-Ḥāfiż ‘Abdurrahmān Ibnu al-Kamāl Abī Bakr Bin Muhammad Bin Sābiq al-Dīn Ibn al-Fakhr ‘Uṣmān Bin Nażīr al-Dīn al-Hamām al-Khudairi al-Şuyūţī. Penulis Mu`jam al-Mallifīn menambahkan: al-Ţālūnī al-Mişrī al-Syāfi`ī, dan diberi gelar Jalāluddīn, serta di panggil dengan nama abdu al-Fadal.
Al-Şuyūţī dilahirkan di wilayah Asyuth sesudah magrib pada malam ahad, bulan Rajab 849 H, begitulah al-Şuyūţī mengatakannya sendiri, dan para sejarawan sepakat tentang tahun kelahiran ini, kecuali Ibnu Iyās dan Isma’īl Pasha al-Bagdādī yang menganggap bahwa kelahiran al-Şuyūţī adalah pada bulan Jumadil akhir. Ia dibesarkan dalam keadaan yatim piatu. Ayahnya meninggal dunia pada malam senin, 5 Safar 855 H, pada saat ia masih berusia 6 tahun.
ó Perjalanan dalam menuntut ilmu:
Pada usia yang amat sangat muda ia telah hafal Al-Quran, dan hafalan ini menjadi sempurna ketika ia menginjak usia 8 tahun. Setelah itu ia lanjutkan dengan menghafal kitab-kitab semisal al-`Umdab, Minhaj al-fiqh, al-Uşūl, dan al-fiyah Ibn Mālik.
Selanjutnya ia menekuni berbagai bidang ilmu dan saat itu usianya baru menginjak usia 16 tahun, yakni pada tahun 864 H. Ia mempelajari Fiqh dan Nahwu dari beberapa guru, dan mengambil ‘ilmu Farāid dari ulama di jamannya yakni Syaikh Syihāb al-Dīn al-Syarmasahī, lalu menimba Ilmu Fiqh kepada syaikh al-Islām al-Balqinī sampai yang disebut terakhir ini wafat, dan dilanjutkan oleh putranya `Ilmuddīn al-Balqinī. Ia kemudian berguru kepada Muhyiddīn al-Kafayāji selama 14 tahun. Dari ulama ini ia menyerap Ilmu al-Tafsir dan Ushul, Lughah dan ma`ani, lalu menyusun buku-buku ringkas tentang ilmu-ilmu ini.
Selain itu, al-Şuyūţī juga telah mendatangi syaikh Safuddīn al-Hanafi dan berulangkali mengkaji kitab al-Mukasyāf dan al-Taudīh. Ia pernah pula dikirim orang tuanya mengikuti majelis yang diselenggarakan oleh al-Ḥāfiẓ Ibnu Hajar, dan mengkaji Şahīh Muslim sampai hampir tamat. Kepada al-Syairafī di samping kitab-kitab lain seperti al-Syifā`, al-Fiyah Ibnu Mālik, Syarh al-Syudūr, al-Mughnī, sebuah kitab Ushul Fiqh Mażab Ĥanafiyah dan syarhnya pada Syams al- Marzabani al-Hanafi, dan mendengarkan pengajian kitab al-Mutawassiţ serta al-Safiyah berikut syarhnya yang ditulis oleh al-Jarudi yang disampaikan oleh ulama ini. Selain itu, mempelajari juga Alfiah karya al-`Irāqi, dan menghadiri pengajian ilmiah yang diberikan al-Balqinī. Dari ulama yang disebut terakhir itu, al-Şuyūţī menyerap ilmu yang tidak terhingga jumlahnya. Sesudah itu ia tinggal bersama al-Syaraf al-Manawī, hingga ulama ini meningggal dunia. Dari ulama ini al-Suyūţi menimba ilmu yang tidak terbilang juga banyaknya. Lalu secara tetap pula mengikuti pengajian yang diberikan oleh Saifuddīn Muhammad Bin Muhammad al-Hanafī, serta pengajian-pengajian yang diberikan oleh al-’Alamah al-Syamanī dan al-Kafijī.
Al-Suyūţī banyak melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu, antara lain ke kota Al-Fayun, Al-Mihlah, Dimyat, lalu menuju Syam dan Hijaj, Yaman, India dan al-Maghrib (Maroko).
Al-Suyūţī kemudian dikenal dengan orang yang begitu dalam ilmunya, dalam tujuh disiplin ilmu : Tafsir, Hadis, Fiqh , Nahwu, Ma’ani, Bayan dan Badi’.
ó Guru dan Murid al-Suyūţī:
Al-Suyūţī mengakui sekitar seratus lima puluhan orang ulama sebagai gurunya, dan yang menonjol diantaranya adalah: Ahmad al-Syarmasāhī, `Umar al-Balqinī, Şālih Bin ‘Umar Bin Ruslān al-Balqinī, Muhyiddīn al-Kafijī, dan Al-Qadhī syarafuddīn al-Manāwī. Selain guru, beliau mempunyai murid yang jumlah ribuan namun yang paling menonjol adalah Syamsuddīn al-Sakhāwī dan Ali al-Asymunī.
ó Pengaruh intelektualitasnya:
Begitu al-Suyūţī menginjak usia 40 tahun, ia segera mengasingkan diri dari keramaian, dan menunjukkan perhatian dalam bidang karang-mengarang, sehingga hanya dalam waktu 22 tahun saja ia telah membanjiri perpustakaan-perpustakaan Islam dengan karya-karyanya dalam berbagai bidang ilmu yang jumlahnya sekitar 600 judul, semisal Tafsir dan Ilmu Tafsir, Hadis dan Ilmu Hadis, Fiqh dan Usul Fiqh, bahasa Arab dengan berbagai cabang ilmunya, Sirah Nabawiyah, dan Tarikh.
Adapun karya al-Suyūţī yang paling menonjol dalam bidang Hadis dan Ilmu Hadis sebagai berikut:
Pertama: Hadis
• Zahr al-Rabbiy ‘Ala Mujtaba li an-Nasā`ī
• Al-Hawalik `Ala Muwat}a` Mālik
• Marqat al-Shū`ud Syarkh Sunan Abi Dāwud
• Jam`u al-Jawāmi`/ al-Jāmi` al-Kabīr
• al-Jāmi` al-Şāgīr
Kedua: Ilmu Hadis
• Tadrīb al-Rāwī bi syarkh Taqrīb al-Nawāwī
• Alfiyah fī al-Ĥadīś
• As`af al-mabtha` bi Rijal al-Muhtha`
• Durr al-Şaĥābah fī Man Nazal al-Nishīr min al-Şahābah
• Naśr al-Abīr fī Takhrīj Ahādīś al-syarkh al-Kabīr
ó Wafatnya:
Kehidup syaikh al-Suyūţī sarat dengan kegiatan menghimpun ilmu dan mengarang. Untuk itu ia mengeram dirinya di rumah dalam kamar khusus yang di sebut Raudhah al-Miqyās dan hampir-hampir tidak beranjak dari situ. Ia terus menerus terlibat dalam hal ini hingga akhir hayatnya sesudah menderita sakit dan kelumpuhan total pada tangan kirinya selama seminggu. Nampaknya karena sakit yang di derita inilah ia lalu meninggal dunia pada hari kamis, 19 Jumadil Ula 911 H di tempat kediamannya, dan dimakamkan di Hausy Qousun.
B. Kitab al-Jami’ al-Saghir
ó Latar Belakang Penulisan Kitab
Usaha ulama ahli hadis pada abad V ditujukan untuk mengklarifikasikan hadis dengan metode menghimpun hadis-hadis yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam suatu kitab hadis. Disamping itu mereka mensyarahkan (menguraikan dengan luas) dan mengikhtisharkan (meringkas) kitab-kitab hadis yang telah disusun oleh ulama terdahulu. Dengan demikian, lahirlah banyak kitab hadis.
Selanjutnya pada abad berikutnya, tepatnya abad X bangkit ulama ahli hadis yang berusaha menciptakan kitab kamus hadis untuk mencari pentakhrij sebuah hadis atau mengetahui dari kitab hadis apa suatu hadis didapatkan. Dan salah satu dari kitab tersebut ialah Kitab kamus al-Jāmi’ al- Şagīr, karya Imam Jalāluddīn al- Suyūţī. Dalam kitab ini terkumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab enam (Kutub al-Sittah) dan lainnya, seperti dalam kitab al Mustadrak karya al Hākim al-Naisābūri, Syu’ab al-Imān karya al Baihāqī, al-Sunan al-Kubrā karya al Baihāqī, dan masih banyak lagi. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 907 H. Adapun Nama lengkap kitab kamus tersebut adalah: االجامع الصغير من أحاديث البشير النّذ ير , dinamakan al-Jāmi’ al-Şagīr karena dalam kitab kamus tersebut memuat sebagian hadis yang telah terhimpun dalam kitab himpunan kutipan hadis yang disususun oleh al-Suyūţī juga, yakni kitab:جمع الجوامع yang sering dikenal juga dengan sebutan الجامع الكبير. sedang dinamakan من أحاديث البشير النّذ ير karena dalam kitab kamus tersebut terdapat hadis-hadis yang didalamya terkandung kabar gembira yang diperuntukkan bagi orang-orang mukmin dan orang-orang yang senantiasa taat kepada Allah, serta peringatan bagi orang-orang kafir dan yang menyimpang dari ajaran agama. Adapun contoh hadis yang berkenaan dengan kabar gembira dan peringatan, dapat dilihat dibawah ini:
إنّ المسلم إذا عاد أخاه المسلم لم يزل في مخرقة الجنّة حتى يرجع
إنّ أبخل الناس من بخل با لسلام, وأعجز الناس من عجز عن الدعاء
ó Sistematika dan Jumlah Hadis dalam Kitab al-Jāmi’ al- Şagīr.
Kitab kamus al-Jāmi’ al- Şagīr terdiri dari dua jilid dengan jumlah hadis 10031, jilid 1 terdiri dari 4367 hadis ( mulai dari hadis-hadis yang yang awalnya أ sampai ر pertengahan awal) dan jilid 2 (mulai dari pertengahan hadis yang yang awalnya ر sampai ي ) terdiri dari 5664 hadis. Adapun penempatan hadis-hadis tersebut diatur berdasarkan urutan huruf-huruf hijaiyyah, dimulai dengan hadis yang huruf pertamanya alif, bā’, tā’ dan seterusnya, begitu juga dengan urutan huruf ke dua, tiga, dan seterusnya. Seperti hadis-hadis yang dimulai dengan huruf bā’, maka huruf berikutnya adalah bā’ dengan alif, bā’ dengan bā’, bā’ dengan tā’ dan seterusnya. Selain itu, penomoran hadis juga berdasarkan pada silsilah urutan hijaiyyah.
Dan untuk lebih jelas mengetahui rincian jumlah hadis yang ada dalam al-Jāmi’ al- Şagīr, dapat dilihat dibawah ini:
1. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf hamzah ( أ ) terdiri dari 3110 hadis.
2. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Ba>’ ( ب ) terdiri dari 79, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Bā’ terdiri dari 37 hadis, jadi total keduanya 116 hadis.
3. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Tā’ ( ت ) terdiri dari 158, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Tā’ terdiri dari 30 hadis, jadi jumlah keduanya 188 hadis.
4. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Şā’ ( ث ) terdiri dari 152, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Şā’ terdiri dari 6 hadis, jadi jumlah keduanya 158 hadis.
5. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Jim ( ج ) terdiri dari 34, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Jim terdiri dari 50 hadis, jadi jumlah keduanya 84 hadis.
6. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Hā’ ( ح ) terdiri dari 115, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Hā’ terdiri dari 101 hadis, jadi jumlah keduanya 216 hadis.
7. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Khā’ ( خ ) terdiri dari 247, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Khā’ terdiri dari 45 hadis, jadi jumlah keduanya 292 hadis.
8. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Dal ( د ) terdiri dari 79, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Dal terdiri dari 65 hadis, jadi jumlah keduanya 144 hadis.
9. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Źal ( ذ ) terdiri dari 39, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Źal terdiri dari 11 hadis, jadi jumlah keduanya 50 hadis.
10. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Rā’ ( ر ) terdiri dari 9 hadis, ini berada pada jilid 1 sedang pada jilid 2 terdiri dari 121, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Rā’ terdiri dari 62 hadis, jadi jumlah totalnya 183 hadis.
11. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Zai ( ز ) terdiri dari 31, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Zai terdiri dari 15 hadis, jadi jumlah totalnya 46 hadis.
12. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Sīn ( س ) terdiri dari 191, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Sīn terdiri dari 64 hadis, jadi jumlah totalnya 255 hadis.
13. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Syīn ( ش ) terdiri dari 69, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Syīn terdiri dari 53 hadis, jadi jumlah totalnya 122 hadis.
14. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Şād ( ص ) terdiri dari 148, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Şād terdiri dari 82 hadis, jadi jumlah totalnya 230 hadis.
15. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Dād ( ض ) terdiri dari 23, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Dād terdiri dari 17 hadis, jadi jumlah totalnya 40 hadis.
16. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Ta’ ( ط ) terdiri dari 81, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Ta’ terdiri dari 29 hadis, jadi jumlah totalnya 110 hadis.
17. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Zā’ (ظ ) terdiri dari 1, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Zā’ terdiri dari 3 hadis, jadi jumlah totalnya 4 hadis.
18. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf ‘Ayn ( ع ) terdiri dari 292, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan‘Ayn terdiri dari 103 hadis, jadi jumlah totalnya 395 hadis.
19. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Gayn ( غ ) terdiri dari 34, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Gayn terdiri dari 39 hadis, jadi jumlah totalnya 73 hadis.
20. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Fā’ ( ف ) terdiri dari 145, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Fa’ terdiri dari 22 hadis, jadi jumlah totalnya 167 hadis.
21. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Qāf ( ق ) terdiri dari 177, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Qaf terdiri dari 27 hadis, jadi jumlah totalnya 204 hadis.
22. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Kāf ( ك ) terdiri dari 251, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Kāf terdiri dari 22 hadis, dan terdapat pula bab (كان) وهي الشمائل الشريفة yang jumlah hadisnya sebanyak 722, jadi jumlah totalnya 995 hadis.
23. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Lām ( ل ) terdiri dari 553, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Lām terdiri dari 11 hadis, jadi jumlah totalnya 564 hadis.
24. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Mīm ( م ) terdiri dari 1373, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Mīm terdiri dari 123 hadis, jadi jumlah totalnya 1496 hadis.
25. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Nūn ( ن ) berjumlah 325 dengan rincian:
Awal lafadznya ( ن ) terdiri dari 39 hadis.
Sedang yang awalnya Nūn dengan menggunakan lafadz نهيت terdiri dari 6 hadis,
Hadis yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Nūn terdiri dari 31 hadis.
Hadis dalam bāb larangan yang letaknya disendirikan berjumlah 249 hadis.
26. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Waw ( و ) terdiri dari 54, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Waw terdiri dari 35 hadis, jadi jumlah totalnya 89 hadis.
27. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Ha’ ( ه ) terdiri dari 23, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Ha’ terdiri dari 5 hadis, jadi jumlah totalnya 28 hadis.
28. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Lām Alif ( لا ) terdiri dari 294 hadis.
29. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Yā’ ( ي ) terdiri dari 39, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Yā’ terdiri dari 5 hadis, jadi jumlah totalnya 44 hadis.
ó Metode Penulisan Kitab
Dalam menuliskan hadis pada kitab kamus al-Jāmi’ al- Şagīr, Jalāluddīn al- Suyūţī menggunakan metode-metode tertentu, diantaranya membagi setiap halaman menjadi dua bagian yakni bagian atas dan bawah, bagian atas halaman berharakat dengan berisikan bunyi hadis sedang bagian bawah tanpa harakat yang beisikan keterang hadis. Dan Hampir pada setiap akhir hadis yang dikutip dalam kitab kamus tersebut diterangkan nama sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis yang bersangkutan, nama Mukharrijnya ( periwayat hadis yang menghimpun hadis dalam kitabnya), dan kualitas hadis. Selain itu, dalam menyebutkan keterangan hadis baik yang berkenaan dengan nama Mukharrij atau kualitas, al- Suyuţī menggunakan rumus-rumus tertentu. Adapun rumus-rumus tersebut berjumlah 33 macam, 3 rumus ( ض, ح, ﺻﺤ ) yang menunjukkan kualitas hadis dan 30 yang rumus yang lain menunjukkan nama periwayat hadis yang menghimpun hadis beserta kitabnya.
Hadis-Hadis tentang larangan dalam Kitab al-Jami’ al-Saghir.
A. Nahi dan Hal - Hal yang Berkaitan dengannya.
Secara bahasa, nahi berarti larangan atau cegahan. Sedang secara terminologi, nahi berarti tuntutan atau perintah meninggalkan suatu perbuatan dari yang lebih tinggi kedududkannya kepada yang lebih rendah kedudukannya. Menurut Ulama ahli ushul, nahi adalah suatu lafadz yang digunakan oleh pihak yang lebih tinggi tingkatannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya, supaya tidak mengerjakan suatu pekerajaan.
Khalid Abdurrahman mengartikan nahi sebagai perkataan yang menunjukkan permintaan berhenti dari suatu perbuatan, dari orang yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Sedang menurut Sayyid Ahmad al-Hasyimi adalah tuntutan mencegah perbuatan yang datang dari atasan. Ash-Syafahsi mengatakan bahwa sesungguhnya keharusan larangan adalah meninggalkan yang dilarang sesegera mungkin, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang dilarang.
Dalam penyajian redaksi Kalimat yang itu menunjukkan nahi, biasanya ada beberapa bentuk, yang diantaranya: menggunakan fi’il nahi, lafadz utruk, da’, naha, dan harrama. Larangan seperti halnya perintah, membawa berbagai variasi makna. Meskipun makna pokok dari nahi adalah keharaman (الاصل في النهي للتحريم), tetapi nahi juga seringkali dipakai untuk mengutarakan makna lain, seperti:
1. Kemakruhan perbuatan yang dilarang”
2. Larangan yang mengandung perintah melakukan yang sebaliknya.
3. Nahi bermakna do’a
4. Nahi bermakna Irsyad (bimbingan)
5. Nahi menegaskan keputusasaan
6. Nahi untuk menentramkan.
7. Nahi bermakan Tamanni (harapan)
8. Nahi bermakan Tahdzir (ancaman)
B. Pemaparan Model Redaksi Hadis-Hadis Tentang Larangan
Dalam kitab al-Jami’ al-Saghir, hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan berjumlah 360 hadis, yang mana dari hadis-hadis itu dipaparkan oleh al-Suyuti dengan menggunakan beberapa model redaksi, yang diantaranya adalah dengan menggunakan redaksi awal lafadz hadis naha yang itu dipisahkan dalam satu sub bab tersendiri yang terletak pada akhir bab nun. Selain itu, sama halnya dengan redaksi yang pertama (awal redaksi menggunakan lafadz naha) namun yang sedikit membedakannnya hanyalah pada waqi’nya saja, jika naha yang terdapat pada sub bab khusus itu menggunakan waqi’ mufrad mudzakar ghaib, ini berbeda dengan naha pada model yang kedua ini yang letaknya bercampur dengan hadis – hadis lain yang awal redaksinya menggunakan huruf nun itu menggunakan waqi’ mutakallim wahdah. Model redaksi lainnya adalah dengan menggunakan awal reaksi لا yang disususul dengan fi’il mudahri’(Fi’il Nahi).
Dari deskripsi itu dapat diketahui bahwa hadis-hadis tentang larangan dalam kitab al-Jāmi’ al- Şagīr dipaparkan dengan menggunakan tiga macam bentu redaksi, diantaranya:
1. Hadis-hadis dengan awal readaksi lafadznya menggunakan lafadz naha dengan waqi’ mutakallim wahdah, ini berjumlah sebanyak 6 hadis, adapun mengenai contohnya bisa dilihat sebagai berikut:
٩٢٨٥نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها, فإنّها تذ كّركم الموت
٩۲۸٦نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها, فإنّلكم فيها عبرة
٩٢٨٧نهيت عن التعرّي
٩٢٨٩نهيت عن أن أمشي عريانا
٩٢٩۰نهيت عن المصلّين
٩٢٩١نهيناعن الكلام في الصلاة, إلاّ با لقرآن و الذكر
2. Hadis-hadis dengan awal redaksi lafadznya menggunakan lafadz naha dengan waqi’ mufrad mudzakar ghaib yang itu terletak pada sub bab khusus, berjumlah 249 hadis, sebagian redaksi itu seperti contoh dibawah ini:
نهى عن بيع الثمرة تى يبدو صلاحها, وعن النخل حتى يزهو
نهي عن أكل كل ذي ناب من السباع, و عن كل ذي مخلب من الطير
نهى أن نستقبل ا لقبلتين ببول أو غائط
3. Hadis-hadis dengan awal readaksi lafadznya menggunakan lafadz لا yang disususul dengan fi’il mudahri’. Ini berjumlah sebanyak 105, sebagian contoh hadis-hadis tersebut seperti:
۹۸٦٦ لا تمسّ القران إلاّ وأنت طاهر
٩٨٥٧ لا تكبروا في الصلاة حتى يفرغ المؤذن من أذانه
٩٨٤٢ لا تقتلوا الجراد, فإنّه من جند الله الأعظم
٩٧٧٩ لا تسافر المرأة ثلاثة أيام إلاّ مع ذي محرم
٩٧٢١ لا تأكلوا با الشمال فإنّ الشيطان يأكل بالشمال
۹۸۱٦ لا تصوموا يوم الجمعة مفردا
Namun demikian, dari ketiga macam model redaksi hadis di atas bagaimana dengan makna dan kandungan dari setiap hadis yang berkenaan dengan larangan tersebut, apakah makna dan kandungan kesemuanya hadis-hadis itu sama atau ada hal lain yang membedakannya.
C. Pensyarahan Hadis dan Kualitasnya
Dari sekian banyak hadis yang berkenaan dengan larangan, disini penulis berusaha mensyarahi sebagian hadis dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai makna dari hadis-hadis tentang larangan tersebut, dalam hal ini penulis mengambil 3 hadis yang diambil dari masing-masing model redaksi tersebut:
Contoh 1:
نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها, فإنّها تذ كّركم الموت (رواه الطبراني, ح)
Artinya: “Aku melarangmu untuk zirah kubur, maka berziarahlah karena hal itu bisa mengingatkanmu akan kematian”
Adapun mengenai hasil takhrij hadis tesebut antara lain:
No. Mukharrij Kitab No Hadis
1. Muslim Al-Janaiz 1623
2. Nasa’i Al-Janaiz
Adz-Dhuhaya
Al-Asribah 2005, 2006
4353
5557, 5558
3. Daud Janaiz
Al-Asyribah 2816
3212
4. Ahmad bin Hanbal Baqi Musnad al-Ansar 21880, 21925, 21937, 21960, 21974
Syarah Hadis:
An-Nawawi: menjelaskan bahwa hadis ini merupakan salah satu hadis yang didalamnya terdapat aplikasi nasakh mansukh, ini akan tampak jelas pada kisah seorang lelaki yang mana saat ia akan melakukan ziarah kubur nabi melarangnya, akan tetapi larangan itu kemudian dinasakh dengan hadis itu sendiri tepatnya pada kelanjutan redaksi hadis tersebut, yang menunjukkan perintah akan dilakukannya ziarah kubur, adapun untuk kaum wanita masalah ziarah kubur masih menjadi perdebatan diantara para ulama.
Muhammad Abdurahman dalam Tuhfatul Ahwadhi, menjelaskan bahwa setelah datang larangan akan ziarah kubur, datang perintah untuk melakukan ziarah kubur yang mana ini terlihat pada kejadian yang mana Nabi Muhammad saat memeberikan izin untuk berziarah kubur, disamping itu beliau juga berziarah ke makan ibunya. Ibn ‘Amr mengatakan bahwa ziarah kubur itu wajib dilakukan karena itu bisa mengingatkan umat manusia akan adanya kematian yang sewaktu-waktu bisa datang merenggut nyawa manusia.
As-Sindi, mengatakan bahwa dalam hadis tersebut terdapat nasakh dan mansukh, adapun mengenai dibolehkannya ziarah kubur itu bersifat umum dan tidak hanya diperuntukkan untuk para kaum adam saja, namun para kaum hawa juga mendapatkan rukhsah pembolehan itu, hal ini dengan mempertimbangkan bahwa dalam redaksi hadis tersebut tidaka ada lafadz atau ‘illah yang menunjukkan akan dilarangnya kaum hawa untuk berziarah kubur.
Dari beberapa uraian syarah hadis tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa adanya larangan yang disusul dengan perintah itu menunjukkan akan bolehny asuatu perbuatan untuk dilakukan bahkan wajibnya suatu pekara untuk dikerjakan, dan oleh karenanya nahi di sini bermakna perintah bukan larangan lagi.
Kritik sanad hadis:
Berdasrakan keterangan akan kualitas hadis yang tertera dalam kitab al-Jami’ al-Saghir, menurut al-Suyuti hadis di atas berkualitas hasan. Dan untuk membuktikan akan kehasanan hadis tersebut, penulis di sisni melakukan kroscek ulang dengan menggunakan perantara CD ROM Masu’ah al-Hadis al-Syarif, dengan mengecek ulang kualiatas hadis tersebut serta hadis-hadis hasil takhrijnya, dan itu menunjukkan bahwa hadis itu memangberkualaitas hasan, sebab dari beberapa rentetan sanadnya, ada dua rawi yang menduduki tingkatan ke 4 dan ke 5 yang mana itu merupakan salah satu bukti akan kehasanan hadis itu.
Contoh 2:
نهى عن الشرب قائما و الأكل قائما (صح)
Artinya: “Rasulullah melarang minum dengan berdiri dan makan dengan berdiri”
Adapun mengenai hasil takhrij hadis tesebut antara lain:
No. Mukharrij Kitab No Hadis
1. Muslim Al-Asribah 3774, 3772, 3771
2. Ibn Majah Al-Asribah 3415
3. Ahmad bin Hanbal Baqi Musnad al-Ansar 7985, 11740, 11888, 12033
4. Darimi Al-Asribah 2034
5. Turmudzi Al-Asribah ‘an Rasulullah 1800
6. Abu Daud Al-Asribah 3229
Syarah Hadis:
An-Nawawi, menjelaskan bahwa Nabi SAW melarang minum dalam keadaan berdiri, bahkan dalam riwayatnya Abu hurairah dijelaskan bahwa barang siapa terlanjur minun dalam keadaan berdiri hendaknya ia memuntahkan apa yang ia telah ia minum, namun demikian diriwayatkan oleh Ibn Abbas bahwa Nabi minum air zam—zam dalam keadaan berdiri, dari dua riwayat tersebut ada makna yang seakan-akan itu bertentangan, namun demikian setelah diteliti kedua riwayat tersebut bisa dikompromikan. Adapun mengenai hukum meminum dalam keadaan berdiri itu adalah makruh tanzih (makruh yang mendekati halal). Jadi, dalam kedua hadis tersebut nabi menggambarkan akan adab minum, dan dari dua riwayat itu tampak bahwa kalaupun seseorang terpaksa minum dalam keadaan berdiri maka itu hukumnya makruh, dan kalaupun tidak dalam keadaan terpaksa untuk minum dalam keadaan berdiri sebaiknya minum dalam keadaan duduk, sebab suatu hal yang hukumnya makruh lebih baik dijauhi selagi pelaku mampu dan sanggup.
Abu Tayyib dalam Aunul Ma’bud, menjelaskan tidak jauh beda dengan penjelasan yang diberikan oleh an-Nawawi bahwa ada dua hadis yang seakan-akan bertentangan, namun pada hakikatnya itu tidaklah bertentangan. Satu golongan menjelasakan bahwa kedua hadis itu bisa dikompromikan, namun ada juga golongan lain yang menyatakan bahwa hadis yang menyatakan bahwa nabi minum dalam keadaan berdiri itu muncul terlebih dahulu yang kemudian hadis itu disusul dengan hadis yang menjelaskan akan larangan minum dengan berdiri. Sahabat ‘Ikrimah memberikan penjelasan serta bersumpah bahwa nabi pernah minum dalam keadaan berdiri namun itu karena terpaksa dan beliau sedang berada di atas kendaran. Golongan lain berkata bahwa nahi disini tidaklah bermakna larangan namun bermakna irsyad (membimbing atau menunjukkan) agar meninggalkan yang pertama (minum dalam keadaan berdiri) yang menurut adab itu kurang bagus.
Ibn Qayyim al-Jauzi, jika an-Nawawi dan Abu Tayyib dalam menyikapi dua hadis yang seakan-akan bertentang itu mereka memaparkan akan adanya kemungkinan untuk kompromi namun ada juga kemungkinan nasakh mansukh , di sini Ibn Qayyim berbeda dengan mereka berdua. Ibn Qayyim secara tegas menjelaskan bahwa kedua hadis tersebut (nabi minum dalam keadaanberdiri dan larangan minum berdiri) adalah nasakh mansukh, yakni hadis yang menjelaskan bahwa nabi minum dala keadaan beridiri itu dinasakh oleh hadis larangan minum berdiri.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa hadis nahi dalam hads tersebut beramakna irsyad (menunjukkan), selain itu hukum minum dalam keadaan berdiri adalah makruh tanzih, selagi kita mampu untuk menghindari hal-hal yang makruh sebaiknya itu dilakukan, namun kalaupun dalam keadaan yang sangat terpaksa hal itu boleh dilakukan dengan catatan tidak terlalu sering, karena kalau keseringan bisa berdampak menjadi kebiasaan, dan kebiasaan melakukan hal makruh itu tidaklah baik.
Kritik Sanad Hadis:
Jalaluddin al-Suyuti dalam kitabnya menjelasakn bahwa hadis tersebut berkualitas shahih, setelah mengecek ulang kalitas hadis tersebut serta hadis-hadis lain hasil takhrijnya melalui CD ROM Masu’ah al-Hadis al-Syarif, nampaknya dalam menilai kualitas suatu hadis AL-Suyuti lebih memilih pada kualitas yang mayoritas, karena dari hadis di atas dan juga takhrijnya penulismenemukan dua kulaitas hadis tersebut. Kesemuanya hadis baik hadis pokok ataupun hadis hasil takrij mayoritas berkualitas shahih, sedang yang berkualitas hasan hanya pada riwayat Muslim (3774), Ibn Majah (3415), dan Ahmad (7985).
Contoh 3:
لا تأكلوا بالشمال، فإن الشيطان يأكل بالشمال : (ه) عن جابر , (ح)
Artinya: “Janganlah makan dengan menggunakan tangan kiri, karena sesungguhnya syaitan makan dengan tangan kiri.
No. Mukharrij Kitab No Hadis
1. Muslim Al-Asribah 3763
2. Ibn Majah Al-Ath’imah 3259
3. Ahmad bin Hanbal Baqi Musnad al-Ansar 13604, 13662, 13930, 13980, 14060, 14178, 14327, 14620, 1438
4. At-Turmudzi Al-Ath’imah 1721
Syarah Hadis:
An-Nawawi, menjelaskan bahwa hadis di atas mengandung makna akan sunnahnya makan dan minum dengan menggunakan tangan kanan dan makruh nya keduanya dengan menggunakan tangan kiri. Dan kalaupun makan dan minum dengan menggunkan tangan kiri hendaknya itu hanya dalam keadaan dharurat saja seperti halnya tangan kanannya luka atau terkilir dan sebagainya. Dan kalaupun dalam keadaan sehat bugar menjauhi perbuatan yang itu serupa dengan perbuatan syaitan haruslah dilakukan.
Muhammad Abdurahman dalam Tuhfatul Ahwadhi, dalam mensyarahi hadis di atas Muhammad Abdurrahman berpegang pada dua pendapat, pendapat pertama menyatakan bahwa nahi dalam hadis tersebut bermakna karahah (makruh) yang mana argumen ini beliau nukil dari ucapan al-Syaukani, sedang pendapat kedua makna nahi dalam ahdis tersebut adalah wajib yakni wajibnya untuk melakukan yang sebaliknya (makan dan minum dengan menggunakan tangan kanan), hal in untuk membedakan antara ni’mat dan penyakit.
Berdasarkan uraian syarah hadis diatas, dapat difahami bahwa nahi dalam hadis tersebut disamping dapat difahami sebagai kemakruhan suatu perbuatan juga bisa menunjukkan akan wajibnya melakukan hal yang sebaliknya.
Kritik Sanad Hadis:
Berdasarkan kualitas yang diberikan oleh Jalaluddin al-Suyuti, hadis tersebut berkualitas hasan. Dan setelah mengkroscek ulang kualitas hadis tersebut serta hasil takhrijnya mayoritas berkualitas hasan, namun demikian ada dua hadis yang berkualitas shahih: at-Turmudzi (1721), Ahmad (1438)
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa hadis-hadis larangan dalam kitab al-Jami’ al-Saghir kandungan maknanya bukan hanya mengenai makna tahrim (keharaman) yang mana biasanya seseorang dalam memaknai sebuah larangan kebanyakan langsung menjastifikasi bahwa semua larangan itu bermakna tahrim, dari penelitian di atas di dapatkan makna lain dari sebuah nahi (larangan) selain makna tahrim, yang diantaranya adalah makna wajib yang itu sebagaimana didapatkan dalam pensyarahan hadis pada contoh nomor satu, sedang pada contoh nomor dua didapatkan nahi dengan makan irsyad (menunjukkan atau membimbing), dan pada contoh nomor tiga makna nahi nya menunjukkan akan kemakruhan namun ada juga yang berpendapat nahi pada hadis tersebut bermakan kewajiban melakukan yang sebaliknya. Selain itu kualitas dari hadis-hadis yang diteliti rata-rata menduduki tingkatan shahih dan hasan, dengan demikian hadis tersebut bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa hawatir mengenai palsu atau tidaknya hadis itu.
B. Saran-saran
Demikianlah hasil penelitian hadis-hadis tentang larangan dalam kitab al-Jami’ al-Saghir, untuk menunjang dan meningkatkan kajian tentang makna serta kandungan nahi dalam suatu hadis yang selama ini kurang mendapatkan perhatian para cendekiawan, penulis berharap ada penelitian yang melanjutkan bahasan tentang nahi dalam hadis dengan mengkajinya secara mendalam dengan merujuk pada kitab-kitab lain yang belum dipakai dalam penelitian ini sehingga dapat ditemukan makna dan kandungan nahi yang lain serta aspek lain yang belum dibahas dalam penrlitian ini.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Khalid. Ushull al-Tafsir wa Qawaiduha. Beirut: Dar al-Nafais. 1986.
Al-Adzim, al-Fadhil al-Jalil Abu al-Tayyib Muhammad al-Syahir Syamsuddin al-Haq. Aunul Ma’bud, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Al Mubarakfuri, Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim. Tuhfah al-Ahwadhi, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Al-Sindi. Hasyiyah al-Sindi ‘aaibn Majah, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Al-Suyuti, Jalaluddin. Jam’u al-Jawami’, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah. Versi Edisi 2.11.
_________________. Jami’ al-Ahadis, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah. Versi Edisi 2.11.
_________________. al-Jāmi’ al-Śagīr. Beirut: Dar al Fikri. tt.
_________________. Proses lahirnya sebuah Hadits. Bandung: Pustaka. 1985.
Al-Manawi, Abdur Rauf. Faidh al-Qadīr, DVD al-Maktabah al-Syāmilah, ( Solo: Pustaka Ridwana, 2004), jilid 1, hlm. 16.
An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Chirzin, Muhammad. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. 2003.
Depag RI. Ushul Fiqh II, Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad. Jakarta: Proyek
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama. 1986.
Ibn Bakr, Syamsuddin Muhammad. Ta’liqat al-Huffadz, dalam CD ROM Masu’ah al-Hadis al-Syarif
Ismail, Syuhudi. Cara Praktis Mencari Hadis. Jakarta: Bulan Bintang. 1991.
Kamāl, Mustafā (dkk.). ‘Ulum al-Ḥadīś. Jakarta: Depag. 1997.
Sayyid Ahmad al-Hasyimi. Mutiara Ilmu Balaghah dalam Ilmu Ma’ani, terj Muhammad Zuhri dan K Ahmad Chumaidi Umar. Surabaya: Mutiara Ilmu. 1994.
Siswanto, Deding. Ushul Fiqh, Bag 2. Bandung: PT Armico. 1993.
Zarkasyi, Imām. “Kajian Kitab Hadis al Jami’” dalam http.Indoskripsi.com, diakses tanggal 24 April 2009.
Jumat, 31 Desember 2010
Metode Membaca Al-Qur'an; Metode Qiraati
METODE QIRAATI
Sejarah munculnya metode Qiraati
Metode Qiraati ditulis oleh KH. Salim Zarkasyi, lahir di Semarang, Pekojan, 28 Agustus 1928, anak ke-4 dari 12 bersaudara pasangan dari Salim Zarkasyi dan Siti Rehana, dan meninggal pada tanggal 20 Januari 2001/29 Syawwal 1421 H pada usia 73 tahun. Beliau adalah seorang guru ngaji dan seorang yang suka mengamati keadaan kelas-kelas mengaji dimanapun beliau berkunjung. Sebagaimana biasa sebagai seorang guru mengaji, beliau menggunakan kaedah yang biasa dikenali dengan Muqaddam atau Turutan atau biasa juga disebut kaedah Baghdadiyah. Hasil daripada pengalaman dan pengamatan beliau, anak-anak murid yang beliau ajar ternyata sebagian besar hanya mampu menghafal huruf bukan mengerti huruf, selain itu bacaan mereka masih banyak yang salah baik itu dalam masalah makhraj, panjang pendek, dan lainnya. Dan jika dapat membaca pun bacaannya ternyata tidak tartil seperti apa yang dikehendaki dalam bacaan Al Quran yang baik.
Berdasarkan pengalaman inilah beliau mencoba untuk mencari alternatif lain dengan cara membeli buku-buku kaedah baca al Quran dengan maksud agar dapat mencapai hasil yang lebih memuaskan. Namun setelah mengamati semua kaedah yang ada, ternyata beliau masih belum menemukan kepuasan. Beliau tidak yakin dengan kejayaan kaedah kaedah tersebut dengan mempertimbangkan berbagai hal seperti menggunakan contoh-contoh perkataan yang bukan dari bahasa Arab atau dari al Quran bahkan ada yang berbunyi bahasa Indonesia atau bahasa Jawa. Sejak itulah beliau mecoba memperkenalkan huruf terus dengan barisnya sekali dengan bacaan yang lancar dan cepat. Dalam waktu yang sama, anak-anak diperkenalkan dengan huruf-huruf yang tiada berbaris. Hanya bedanya dengan sistem yang lama, kaedah Qiraati tidak mewajibkan anak murid mengeja huruf ketika akan membaca sebuah perkataan. Dan setelah diuji coba berulangkali, ternyata metode ini banyak memberikan perkembangan terhadap anak dalam membaca Al Qur’an. Sedang penamaan metode ini dengan metode Qiraati merupakan pemberian dari ustadz Joned dan ustadz Sukri.
Metode Qiraati ini pertama kali disusun pada 1963 yang pada mulanya terdiri dari 10 jilid namun kemudian diringkas menjadi 8 jilid dengan asumsi bahwa dalam 1 tahun anak bisa menyelesaikan 2 jilid. Dan pada akhirnya diringkas lagi menjadi 6 jilid dengan rincian sebagai berikut:
a. Jilid 1 terdiri dari 2 pokok materi: pengenalan huruf Hijaiyyah lepas dan sambung dengan 39 sub pokok materi.
b. Jilid 2 terdiri dari 3 pokok materi: pengenalan harakat fathah, kasrah, dummah, pengenalan tanwin, dan mad. 13 sub pokok materi.
c. Jilid 3 terdiri dari 2 pokok materi, yaitu, mad dan sukun, 13 sub pokok materi.
d. Jilid 4 terdiri dari 2 pokok materi yaitu pengenalan ikhfa’ dan idgham, 15 sub pokok materi.
e. Jilid 5 terdiri dari 2 pokok materi yaitu idgham dan qalqalah, 18 sub pokok materi.
f. Jilid 6 terdiri dari 1 pokok materi yaitu idzhar halqi, 9 sub pokok materi
Adapun target utama yang diharapkan dari pembelajaran metode ini yaitu Murid mampu membaca Al-Quran secara tartil sesuai dengan kaidah ilmu tajwid yang telah dicontohkan dan diajarkan Rasulullah Muhammad Saw secara mutawatir dengan uraian bahwa dalam waktu kurang lebih 2 tahun anak-anak sudah mampu khatam 30 juz (binnazhar) dengan:
1. Makhraj sebaik mungkin dan bacaan yang bertajwid
2. Mengenal bacaan gharib dan musykilat (bacaan-bacaan yang asing)
3. Hafal (faham) ilmu tajwid praktis
4. Mengerti shalat, bacaan dan praktisnya
5. Hafal surat-surat pendek minimal sampai Surah Adh-Dhuha serta doa-doa pendek
6. Mampu menulis Arab dengan baik dan benar.
Metode pembelajaran:
o Membaca langsung tanpa mengeja semisal alif fathah A, BA fathah BA, tetapi langsung membaca bunyi huruf yang sudah berharakat fathah tadi seperti: A-BA-TA dan seterusnya.
o Agar anak terlatih dan dapat membaca benar, maka setiap contoh bacaannya diambilkan dari kalimat-kalimat al-Qur'an juga kalimat-kalimat bahasa Arab.
o Praktek bacaan bertajwid secara mudah dan praktis
o Susunan materi bertahap dan berkesinambungan
o Materi disusun dengan “Sistem Modul/Paket”
o Banyak latihan membaca (drill)
o Belajar sesuai dengan kesiapan dan kemampuan murid
o Evaluasi setiap pertemuan
o Belajar dan mengajar secara “Talaqqi - Musyafahah”
o Guru Pengajarnya harus ditashih (Ijasah billisani)
Sedang sistem yang digunakan adalah:
1. Sorogan/privat
2. Klasikal-individual
3. Klasikal-baca-sima’
4. Klasikal murni
Kelebihan Metode ini
a. Materi tata bahasa disusun secara sederhana dan sistematis, sehingga mampu dipahami sebagai sebuah keseluruhan yang utuh dan tidak terpisah-pisah.
b. Adanya keterkaitan antara materi yang satu dengan yang lainnya, juga antara jilid yang satu dengan jilid yang lainnya yang berguna untuk memperkuat daya ingat dan pemahaman siswa.
c. Di samping dapat mambaca dengan lancar, cepat, tepat, dan benar siswa dapat menulis dengan baik serta menguasai materi tajwid serta gharib dengan sangat baik karena mereka dianjurkan untuk hafal dan faham tidak hanya teori saja, tetapi cara membaca dan menguraikan materi tajwid.
d. Adanya petunjuk mengajar pada setiap buku memudahkan guru dalam menyampaikan materi pembelajaran.
e. Sistem klasikal yang konsisten dapat menumbuhkan semangat dan kretifitas siswa serta dapat membentuk mentalitas siswa.
Kekurangan Metode ini
a. Metode yang digunakan terkesan monoton dan kurang bervariasi sehingga menimbulkan kejenuhan dalam proses pembelajaran.
b. Sistem klasikal yang digunakan menyebabkan perlunya ruangan kelas yang tertutup dan banyak serta guru yang banyak pula.
Sejarah munculnya metode Qiraati
Metode Qiraati ditulis oleh KH. Salim Zarkasyi, lahir di Semarang, Pekojan, 28 Agustus 1928, anak ke-4 dari 12 bersaudara pasangan dari Salim Zarkasyi dan Siti Rehana, dan meninggal pada tanggal 20 Januari 2001/29 Syawwal 1421 H pada usia 73 tahun. Beliau adalah seorang guru ngaji dan seorang yang suka mengamati keadaan kelas-kelas mengaji dimanapun beliau berkunjung. Sebagaimana biasa sebagai seorang guru mengaji, beliau menggunakan kaedah yang biasa dikenali dengan Muqaddam atau Turutan atau biasa juga disebut kaedah Baghdadiyah. Hasil daripada pengalaman dan pengamatan beliau, anak-anak murid yang beliau ajar ternyata sebagian besar hanya mampu menghafal huruf bukan mengerti huruf, selain itu bacaan mereka masih banyak yang salah baik itu dalam masalah makhraj, panjang pendek, dan lainnya. Dan jika dapat membaca pun bacaannya ternyata tidak tartil seperti apa yang dikehendaki dalam bacaan Al Quran yang baik.
Berdasarkan pengalaman inilah beliau mencoba untuk mencari alternatif lain dengan cara membeli buku-buku kaedah baca al Quran dengan maksud agar dapat mencapai hasil yang lebih memuaskan. Namun setelah mengamati semua kaedah yang ada, ternyata beliau masih belum menemukan kepuasan. Beliau tidak yakin dengan kejayaan kaedah kaedah tersebut dengan mempertimbangkan berbagai hal seperti menggunakan contoh-contoh perkataan yang bukan dari bahasa Arab atau dari al Quran bahkan ada yang berbunyi bahasa Indonesia atau bahasa Jawa. Sejak itulah beliau mecoba memperkenalkan huruf terus dengan barisnya sekali dengan bacaan yang lancar dan cepat. Dalam waktu yang sama, anak-anak diperkenalkan dengan huruf-huruf yang tiada berbaris. Hanya bedanya dengan sistem yang lama, kaedah Qiraati tidak mewajibkan anak murid mengeja huruf ketika akan membaca sebuah perkataan. Dan setelah diuji coba berulangkali, ternyata metode ini banyak memberikan perkembangan terhadap anak dalam membaca Al Qur’an. Sedang penamaan metode ini dengan metode Qiraati merupakan pemberian dari ustadz Joned dan ustadz Sukri.
Metode Qiraati ini pertama kali disusun pada 1963 yang pada mulanya terdiri dari 10 jilid namun kemudian diringkas menjadi 8 jilid dengan asumsi bahwa dalam 1 tahun anak bisa menyelesaikan 2 jilid. Dan pada akhirnya diringkas lagi menjadi 6 jilid dengan rincian sebagai berikut:
a. Jilid 1 terdiri dari 2 pokok materi: pengenalan huruf Hijaiyyah lepas dan sambung dengan 39 sub pokok materi.
b. Jilid 2 terdiri dari 3 pokok materi: pengenalan harakat fathah, kasrah, dummah, pengenalan tanwin, dan mad. 13 sub pokok materi.
c. Jilid 3 terdiri dari 2 pokok materi, yaitu, mad dan sukun, 13 sub pokok materi.
d. Jilid 4 terdiri dari 2 pokok materi yaitu pengenalan ikhfa’ dan idgham, 15 sub pokok materi.
e. Jilid 5 terdiri dari 2 pokok materi yaitu idgham dan qalqalah, 18 sub pokok materi.
f. Jilid 6 terdiri dari 1 pokok materi yaitu idzhar halqi, 9 sub pokok materi
Adapun target utama yang diharapkan dari pembelajaran metode ini yaitu Murid mampu membaca Al-Quran secara tartil sesuai dengan kaidah ilmu tajwid yang telah dicontohkan dan diajarkan Rasulullah Muhammad Saw secara mutawatir dengan uraian bahwa dalam waktu kurang lebih 2 tahun anak-anak sudah mampu khatam 30 juz (binnazhar) dengan:
1. Makhraj sebaik mungkin dan bacaan yang bertajwid
2. Mengenal bacaan gharib dan musykilat (bacaan-bacaan yang asing)
3. Hafal (faham) ilmu tajwid praktis
4. Mengerti shalat, bacaan dan praktisnya
5. Hafal surat-surat pendek minimal sampai Surah Adh-Dhuha serta doa-doa pendek
6. Mampu menulis Arab dengan baik dan benar.
Metode pembelajaran:
o Membaca langsung tanpa mengeja semisal alif fathah A, BA fathah BA, tetapi langsung membaca bunyi huruf yang sudah berharakat fathah tadi seperti: A-BA-TA dan seterusnya.
o Agar anak terlatih dan dapat membaca benar, maka setiap contoh bacaannya diambilkan dari kalimat-kalimat al-Qur'an juga kalimat-kalimat bahasa Arab.
o Praktek bacaan bertajwid secara mudah dan praktis
o Susunan materi bertahap dan berkesinambungan
o Materi disusun dengan “Sistem Modul/Paket”
o Banyak latihan membaca (drill)
o Belajar sesuai dengan kesiapan dan kemampuan murid
o Evaluasi setiap pertemuan
o Belajar dan mengajar secara “Talaqqi - Musyafahah”
o Guru Pengajarnya harus ditashih (Ijasah billisani)
Sedang sistem yang digunakan adalah:
1. Sorogan/privat
2. Klasikal-individual
3. Klasikal-baca-sima’
4. Klasikal murni
Kelebihan Metode ini
a. Materi tata bahasa disusun secara sederhana dan sistematis, sehingga mampu dipahami sebagai sebuah keseluruhan yang utuh dan tidak terpisah-pisah.
b. Adanya keterkaitan antara materi yang satu dengan yang lainnya, juga antara jilid yang satu dengan jilid yang lainnya yang berguna untuk memperkuat daya ingat dan pemahaman siswa.
c. Di samping dapat mambaca dengan lancar, cepat, tepat, dan benar siswa dapat menulis dengan baik serta menguasai materi tajwid serta gharib dengan sangat baik karena mereka dianjurkan untuk hafal dan faham tidak hanya teori saja, tetapi cara membaca dan menguraikan materi tajwid.
d. Adanya petunjuk mengajar pada setiap buku memudahkan guru dalam menyampaikan materi pembelajaran.
e. Sistem klasikal yang konsisten dapat menumbuhkan semangat dan kretifitas siswa serta dapat membentuk mentalitas siswa.
Kekurangan Metode ini
a. Metode yang digunakan terkesan monoton dan kurang bervariasi sehingga menimbulkan kejenuhan dalam proses pembelajaran.
b. Sistem klasikal yang digunakan menyebabkan perlunya ruangan kelas yang tertutup dan banyak serta guru yang banyak pula.
Living Qur'an; Kajian terhadap Rutinitas Pembacaan Ratib al-Haddad
Pendahuluan
Al Qur’an merupakan kalamullah yang diturunkan Allah dengan perantara Jibril kepada Rasulullah Muhammad SAW dengan lafal Arab dan makna yang pasti sebagai bukti bagi Rasullullah bahwasanya ia adalah utusan Allah, sebagai undang-undang sekaligus petunjuk bagi manusia, dan sebagai sarana pendekatan (seorang hamaba kepada Tuhannya) sekaligus ibadah bila dibaca, selain itu siapapun yang mau istiqamah dalam membaca dan mengamalkannya niscaya ia akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam realitanya, fenomena membaca Al Qur’an sebagai sebuah apresiasi dan respons umat Islam ternyata sangat beragam. Ada berbagai model pembacaan Al Qur’an, mulai dari yang berorientasi pada pemahaman dan pendalaman maknanya, sampai yang sekedar membaca Al Qur’an sebagai ibadah ritual untuk memperoleh ketenangan jiwa. Bahkan ada pula model pembacaan Al Qur’an yang bertujuan untuk mendatangkan kekuatan magis (Supranatural), terapi pengobatan, dan lain sebagainya. Dan dalam kijian kali ini akan dibahas secara panjang lebar tradisi pembacaan Al Qur’an yang berkembang di masyarakat Lamongan dan PP. Langitan yang biasa dikenal dengan sebutan Ratib al-Haddad mengenai maksud, latarbelakang, dan apa tujuan yang ingin dicapai dari pembacaan yang dilakukan.
Pencetus Ratib al-Haddad
Ratib al Haddad terambil dari nama penyusunnya, yaitu al Habib Abdullah bin Alawi bin Muhammad al Haddad seorang ulama' besar yang karismatik, reformis (mujaddid) abad 11 H, yang lahir pada malam Senin, bulan Safar 1044 H, di kota Tarim Hadramaut Yaman. Ibu beliau bernama Sayyidah Salma binti Idrus bin Ahmad Alhabsyi, Kakek beliau adalah Syekh Idrus seorang ulama karismatik dan tokoh terpandang saat itu. Neneknya Sayyidah Salma binti Umar bin Ahmad Al 'Alawi termasuk wanita ahli ibadah. Kedua orang tuanya wafat di bulan dan tahun yang sama, ayahnya Sayyid Alawi wafat pada malam Senin, 21 Rajab 1072 H, dan empat hari kemudian disusul ibunya pada hari Rabu, 24 Rajab 1072 H.
Semasa hidup, Al-Habib senang dan aktif menghadiri kajian ilmu agama, diskusi, dan riset ilmu pengetahuan Islam. Pada setiap forum kajian, beliau paling jenius dan cerdas dalam menganalisa, setiap berbicara pendengar terpesona dengan ucapan-ucapannya dan kagum terhadap pendapat-pendapatnya, sehingga beliau dijadikan panutan umat. Beliau dikenal sebagai penulis yang ulung dalam tulisan-tulisannya, terutama di bidang tassawuf dan akhlak yang sangat terkesan dan memikat. Karya-karya beliau antara lain: An Nashaihud Diniyyah, Al Hikam, Aqidatul Islam, Al Mukhtar minal Fatawa, dan lain sebagainya.
Beliau banyak mencetak ulama dan da’i yang menjadi panutan umat sepanjang masa, menciptakan berbagai karya tulis yang bagus dan indah, sarat dengan hikmah, bermanfaat untuk dikaji dan dibaca. Adapun kumpulan do'a dan dzikirnya yang terkenal adalah Ratib al-Haddad dan Wirid Lathif yang dijadikan amalan rutin mayoritas muslim di Indonesia, Asia, Australi, Afrika bahkan di Amerika.
Imam Abdullah Al Haddad wafat pada hari senin, 7 Dzulqa'dah 1132 H. Dalam usia 89 tahun kurang 3 bulan. Beliau dimakamkan di Zambal, Tarim tempat pemakaman keluarga dan leluhurnya. Imam Abdullah Al Haddad meninggalkan 10 anak, di antaranya 6 laki-laki dan 4 perempuan, mereka semua menjadi orang-orang yang shaleh dan bermanfaat bagi masyarakat, terutama Imam Muhammad bin Abdullah bin Alawi Al Haddad. Sayyid Ahmad bin Zein Al Habsyi mengatakan bahwa ketika beliau wafat, yang menshalatkan jenazah Imam Abdullah Al Haddad kurang lebih berjumlah 20.000 orang di dalam masjid dan belum terhitung yang menshalatkan di makam beliau.
Deskripsi Tradisi Ratib al Haddad
Lafadz Ratib al-Haddad mempunyai banyak arti yang diantaranya berarti mengatur atau menyusun. Ratib adalah sesuatu yang tersusun, teratur dengan rapi. Itu berarti bahwa Ratib al Haddad adalah sebuah bacaan yang tersusun rapi, sedang al-Haddad adalah nama dari pencetusnya. Ratib al Haddad disusun pada malam lailatul Qodar 27 Romadhon 1071 H yang bermula dari adanya permintaan seorang murid al-Habib yang bernama Amir dari keluarga Bani Sa’ad yang tinggal di Syibam salah satu perkampungan di Hadromaut Yaman. Tujuan Amir meminta Habib Abdullah mengarang Ratib adalah agar diadakan suatu wirid dan dzikir dikampungnya, agar mereka dapat mempertahankan dan menyelamatkan diri dari ajaran sesat yang sedang melanda Hadromaut ketika itu. Untuk pertama kalinya Ratib al Haddad hanya dibaca dikampung Amir setelah mendapat izin dan ijazah dari al Habib Abdullah bin Alawi al Haddad. Selepas itu, Ratib ini pun dibaca juga di masjid al-Hawi milik beliau (al-Habib) yang terletak di kota Tarim dan biasanya dibaca secara berjamaah setelah sholat isya’. Dan khusus pada bulan Ramadhan, Ratib dibaca sebelum sholat isya‘, ini adalah waktu yang telah ditartibkan al Habib Abdullah bin Alawi al Haddad untuk kawasan-kawasan yang mengamalkan Ratib. Akan tetapi bagi yang gemar berdzikir banyak, diperbolehkan untuk membacannya di waktu pagi dan sore, sebab di antara kalimat-kalimat yang didzikirkan ada dzikir-dzikir yang disunnahkan untuk membacanya di waktu pagi dan di waktu sore seperti tertera di dalam hadis-hadis Nabi s.a.w. Dengan izin Allah, kawasan-kawasan yang mengamalkan Ratib ini selamat dan tidak terpengaruh dari kesesatan tersebut. Setelah al-Habib Abdullah bin Alwi al Haddad berangkat menunaikan ibadah Haji Ratib al Haddad mulai dibaca di mekkah dan madinah. al Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi berkata , “Barang siapa yang membaca Ratib al Haddad dengan penuh keyakinan dan iman, ia akan mendapat sesuatu yang diluar dugaannya”.
ó Lafadz-lafadz yang di baca dalam Ratib al Haddad
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اَلرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. ماَلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ إِيِّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ. صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ. آمِيْنِ
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id ibn al-Mu’lla r.a.: “Sukakah kamu jika aku ajarkan sebuah Surah yang belum pernah diturun dahulunya, baik dalam Injil maupun Zabur dan Taurat? Ia adalah Al-Fatihah.
Surah 15 Al-Hijr : Ayat 87: “Dan sesungguhnya Kami telah memberi kepadamu (wahai Muhammad) tujuh ayat yang diulang-ulang bacaannya dan seluruh Al-Quran yang amat besar kemuliaan dan faedahnya.”
اَللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّموَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَآءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ العَلِيُّ العَظِيْمُ.
Ayat Kursi ini mengandung khasiat yang besar. Terdapat 99 buah hadith yang menerangkan fadhilahnya. Di antaranya ialah untuk menolak syaitan, benteng pertahanan, melapangkan fikiran dan menambahkan iman.
آمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّه وَالْمُؤْمِنُوْنَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْناَ وَأَطَعْناَ غُفْراَنَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ.
Diriwayatkan daripada Abu Mas'ud al-Badri r.a katanya: Rasulullah s.a.w pernah bersabda: Dua ayat terakhir dari surah al-Baqarah, memberikan manfaat kepada seseorang yang membacanya pada malam hari sebagai pelindung dirinya.
لاََ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَآ إِنْ نَسِيْنَآ أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنآ أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْناَ عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
Dari Muslim, diriwayatkan daripada Abdullah ibn Abbas r.a.: Apabila Jibril sedang duduk dengan Rasulullah s.a.w., dia mendengar bunyi pintu di atasnya. Dia mengangkat kepalanya lalu berkata: “Ini ialah bunyi sebuah pintu di surga yang tidak pernah dibuka.” Lalu satu malaikat pun turun, dan Jibril berkata lagi, “Ia malaikat yang tidak pernah turun ke bumi” Malaikat itu memberi salam lalu berkata, “Bersyukurlah atas dua cahaya yang diberi kepadamu yang tidak pernah diberi kepada rasul-rasul sebelummu-“Fatihat al-Kitab dan ayat penghabisan Surah al-Baqarah”. Kamu akan mendapat manfaat setiap kali kamu membacanya.
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ. (3X)
Dari Bukhari, Muslim dan Malik, diriwayatkan dari Abu Hurairah; Rasulullah s.a.w berkata, “Barangsiapa membaca ayat ini seratus kali sehari, pahalanya seperti memerdekakan sepuluh orang hamba.
سٌبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اْللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ. (3X)
Dari Muslim, diriwayatkan oleh Samurah ibn Jundah: Rasulullah s.a.w bersabda: dzikir-dzikir yang paling dekat di sisi Allah ada empat, diantarnya tasbih, takbir, tahmid dan tahlil.
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحاَنَ اللهِ الْعَظِيْمِ. (3X)
Dari Bukhari, diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.: Rasulullah s.a.w. bersabda: Dua dzikir yang mudah di atas lidah tetapi berat pahalanya dan disukai oleh Allah ialah: 'SubhanAllah al-Azim dan 'SubhanAllah wa bihamdihi.'”
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ. (3X)
Surah 4: An-Nisa’; Ayat 106: “Dan hendaklah engkau memohon ampun kepada Allah; kerana sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ. (3X)
Surah 33; Al-Ahzab, Ayat 56: Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya berselawat atas Nabi saw; wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu kepadanya serta ucapkanlah salam dengan penghormatan yang sepenuhnya.
Dari Muslim, diriwayatkan daripada Abdullah bin Amr: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa bershalawat kepadaku sekali, Allah akan bershlawat kepadanya sepuluh kali.
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّآمَّاتِ مِنْ شَرِّمَا خَلَقَ. (3X)
Dari Abu Daud dan Tirmidzi, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa yang membaca doa ini tiga kali, tiada malapetaka apapun yang akan terjatuh atasnya.”
بِسْـمِ اللهِ الَّذِي لاَ يَضُـرُّ مَعَ اسْـمِهِ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي الْسَّمَـآءِ وَهُوَ الْسَّمِيْـعُ الْعَلِيْـمُ(3X)
Dari Ibn Hibban; Nabi Muhammad s.a.w bersabda: “Hamba-hamba Allah yang membaca doa ini pada waktu pagi dan petang tiga kali, tidak ada kesakitan apapun yang akan dialaminya.”
رَضِيْنَـا بِاللهِ رَبًّا وَبِالإِسْـلاَمِ دِيْنـًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيّـًا. (3X)
Surah 3: Ali-Imran Ayat 19: Sesungguhnya agama (yang benar dan diredai) di sisi Allah ialah Islam.
Dari Abu Daud dan Tirmidzi; Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: “Sesiapa membaca ayat ini di pagi dan petang hari akan masuk ke syurga.”
بِسْمِ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَالْخَيْرُ وَالشَّـرُّ بِمَشِيْئَـةِ اللهِ. (3X)
Diriwayatkah oleh Abu Hurairah: Rasulullah s.a.w. bersabda: Wahai Abu Hurairah, bila kamu keluar negeri untuk berniaga, bacakan ayat ini supaya ia membawa kamu ke jalan yang benar. Dan setiap perbuatan mesti bermula dengan ‘Bismillah’ dan penutupnya ialah “Alhamdulillah”.
آمَنَّا بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ تُبْناَ إِلَى اللهِ باَطِناً وَظَاهِرًا. (3X)
Surah at-Tahrim Ayat 8: Wahai orang-orang yang beriman! Bertaubatlah kamu kepada Allah dengan “Taubat Nasuha”.
Diriwayatkan oleh Ibn Majah: Rasulullah bersabda: Orang yang bertaubat itu adalah kekasih Allah. Dan orang yang bertaubat itu ialah perumpamaan orang yang tidak mempunyai dosa.”
يَا رَبَّنَا وَاعْفُ عَنَّا وَامْحُ الَّذِيْ كَانَ مِنَّا. (3X)
Dari Tirmidzi dan Ibn Majah: Rasulullah s.a.w. berada di atas mimbar dan menangis lalu beliau bersabda: Mintalah maaf dan kesehatan daripada Allah, sebab setelah kita yakin, tiada apa lagi yang lebih baik daripada kesehatan.
Surah 4: An-Nisa’: Ayat 106: “Dan hendaklah engkau memohon keampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.”
ياَ ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْراَمِ أَمِتْناَ عَلَى دِيْنِ الإِسْلاَمِ. (7X)
Dan dari Tirmidzi, Rasulullah s.a.w. menyatakan di dalam sebuah hadis bahawasanya siapa yang berdoa dengan nama-nama Allah dan penuh keyakinan, doa itu pasti dikabulkan Allah.
ياَ قَوِيُّ ياَ مَتِيْـنُ إَكْفِ شَرَّ الظَّالِمِيْـنَ. (3X)
Seperti di atas, Merujuk hadith Rasulullah s.a.w, Barangsiapa kesulitan mengalahkan musuhnya, dan mengulangi Nama ini dengan niat tidak mau dicederakan, maka ia akan bebas dari dicederakan musuhnya.
أَصْلَحَ اللهُ أُمُوْرَ الْمُسْلِمِيْنَ صَرَفَ اللهُ شَرَّ الْمُؤْذِيْنَ. (3X)
Diriwayatkan oleh Abu Darda’ bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tiada seorang mukmin pun yang berdoa untuk kaumnya yang tidak bersamanya, melainkan akan didoakan oleh Malaikat, “Sama juga untukmu”.
يـَا عَلِيُّ يـَا كَبِيْرُ يـَا عَلِيْمُ يـَا قَدِيْرُ
يـَا سَمِيعُ يـَا بَصِيْرُ يـَا لَطِيْفُ يـَا خَبِيْرُ. (3X)
Surah 17: Al Israil: Ayat 110: “Katakanlah (wahai Muhammad): "Serulah nama “Allah” atau “Ar-Rahman”, yang mana saja kamu serukan; kerena Allah mempunyai banyak nama yang baik serta mulia. Dan janganlah engkau nyaringkan bacaan doa atau sembahyangmu, juga janganlah engkau perlahankannya, dan gunakanlah satu cara saja yang sederhana antara itu."
ياَ فَارِجَ الهَمِّ يَا كَاشِفَ الغَّمِّ يَا مَنْ لِعَبْدِهِ يَغْفِرُ وَيَرْحَمُ. (3X)
Dari Abu Daud, diriwayatkan daripada Anas ibn Malik: “Ketika saya bersama Rasulullah s.a.w., ada seseorang berdoa, “Ya Allah saya meminta karena segala pujian ialah untuk-Mu dan tiada Tuhan melainkan-Mu, Kamulah Pemberi Rahmat dan yang Pengampun, Permulaan Dunia dan Akhirat, Maharaja Teragung, Yang Hidup dan Yang Tersendiri”.
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Dia berdoa kepada Allah menggunakan sebaik-baik nama-nama-Nya, Allah akan mengabulkannya karena apabila diminta dengan nama-nama-Nya Allah akan memberi.
أَسْتَغْفِرُ اللهَ رَبَّ الْبَرَايَا أَسْتَغْفِرُ اللهَ مِنَ الْخَطَاياَ.(4X)
Surah 4: An-Nisa’: Ayat 106: “Dan hendaklah engkau memohon ampunan dari Allah; sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun, lagi Maha Pengasih.”
Surah 11: Hud: Ayat 90: “Dan mintalah ampunan Tuhanmu, kemudian kembalilah taat kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Mengasihani, lagi Maha Pengasih”
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ وَمَجَّدَ وَعَظَّمَ وَرَضِيَ اللهُ تَعاَلَى عَنْ آلِ وَأَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِ التَّابِعِيْنَ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ (50X)
Komentar tentang kalimaT tauhid sangat panjang. Kalimat “La ilaha illallah” ini adalah kunci surga. Diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Allah tidak membenarkan seseorang masuk ke neraka jikalau dia mengucapkan kalimah tauhid ini berulang-ulang kali.”
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَـدٌ. اَللهُ الصَّمَـدُ. لَمْ يَلِـدْ وَلَمْ يٌوْلَـدْ. وَلَمْ يَكُـنْ لَهُ كُفُـوًا أَحَـدٌ (3X)
Dari Imam Bukhari, diriwayatkan daripada Abu Sa’id al-khudri; seseorang mendengar bacaan surah al-Ikhlas berulang-ulang di masjid. Pada keesokan paginya dia datang kepada Rasulullah s.a.w. dan sampaikan perkara itu kepadanya sebab dia menyangka bacaan itu tidak cukup dan lengkap. Rasulullah s.a.w berkata, “Demi tangan yang memegang nyawaku, surah itu seperti sepertiga al Quran!”
Dari Al-Muwatta', diriwayatkan oleh Abu Hurairah; Saya sedang berjalan dengan Rasulullah s.a.w, lalu baginda mendengar seseorang membaca surah al-Ikhlas. Baginda berkata, “Wajiblah.” Saya bertanya kepadanya, “Apa ya Rasulallah?” Baginda menjawab, “Syurga” (Wajiblah syurga bagi si pembaca itu).
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ، مِنْ شَرِّ ماَ خَلَقَ، وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ، وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ، وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَد
Diriwayatkan dari Aisyah r.a beliau berkata: Rasulullah s.a.w biasanya apabila ada salah seorang anggota keluarga baginda yang sakit, baginda menyemburnya dengan membaca bacaan-bacaan. Sementara itu, ketika baginda menderita sakit yang menyebabkan baginda wafat, aku juga menyemburkan baginda dan mengusap baginda dengan tangan baginda sendiri, kerana tangan baginda tentu lebih banyak berkatnya daripada tanganku.
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ، مَلِكِ النَّاسِ، إِلَهِ النَّاسِ، مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ، اَلَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِي صُدُوْرِ النَّاسِ، مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ.
Dari Tirmidzi diriwayatkan daripada Abu Sa’id al-Khudri; Nabi Muhammad s.a.w selalu meminta perlindungan dari kejahatan jin dan perbuatan hasud manusia. Apabila surah al-falaq dan an-nas turun, baginda ketepikan yang lain dan membaca ayat-ayat ini saja.
ó Rahasia Bilangan Ratib al Haddad
Setiap ayat, do’a, dan nama Allah yang disebutkan dalam Ratib dipetik dari Al Qur’an dan Hadits Rasul SAW . Bilangan bacaan disetiap doa dibuat sebanyak tiga kali, tujuh kali, dan seterusnya, semua ini berdasarkan petunjuk al Habib Abdullah bin Alawi al Haddad. Beliau menyusun dzikir-dzikir yang pendek dan di baca berulang kali dengan tujuan agar memudahkan pembacaannya, dzikir yang pendek ini jika selalu dibaca secara istiqomah, maka lebih utama dari pada dzikir yang panjang yang tidak dibaca secara istiqomah. Dan perlu diketahui bahwa setiap ayat, do’a, dan nama Allah yang disebutkan dalam Ratib al Haddad dipetik dari Al-Qur’an dan Hadits Rasul SAW. Sedang Menurut KH. Abdullah Faqih, jumlah bilangan yang ada pada setiap lafadz Ratib al-Haddad merupakan pengibaratan dari sebuah ruangan yang tertutup, bagi orang yang mau memasukinya ia membutuhkan sebuah kunci, dan geratan-geratan yang ada pada kunci itu adalah jumlah bilangan bacaan yang ada pada Ratib al Haddad. Selain itu, dalam pengamalan Ratib al-Haddad, beliau berpegang pada apa yang ada dalam kitab”حصن الحصين”.
ó Fadhilah Membaca Ratib al Haddad
Sejumlah ulama ahli salaf Berkata: “Antara keutamaan ratib ini bagi mereka yang tetap mengamalkannya, adalah dipanjangkan umur, mendapat Husnul-Khatimah, menjaga segala kepunyaannya di laut dan di bumi dan senantiasa berada dalam perlindungan Allah.” Dan dikatakan juga bagi siapapun yang mempunyai hajat tertentu, maka bacalah ratib di tempat yang kosong dan sunyi dengan sebelumnya berwudlu, menghadap kiblat dan berniat apa kehendaknya, Insyaallah hajatnya akan terkabul. Para Ulama salaf banyak yang berkata bahwa Ratib al Haddad sangatlah Mujarab dalam menyampaikan segala permintaan jika dibacanya sebanyak 41 kali.
Adapun kelebihan lain dari Ratib al Haddad adalah, menjaga rumah pembacanya dan 40 rumah tetangganya yang berdekatan dengan rumah si pembaca dari kebakaran, pencurian dan sihir. As-Syeikh Ali Baras berkata: “Apabila dibaca dalam suatu kampung atau suatu tempat, ia mengamankan ahlinya seperti dijaga oleh 70 pahlawan yang bekuda. Ratib ini mengandung rahasia-rahasia yang bermanfaat. Mereka yang tetap mengamalkannya akan diampunkan Allah dosa-dosanya sebanyak buih di laut.”
Bagi mereka yang terkena sihir dan membaca ratib, Insya-Allah diselamatkan Allah dengan berkat Asma’ Allah, ayat-ayat al-Quran dan amalan Nabi Muhammad s.a.w. Al-Habib Husain bin Abdullah bin Muhammad bin Muhsin bin Husain al-Attas berkata: “Mereka yang mengamalkan ratib dan terpatuk ular niscaya tidak akan terjadi apa-apa pada dirinya. Bagi orang yang takut niscaya akan selamat dari segala yang ditakuti. Hal ini terbukti dengan adanya seorang yang diserang oleh 15 orang pencuri namun karena ia istiqamah mengamalkan Ratib alhamdulillah Allah memberikannya keselamatan.”
Tradisi Membaca Ratib al-Haddad yang berkembang di Masyarakat Lamongan.
Untuk penelitian mengenai tradisi membaca Ratib al-Haddad di Lamongan, di sini akan difokuskan di desa Pucuk dan PP. Langitan yang merupakan salah satu pondok salaf terbesar di Jawa Timur. Pondok ini berdiri di bawah naungan tokoh terkenal KH. Abdullah Faqih yang berada kira-kira empat ratus meter sebelah selatan ibukota Kecamatan Widang, atau kurang lebih 30 km sebelah selatan Kabupaten Tuban, juga berbatasan dengan kecamatan Babat Kabupaten Lamongan dengan jarak kira-kira satu kilo meter. Kegiatan membaca Ratib al-Haddad di pondok ini biasanya dilaksanakan pada setiap kamis terakhir bulan safar, yang mana hari itu merupakan hari besar bagi PP. Langitan, karena di hari itu juga biasanya diadakan Haul Langitan. Adapun dalam membaca Ratib al-Haddad ini bisanya dengan mendatangkan salah satu keturunan al-Haddad yang salah satunya adalah bernama Syekh Habib Husain. Setiap kali beliau datang ke PP. Langitan, beliau mengijazah kepada para santri, masyarakat, wali santri, dan para ustadz-ustadazh di sana agar senantiasa mengamalkan pembacaan Ratib al-Haddad secara istiqomah setiap hari satu kali.
Bagi masing-masing individu pondok Langitan, berkembang juga tradisi membaca Ratib al-Haddad setiap harinya. Sedang bagi semua santri tanpa terkecuali biasanya dibaca secara serempak dan bersama-sama pada kamis malam jum’at setelah sholat isya’.
Pembacaan Ratib al-Haddad selain berjalan dan berkembang di PP. Langitan, di desa Pucuk juga berjalan tradisi yang serupa, sedikit perbedaannya hanya pada masalah waktu. Di desa tersebut masyarakat biasanya membaca Ratib al Haddad setelah Shalat Maghrib (Individu), dan dibaca bersama disertai dengan pengajian, dan pembagian makanan pada peserta setiap malam Jum’at Pahing, yang mana menurut mereka (orang NU) berkeyakinan bahawa malam Jum’at Pahing merupakan Lailatul Istima’ yakni malan dimana kebanayakan do’a terkabul.
Analisis
Setelah dipaparkan panjang lebar mengenai Ratib al-Hadad, dapat difahami bahwa kegiatan pembacaan Ratib al-Haddad ternyata sudah ada sejak 1071 H. Ini berarti menunjukkan bahwa Ratib al-Haddad bukanlah hal yang baru dan tidak merupakan pembacaan yang asal-asalan, sebab semua dasar pengambilan lafadz-lafadz yang ada pada Ratib al-Haddad kesemuanya merujuk pada Al-Qur’an dan juga hadis. Demikian juga dengan faedah yang dan manfaatnya.
Selian itu, pada mulanya pembacaan Ratib al-Haddad di masa al-Habib adalah setelah isya’, namun waktu ini tidaklah mengikat dan mengharuskan pada setiap pembacanya untuk mengikuti apa yang dipaparkan al-Habib, ini ditunjukkan oleh Habib Husain salah satu keturunannya yang ketika beliau mengijazahkan bacaan Ratib al-Haddad pada masyarakat, beliau tidak menjelaskan waktu khusus untuk membacanya, yang terpenting adalah Ratib itu dibaca minmal kali dalam sehari secara istiqamah. Dan sejauh pengamatan dan wawancara yang dilakukan ternyata tradisi membaca Ratib al-Haddad hanya berjalan di kalangan orang NU, adapun untuk selain orang NU, sejauh ini penulis belum menemukan.
Penutup dan Kesimpulan
Dibalik apa (setiap ayat Al Qur’an ) yang telah diturunkan Allah kepada Umat manusia semua itu mengandung hikmah dan rahasia tersendiri, begitu Agung kuasanya, Dia menciptakan bumi serta isinya, penyakit serta obatnya semua itu diturunkan-Nya dengan tidak melebihi batas kemampuan hamba-Nya, yang salah satunya adalah ketika para penduduk Syibam salah satu perkampungan di Hadromaut Yaman dilanda ajaran kesesatan, Allah menurunkan dzkiri-dzikir Al Qur’an melalui prantara salah satu hamba-Nya yang mukmin guna menagkal kesesatan tersebut agar tidak sampai menguasai diri kebanyakan Mukmin. Yang dalam hal ini adalah Ratib al-Haddad. Dalam Ratib al-Haddad banyak terkandung faedah dan manfaat, dan oleh karenanya marilah kita picu diri kita untuk senantiasa mendekatkan diri dengan-Nya dengan memperbanyak dzikir yang salah satunya adalah dengan membaca Ratib al-Haddad. Dan insyaallah dari pembacaan tersebut diri kita akan senantiasa dalam keselamatan dan perlindungannya.
Demikian sekilas mengenai Ratib al-Haddad, sebagai penutup penulis merasa dalam makalah ini masih banyak ditemukan kekurangan-kekurang dan untuk itu saran kritik yang membangun baik dari Bapak Dosen maupun teman-teman amatlah penulis butuhkan guna menyempurnakan makalah ini agar benar-benar layak untuk dikonsumsi semua pembaca.
Al Qur’an merupakan kalamullah yang diturunkan Allah dengan perantara Jibril kepada Rasulullah Muhammad SAW dengan lafal Arab dan makna yang pasti sebagai bukti bagi Rasullullah bahwasanya ia adalah utusan Allah, sebagai undang-undang sekaligus petunjuk bagi manusia, dan sebagai sarana pendekatan (seorang hamaba kepada Tuhannya) sekaligus ibadah bila dibaca, selain itu siapapun yang mau istiqamah dalam membaca dan mengamalkannya niscaya ia akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam realitanya, fenomena membaca Al Qur’an sebagai sebuah apresiasi dan respons umat Islam ternyata sangat beragam. Ada berbagai model pembacaan Al Qur’an, mulai dari yang berorientasi pada pemahaman dan pendalaman maknanya, sampai yang sekedar membaca Al Qur’an sebagai ibadah ritual untuk memperoleh ketenangan jiwa. Bahkan ada pula model pembacaan Al Qur’an yang bertujuan untuk mendatangkan kekuatan magis (Supranatural), terapi pengobatan, dan lain sebagainya. Dan dalam kijian kali ini akan dibahas secara panjang lebar tradisi pembacaan Al Qur’an yang berkembang di masyarakat Lamongan dan PP. Langitan yang biasa dikenal dengan sebutan Ratib al-Haddad mengenai maksud, latarbelakang, dan apa tujuan yang ingin dicapai dari pembacaan yang dilakukan.
Pencetus Ratib al-Haddad
Ratib al Haddad terambil dari nama penyusunnya, yaitu al Habib Abdullah bin Alawi bin Muhammad al Haddad seorang ulama' besar yang karismatik, reformis (mujaddid) abad 11 H, yang lahir pada malam Senin, bulan Safar 1044 H, di kota Tarim Hadramaut Yaman. Ibu beliau bernama Sayyidah Salma binti Idrus bin Ahmad Alhabsyi, Kakek beliau adalah Syekh Idrus seorang ulama karismatik dan tokoh terpandang saat itu. Neneknya Sayyidah Salma binti Umar bin Ahmad Al 'Alawi termasuk wanita ahli ibadah. Kedua orang tuanya wafat di bulan dan tahun yang sama, ayahnya Sayyid Alawi wafat pada malam Senin, 21 Rajab 1072 H, dan empat hari kemudian disusul ibunya pada hari Rabu, 24 Rajab 1072 H.
Semasa hidup, Al-Habib senang dan aktif menghadiri kajian ilmu agama, diskusi, dan riset ilmu pengetahuan Islam. Pada setiap forum kajian, beliau paling jenius dan cerdas dalam menganalisa, setiap berbicara pendengar terpesona dengan ucapan-ucapannya dan kagum terhadap pendapat-pendapatnya, sehingga beliau dijadikan panutan umat. Beliau dikenal sebagai penulis yang ulung dalam tulisan-tulisannya, terutama di bidang tassawuf dan akhlak yang sangat terkesan dan memikat. Karya-karya beliau antara lain: An Nashaihud Diniyyah, Al Hikam, Aqidatul Islam, Al Mukhtar minal Fatawa, dan lain sebagainya.
Beliau banyak mencetak ulama dan da’i yang menjadi panutan umat sepanjang masa, menciptakan berbagai karya tulis yang bagus dan indah, sarat dengan hikmah, bermanfaat untuk dikaji dan dibaca. Adapun kumpulan do'a dan dzikirnya yang terkenal adalah Ratib al-Haddad dan Wirid Lathif yang dijadikan amalan rutin mayoritas muslim di Indonesia, Asia, Australi, Afrika bahkan di Amerika.
Imam Abdullah Al Haddad wafat pada hari senin, 7 Dzulqa'dah 1132 H. Dalam usia 89 tahun kurang 3 bulan. Beliau dimakamkan di Zambal, Tarim tempat pemakaman keluarga dan leluhurnya. Imam Abdullah Al Haddad meninggalkan 10 anak, di antaranya 6 laki-laki dan 4 perempuan, mereka semua menjadi orang-orang yang shaleh dan bermanfaat bagi masyarakat, terutama Imam Muhammad bin Abdullah bin Alawi Al Haddad. Sayyid Ahmad bin Zein Al Habsyi mengatakan bahwa ketika beliau wafat, yang menshalatkan jenazah Imam Abdullah Al Haddad kurang lebih berjumlah 20.000 orang di dalam masjid dan belum terhitung yang menshalatkan di makam beliau.
Deskripsi Tradisi Ratib al Haddad
Lafadz Ratib al-Haddad mempunyai banyak arti yang diantaranya berarti mengatur atau menyusun. Ratib adalah sesuatu yang tersusun, teratur dengan rapi. Itu berarti bahwa Ratib al Haddad adalah sebuah bacaan yang tersusun rapi, sedang al-Haddad adalah nama dari pencetusnya. Ratib al Haddad disusun pada malam lailatul Qodar 27 Romadhon 1071 H yang bermula dari adanya permintaan seorang murid al-Habib yang bernama Amir dari keluarga Bani Sa’ad yang tinggal di Syibam salah satu perkampungan di Hadromaut Yaman. Tujuan Amir meminta Habib Abdullah mengarang Ratib adalah agar diadakan suatu wirid dan dzikir dikampungnya, agar mereka dapat mempertahankan dan menyelamatkan diri dari ajaran sesat yang sedang melanda Hadromaut ketika itu. Untuk pertama kalinya Ratib al Haddad hanya dibaca dikampung Amir setelah mendapat izin dan ijazah dari al Habib Abdullah bin Alawi al Haddad. Selepas itu, Ratib ini pun dibaca juga di masjid al-Hawi milik beliau (al-Habib) yang terletak di kota Tarim dan biasanya dibaca secara berjamaah setelah sholat isya’. Dan khusus pada bulan Ramadhan, Ratib dibaca sebelum sholat isya‘, ini adalah waktu yang telah ditartibkan al Habib Abdullah bin Alawi al Haddad untuk kawasan-kawasan yang mengamalkan Ratib. Akan tetapi bagi yang gemar berdzikir banyak, diperbolehkan untuk membacannya di waktu pagi dan sore, sebab di antara kalimat-kalimat yang didzikirkan ada dzikir-dzikir yang disunnahkan untuk membacanya di waktu pagi dan di waktu sore seperti tertera di dalam hadis-hadis Nabi s.a.w. Dengan izin Allah, kawasan-kawasan yang mengamalkan Ratib ini selamat dan tidak terpengaruh dari kesesatan tersebut. Setelah al-Habib Abdullah bin Alwi al Haddad berangkat menunaikan ibadah Haji Ratib al Haddad mulai dibaca di mekkah dan madinah. al Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi berkata , “Barang siapa yang membaca Ratib al Haddad dengan penuh keyakinan dan iman, ia akan mendapat sesuatu yang diluar dugaannya”.
ó Lafadz-lafadz yang di baca dalam Ratib al Haddad
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اَلرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. ماَلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ إِيِّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ. صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ. آمِيْنِ
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id ibn al-Mu’lla r.a.: “Sukakah kamu jika aku ajarkan sebuah Surah yang belum pernah diturun dahulunya, baik dalam Injil maupun Zabur dan Taurat? Ia adalah Al-Fatihah.
Surah 15 Al-Hijr : Ayat 87: “Dan sesungguhnya Kami telah memberi kepadamu (wahai Muhammad) tujuh ayat yang diulang-ulang bacaannya dan seluruh Al-Quran yang amat besar kemuliaan dan faedahnya.”
اَللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّموَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَآءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ العَلِيُّ العَظِيْمُ.
Ayat Kursi ini mengandung khasiat yang besar. Terdapat 99 buah hadith yang menerangkan fadhilahnya. Di antaranya ialah untuk menolak syaitan, benteng pertahanan, melapangkan fikiran dan menambahkan iman.
آمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّه وَالْمُؤْمِنُوْنَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْناَ وَأَطَعْناَ غُفْراَنَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ.
Diriwayatkan daripada Abu Mas'ud al-Badri r.a katanya: Rasulullah s.a.w pernah bersabda: Dua ayat terakhir dari surah al-Baqarah, memberikan manfaat kepada seseorang yang membacanya pada malam hari sebagai pelindung dirinya.
لاََ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَآ إِنْ نَسِيْنَآ أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنآ أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْناَ عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
Dari Muslim, diriwayatkan daripada Abdullah ibn Abbas r.a.: Apabila Jibril sedang duduk dengan Rasulullah s.a.w., dia mendengar bunyi pintu di atasnya. Dia mengangkat kepalanya lalu berkata: “Ini ialah bunyi sebuah pintu di surga yang tidak pernah dibuka.” Lalu satu malaikat pun turun, dan Jibril berkata lagi, “Ia malaikat yang tidak pernah turun ke bumi” Malaikat itu memberi salam lalu berkata, “Bersyukurlah atas dua cahaya yang diberi kepadamu yang tidak pernah diberi kepada rasul-rasul sebelummu-“Fatihat al-Kitab dan ayat penghabisan Surah al-Baqarah”. Kamu akan mendapat manfaat setiap kali kamu membacanya.
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ. (3X)
Dari Bukhari, Muslim dan Malik, diriwayatkan dari Abu Hurairah; Rasulullah s.a.w berkata, “Barangsiapa membaca ayat ini seratus kali sehari, pahalanya seperti memerdekakan sepuluh orang hamba.
سٌبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اْللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ. (3X)
Dari Muslim, diriwayatkan oleh Samurah ibn Jundah: Rasulullah s.a.w bersabda: dzikir-dzikir yang paling dekat di sisi Allah ada empat, diantarnya tasbih, takbir, tahmid dan tahlil.
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحاَنَ اللهِ الْعَظِيْمِ. (3X)
Dari Bukhari, diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.: Rasulullah s.a.w. bersabda: Dua dzikir yang mudah di atas lidah tetapi berat pahalanya dan disukai oleh Allah ialah: 'SubhanAllah al-Azim dan 'SubhanAllah wa bihamdihi.'”
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ. (3X)
Surah 4: An-Nisa’; Ayat 106: “Dan hendaklah engkau memohon ampun kepada Allah; kerana sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ. (3X)
Surah 33; Al-Ahzab, Ayat 56: Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya berselawat atas Nabi saw; wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu kepadanya serta ucapkanlah salam dengan penghormatan yang sepenuhnya.
Dari Muslim, diriwayatkan daripada Abdullah bin Amr: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa bershalawat kepadaku sekali, Allah akan bershlawat kepadanya sepuluh kali.
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّآمَّاتِ مِنْ شَرِّمَا خَلَقَ. (3X)
Dari Abu Daud dan Tirmidzi, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa yang membaca doa ini tiga kali, tiada malapetaka apapun yang akan terjatuh atasnya.”
بِسْـمِ اللهِ الَّذِي لاَ يَضُـرُّ مَعَ اسْـمِهِ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي الْسَّمَـآءِ وَهُوَ الْسَّمِيْـعُ الْعَلِيْـمُ(3X)
Dari Ibn Hibban; Nabi Muhammad s.a.w bersabda: “Hamba-hamba Allah yang membaca doa ini pada waktu pagi dan petang tiga kali, tidak ada kesakitan apapun yang akan dialaminya.”
رَضِيْنَـا بِاللهِ رَبًّا وَبِالإِسْـلاَمِ دِيْنـًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيّـًا. (3X)
Surah 3: Ali-Imran Ayat 19: Sesungguhnya agama (yang benar dan diredai) di sisi Allah ialah Islam.
Dari Abu Daud dan Tirmidzi; Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: “Sesiapa membaca ayat ini di pagi dan petang hari akan masuk ke syurga.”
بِسْمِ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَالْخَيْرُ وَالشَّـرُّ بِمَشِيْئَـةِ اللهِ. (3X)
Diriwayatkah oleh Abu Hurairah: Rasulullah s.a.w. bersabda: Wahai Abu Hurairah, bila kamu keluar negeri untuk berniaga, bacakan ayat ini supaya ia membawa kamu ke jalan yang benar. Dan setiap perbuatan mesti bermula dengan ‘Bismillah’ dan penutupnya ialah “Alhamdulillah”.
آمَنَّا بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ تُبْناَ إِلَى اللهِ باَطِناً وَظَاهِرًا. (3X)
Surah at-Tahrim Ayat 8: Wahai orang-orang yang beriman! Bertaubatlah kamu kepada Allah dengan “Taubat Nasuha”.
Diriwayatkan oleh Ibn Majah: Rasulullah bersabda: Orang yang bertaubat itu adalah kekasih Allah. Dan orang yang bertaubat itu ialah perumpamaan orang yang tidak mempunyai dosa.”
يَا رَبَّنَا وَاعْفُ عَنَّا وَامْحُ الَّذِيْ كَانَ مِنَّا. (3X)
Dari Tirmidzi dan Ibn Majah: Rasulullah s.a.w. berada di atas mimbar dan menangis lalu beliau bersabda: Mintalah maaf dan kesehatan daripada Allah, sebab setelah kita yakin, tiada apa lagi yang lebih baik daripada kesehatan.
Surah 4: An-Nisa’: Ayat 106: “Dan hendaklah engkau memohon keampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.”
ياَ ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْراَمِ أَمِتْناَ عَلَى دِيْنِ الإِسْلاَمِ. (7X)
Dan dari Tirmidzi, Rasulullah s.a.w. menyatakan di dalam sebuah hadis bahawasanya siapa yang berdoa dengan nama-nama Allah dan penuh keyakinan, doa itu pasti dikabulkan Allah.
ياَ قَوِيُّ ياَ مَتِيْـنُ إَكْفِ شَرَّ الظَّالِمِيْـنَ. (3X)
Seperti di atas, Merujuk hadith Rasulullah s.a.w, Barangsiapa kesulitan mengalahkan musuhnya, dan mengulangi Nama ini dengan niat tidak mau dicederakan, maka ia akan bebas dari dicederakan musuhnya.
أَصْلَحَ اللهُ أُمُوْرَ الْمُسْلِمِيْنَ صَرَفَ اللهُ شَرَّ الْمُؤْذِيْنَ. (3X)
Diriwayatkan oleh Abu Darda’ bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tiada seorang mukmin pun yang berdoa untuk kaumnya yang tidak bersamanya, melainkan akan didoakan oleh Malaikat, “Sama juga untukmu”.
يـَا عَلِيُّ يـَا كَبِيْرُ يـَا عَلِيْمُ يـَا قَدِيْرُ
يـَا سَمِيعُ يـَا بَصِيْرُ يـَا لَطِيْفُ يـَا خَبِيْرُ. (3X)
Surah 17: Al Israil: Ayat 110: “Katakanlah (wahai Muhammad): "Serulah nama “Allah” atau “Ar-Rahman”, yang mana saja kamu serukan; kerena Allah mempunyai banyak nama yang baik serta mulia. Dan janganlah engkau nyaringkan bacaan doa atau sembahyangmu, juga janganlah engkau perlahankannya, dan gunakanlah satu cara saja yang sederhana antara itu."
ياَ فَارِجَ الهَمِّ يَا كَاشِفَ الغَّمِّ يَا مَنْ لِعَبْدِهِ يَغْفِرُ وَيَرْحَمُ. (3X)
Dari Abu Daud, diriwayatkan daripada Anas ibn Malik: “Ketika saya bersama Rasulullah s.a.w., ada seseorang berdoa, “Ya Allah saya meminta karena segala pujian ialah untuk-Mu dan tiada Tuhan melainkan-Mu, Kamulah Pemberi Rahmat dan yang Pengampun, Permulaan Dunia dan Akhirat, Maharaja Teragung, Yang Hidup dan Yang Tersendiri”.
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Dia berdoa kepada Allah menggunakan sebaik-baik nama-nama-Nya, Allah akan mengabulkannya karena apabila diminta dengan nama-nama-Nya Allah akan memberi.
أَسْتَغْفِرُ اللهَ رَبَّ الْبَرَايَا أَسْتَغْفِرُ اللهَ مِنَ الْخَطَاياَ.(4X)
Surah 4: An-Nisa’: Ayat 106: “Dan hendaklah engkau memohon ampunan dari Allah; sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun, lagi Maha Pengasih.”
Surah 11: Hud: Ayat 90: “Dan mintalah ampunan Tuhanmu, kemudian kembalilah taat kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Mengasihani, lagi Maha Pengasih”
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ وَمَجَّدَ وَعَظَّمَ وَرَضِيَ اللهُ تَعاَلَى عَنْ آلِ وَأَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِ التَّابِعِيْنَ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ (50X)
Komentar tentang kalimaT tauhid sangat panjang. Kalimat “La ilaha illallah” ini adalah kunci surga. Diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Allah tidak membenarkan seseorang masuk ke neraka jikalau dia mengucapkan kalimah tauhid ini berulang-ulang kali.”
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَـدٌ. اَللهُ الصَّمَـدُ. لَمْ يَلِـدْ وَلَمْ يٌوْلَـدْ. وَلَمْ يَكُـنْ لَهُ كُفُـوًا أَحَـدٌ (3X)
Dari Imam Bukhari, diriwayatkan daripada Abu Sa’id al-khudri; seseorang mendengar bacaan surah al-Ikhlas berulang-ulang di masjid. Pada keesokan paginya dia datang kepada Rasulullah s.a.w. dan sampaikan perkara itu kepadanya sebab dia menyangka bacaan itu tidak cukup dan lengkap. Rasulullah s.a.w berkata, “Demi tangan yang memegang nyawaku, surah itu seperti sepertiga al Quran!”
Dari Al-Muwatta', diriwayatkan oleh Abu Hurairah; Saya sedang berjalan dengan Rasulullah s.a.w, lalu baginda mendengar seseorang membaca surah al-Ikhlas. Baginda berkata, “Wajiblah.” Saya bertanya kepadanya, “Apa ya Rasulallah?” Baginda menjawab, “Syurga” (Wajiblah syurga bagi si pembaca itu).
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ، مِنْ شَرِّ ماَ خَلَقَ، وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ، وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ، وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَد
Diriwayatkan dari Aisyah r.a beliau berkata: Rasulullah s.a.w biasanya apabila ada salah seorang anggota keluarga baginda yang sakit, baginda menyemburnya dengan membaca bacaan-bacaan. Sementara itu, ketika baginda menderita sakit yang menyebabkan baginda wafat, aku juga menyemburkan baginda dan mengusap baginda dengan tangan baginda sendiri, kerana tangan baginda tentu lebih banyak berkatnya daripada tanganku.
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ، مَلِكِ النَّاسِ، إِلَهِ النَّاسِ، مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ، اَلَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِي صُدُوْرِ النَّاسِ، مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ.
Dari Tirmidzi diriwayatkan daripada Abu Sa’id al-Khudri; Nabi Muhammad s.a.w selalu meminta perlindungan dari kejahatan jin dan perbuatan hasud manusia. Apabila surah al-falaq dan an-nas turun, baginda ketepikan yang lain dan membaca ayat-ayat ini saja.
ó Rahasia Bilangan Ratib al Haddad
Setiap ayat, do’a, dan nama Allah yang disebutkan dalam Ratib dipetik dari Al Qur’an dan Hadits Rasul SAW . Bilangan bacaan disetiap doa dibuat sebanyak tiga kali, tujuh kali, dan seterusnya, semua ini berdasarkan petunjuk al Habib Abdullah bin Alawi al Haddad. Beliau menyusun dzikir-dzikir yang pendek dan di baca berulang kali dengan tujuan agar memudahkan pembacaannya, dzikir yang pendek ini jika selalu dibaca secara istiqomah, maka lebih utama dari pada dzikir yang panjang yang tidak dibaca secara istiqomah. Dan perlu diketahui bahwa setiap ayat, do’a, dan nama Allah yang disebutkan dalam Ratib al Haddad dipetik dari Al-Qur’an dan Hadits Rasul SAW. Sedang Menurut KH. Abdullah Faqih, jumlah bilangan yang ada pada setiap lafadz Ratib al-Haddad merupakan pengibaratan dari sebuah ruangan yang tertutup, bagi orang yang mau memasukinya ia membutuhkan sebuah kunci, dan geratan-geratan yang ada pada kunci itu adalah jumlah bilangan bacaan yang ada pada Ratib al Haddad. Selain itu, dalam pengamalan Ratib al-Haddad, beliau berpegang pada apa yang ada dalam kitab”حصن الحصين”.
ó Fadhilah Membaca Ratib al Haddad
Sejumlah ulama ahli salaf Berkata: “Antara keutamaan ratib ini bagi mereka yang tetap mengamalkannya, adalah dipanjangkan umur, mendapat Husnul-Khatimah, menjaga segala kepunyaannya di laut dan di bumi dan senantiasa berada dalam perlindungan Allah.” Dan dikatakan juga bagi siapapun yang mempunyai hajat tertentu, maka bacalah ratib di tempat yang kosong dan sunyi dengan sebelumnya berwudlu, menghadap kiblat dan berniat apa kehendaknya, Insyaallah hajatnya akan terkabul. Para Ulama salaf banyak yang berkata bahwa Ratib al Haddad sangatlah Mujarab dalam menyampaikan segala permintaan jika dibacanya sebanyak 41 kali.
Adapun kelebihan lain dari Ratib al Haddad adalah, menjaga rumah pembacanya dan 40 rumah tetangganya yang berdekatan dengan rumah si pembaca dari kebakaran, pencurian dan sihir. As-Syeikh Ali Baras berkata: “Apabila dibaca dalam suatu kampung atau suatu tempat, ia mengamankan ahlinya seperti dijaga oleh 70 pahlawan yang bekuda. Ratib ini mengandung rahasia-rahasia yang bermanfaat. Mereka yang tetap mengamalkannya akan diampunkan Allah dosa-dosanya sebanyak buih di laut.”
Bagi mereka yang terkena sihir dan membaca ratib, Insya-Allah diselamatkan Allah dengan berkat Asma’ Allah, ayat-ayat al-Quran dan amalan Nabi Muhammad s.a.w. Al-Habib Husain bin Abdullah bin Muhammad bin Muhsin bin Husain al-Attas berkata: “Mereka yang mengamalkan ratib dan terpatuk ular niscaya tidak akan terjadi apa-apa pada dirinya. Bagi orang yang takut niscaya akan selamat dari segala yang ditakuti. Hal ini terbukti dengan adanya seorang yang diserang oleh 15 orang pencuri namun karena ia istiqamah mengamalkan Ratib alhamdulillah Allah memberikannya keselamatan.”
Tradisi Membaca Ratib al-Haddad yang berkembang di Masyarakat Lamongan.
Untuk penelitian mengenai tradisi membaca Ratib al-Haddad di Lamongan, di sini akan difokuskan di desa Pucuk dan PP. Langitan yang merupakan salah satu pondok salaf terbesar di Jawa Timur. Pondok ini berdiri di bawah naungan tokoh terkenal KH. Abdullah Faqih yang berada kira-kira empat ratus meter sebelah selatan ibukota Kecamatan Widang, atau kurang lebih 30 km sebelah selatan Kabupaten Tuban, juga berbatasan dengan kecamatan Babat Kabupaten Lamongan dengan jarak kira-kira satu kilo meter. Kegiatan membaca Ratib al-Haddad di pondok ini biasanya dilaksanakan pada setiap kamis terakhir bulan safar, yang mana hari itu merupakan hari besar bagi PP. Langitan, karena di hari itu juga biasanya diadakan Haul Langitan. Adapun dalam membaca Ratib al-Haddad ini bisanya dengan mendatangkan salah satu keturunan al-Haddad yang salah satunya adalah bernama Syekh Habib Husain. Setiap kali beliau datang ke PP. Langitan, beliau mengijazah kepada para santri, masyarakat, wali santri, dan para ustadz-ustadazh di sana agar senantiasa mengamalkan pembacaan Ratib al-Haddad secara istiqomah setiap hari satu kali.
Bagi masing-masing individu pondok Langitan, berkembang juga tradisi membaca Ratib al-Haddad setiap harinya. Sedang bagi semua santri tanpa terkecuali biasanya dibaca secara serempak dan bersama-sama pada kamis malam jum’at setelah sholat isya’.
Pembacaan Ratib al-Haddad selain berjalan dan berkembang di PP. Langitan, di desa Pucuk juga berjalan tradisi yang serupa, sedikit perbedaannya hanya pada masalah waktu. Di desa tersebut masyarakat biasanya membaca Ratib al Haddad setelah Shalat Maghrib (Individu), dan dibaca bersama disertai dengan pengajian, dan pembagian makanan pada peserta setiap malam Jum’at Pahing, yang mana menurut mereka (orang NU) berkeyakinan bahawa malam Jum’at Pahing merupakan Lailatul Istima’ yakni malan dimana kebanayakan do’a terkabul.
Analisis
Setelah dipaparkan panjang lebar mengenai Ratib al-Hadad, dapat difahami bahwa kegiatan pembacaan Ratib al-Haddad ternyata sudah ada sejak 1071 H. Ini berarti menunjukkan bahwa Ratib al-Haddad bukanlah hal yang baru dan tidak merupakan pembacaan yang asal-asalan, sebab semua dasar pengambilan lafadz-lafadz yang ada pada Ratib al-Haddad kesemuanya merujuk pada Al-Qur’an dan juga hadis. Demikian juga dengan faedah yang dan manfaatnya.
Selian itu, pada mulanya pembacaan Ratib al-Haddad di masa al-Habib adalah setelah isya’, namun waktu ini tidaklah mengikat dan mengharuskan pada setiap pembacanya untuk mengikuti apa yang dipaparkan al-Habib, ini ditunjukkan oleh Habib Husain salah satu keturunannya yang ketika beliau mengijazahkan bacaan Ratib al-Haddad pada masyarakat, beliau tidak menjelaskan waktu khusus untuk membacanya, yang terpenting adalah Ratib itu dibaca minmal kali dalam sehari secara istiqamah. Dan sejauh pengamatan dan wawancara yang dilakukan ternyata tradisi membaca Ratib al-Haddad hanya berjalan di kalangan orang NU, adapun untuk selain orang NU, sejauh ini penulis belum menemukan.
Penutup dan Kesimpulan
Dibalik apa (setiap ayat Al Qur’an ) yang telah diturunkan Allah kepada Umat manusia semua itu mengandung hikmah dan rahasia tersendiri, begitu Agung kuasanya, Dia menciptakan bumi serta isinya, penyakit serta obatnya semua itu diturunkan-Nya dengan tidak melebihi batas kemampuan hamba-Nya, yang salah satunya adalah ketika para penduduk Syibam salah satu perkampungan di Hadromaut Yaman dilanda ajaran kesesatan, Allah menurunkan dzkiri-dzikir Al Qur’an melalui prantara salah satu hamba-Nya yang mukmin guna menagkal kesesatan tersebut agar tidak sampai menguasai diri kebanyakan Mukmin. Yang dalam hal ini adalah Ratib al-Haddad. Dalam Ratib al-Haddad banyak terkandung faedah dan manfaat, dan oleh karenanya marilah kita picu diri kita untuk senantiasa mendekatkan diri dengan-Nya dengan memperbanyak dzikir yang salah satunya adalah dengan membaca Ratib al-Haddad. Dan insyaallah dari pembacaan tersebut diri kita akan senantiasa dalam keselamatan dan perlindungannya.
Demikian sekilas mengenai Ratib al-Haddad, sebagai penutup penulis merasa dalam makalah ini masih banyak ditemukan kekurangan-kekurang dan untuk itu saran kritik yang membangun baik dari Bapak Dosen maupun teman-teman amatlah penulis butuhkan guna menyempurnakan makalah ini agar benar-benar layak untuk dikonsumsi semua pembaca.
Hadis Dalam Pandangan Fazlur Rahman
Pendahuluan
Krisis fundamental yang dihadapi Islam pada masa modern ini adalah semacam perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan sejarah Islam. Oleh karena itu, problem mendasar kaum muslimin modern adalah bagaimana merehabilitasi sejarah tersebut dan membuatnya berjalan lagi dengan kekuatan penuh sehingga masyarakat Islam dapat maju ke depan sebagaimana mestinya masyarakat yang terpimpin secara Ilahiyah. Ide-ide pembaharuan sebagai upaya mengantisipasi krisis ini telah banyak muncul. Akan tetapi metode yang dikembangkan oleh pembaharu dalam menjawab krisis tersebut terlihat belum memuaskan.
Dengan latar belakang inilah, Rahman berupaya merumuskan metodologi sistematisnya dalam gerakan pembaharuan yang sering dikenal dengan neo-modernisme. Rahman menyadari bahwa krisis yang digambarkan tersebut mempunyai implikasi yang serius terhadap masa depan Islam dan umatnya. Dan akar krisis ini bagi Rahman terletak pada sejarah keagamaan Islam karena sejak penghujung abad pertama hijriyah kaum muslimin telah mengembangkan suatu sikap yang kaku dalam memandang kedua sumber pemikiran Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi lewat pendekatan-pendekatan ahistoris, literalis, dan atomistis. Pendekatan-pendekatan semacam ini telah menceraikan al-Qur’an dan sunnah Nabi dari akar kesejarahannya dan mereduksi keduanya menjadi kompendia yang terdiri dari bagian-bagian yang terisolasi dan fragmentasi.
A. Sekilas mengenai Fazlur Rahman
Fazlur Rahman lahir pada tahun 1919 tepatnya tanggal 21 September, di daerah hazara yang terletak di wilayah Barat Laut Pakistan. Ketika Rahman lahir, anak benua Indo-Pakistan belum terpecah menjadi dua negara merdeka yang masih menyisakan persoalan, yakni India dan Pakistan. Daya pikat rasionalitas cendekiawan satu ini, tak sekadar bisa dilacak dari pengalaman akademis atau latar belakang keilmuan semata. Jejak tapaknya bisa juga ditemukan sedari keluarga dan lingkungan tempat Rahman dibesarkan.
Dia dibesarkan dalam keluarga muslim nan religius bermadzhab Hanafi, satu madzhab fiqh yang dikenal paling rasional di antara madzhab sunni lainnya . Ayahnya adalah sosok kyai yang mengajar di madrasah tradisional paling bergengsi di anak benua Indo-Pakistan yakni Deoband. Meski begitu, berbeda dengan kebanyakan kaum tradisional lainnya, ayah Rahman yakni Maulana Syahab Al-Din ialah seorang kyai tradisional yang melihat modernitas sebagai tantangan yang perlu disikapi dan bukan dihindari. Kepada sang ayah, Rahman belajar ilmu tradisional, selain juga mengenyam pendidikan formal. Ia anak yang cerdas, hingga tak heran di usia 10 tahun, Qur’an telah dihapalnya di luar kepala. Empat tahun kemudian, ia sudah mulai belajar filsafat, bahasa Arab, teologi, hadis, dan tafsir.
B. Perjalanan Rahman dalam menimba ilmu.
Setelah menamatkan sekolah menengah, Rahman mengambil studi bidang sastra arab di Departeman Ketimuran pada Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia berhasil menyelesaikan studinya di Universitas tersebut dan mendapat gelar M. A dalam sastra Arab. Kemudian ia meneruskan studynya ke Lahore untuk program Ph.D., tetapi setelah beberapa waktu Rahman merasa tidak puas terhadap mutu pendidikan yang ada di dalamnya, akhirnya ia memutuskan untuk tidak meneruskan, dan pada 1946, Rahman melanjutkan studi ke Oxford University, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1950. Pada masa ini seorang Rahman giat mempelajari bahasa-bahasa Barat, sehinga ia menguasai banyak bahasa . Ia mengajar beberapa saat di Durham University, Inggris, kemudian menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy di Islamic Studies, McGill University, Kanada. Sekembalinya ke tanah air, Pakistan, pada Agustus 1962, ia diangkat sebagai direktur pada Institute of Islamic Research. Belakangan, ia juga diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintah Pakistan, tahun 1964. Lembaga Islam tersebut bertujuan untuk menafsirkan islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif. Sedangkan Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik yang sudah maupun belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Kedua lembaga ini memiliki hubungan kerja yang erat, karena Dewan Penasehat bisa meminta lembaga riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan mengajukan saran mengenai rancangan undang-undang. Karena tugas yang diemban oleh kedua lembaga inilah Rahman intens dalam usaha-usaha menafsirkan kembali Islam untuk menjawab tantangan-tantangan masa itu. Tentu saja gagasan-gagasan liberal Rahman, yang merepresentasikan kaum modernis, selalu mendapatkan serangan dari kalangan ulama tradisionalis dan fundamentalis di Pakistan. Ide-idenya di seputar riba dan bunga bank, sunnah dan hadis, zakat, proses turunnya wahyu Al-Qur'an, fatwa mengenai kehalalan binatang yang disembelih secara mekanis, dan lainnya, telah meledakkan kontroversi-kontroversi berskala nasional yang berkepanjangan. Bahkan pernyataan Rahman dalam karya magnum opusnya, Islam, bahwa Al-Qur'an itu secara keseluruhannya adalah kalam Allah dan dalam pengertian biasa juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad, telah menghebohkan media massa selama kurang lebih setahun. Banyak media yang menyudutkannya. Al-Bayyinat, media kaum fundamentalis, misalnya, menetapkan Rahman sebagai munkir al-Quran. Puncak kontroversi ini adalah demonstrasi massa dan aksi mogok total, yang menyatakan protes terhadap buku tersebut. Akhirnya, Rahman pun mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam pada 5 September 1968. Jabatan selaku anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam juga dilepaskannya pada 1969.
Akhirnya, Rahman memutuskan hijrah ke Chicago untuk menjabat sebagai guru besar dalam kajian Islam dalam segala aspeknya pada Departement of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago. Bagi Rahman, tampaknya tanah airnya belum siap menyediakan lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggungjawab.
C. Karya-karya Rahman
Sebagai seorang intelek yang sangat produktif dan progrssif, Rahman telah mengahsilkan banyak karya tulis dalam berbagai bidang keilmuan yang luas. Karya-karya Rahman dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu: karya-karya dalam bentuk buku, artikel, dan review buku.
Karya-karya Rahman yang berbentuk buku setidaknya berjumlah sekitar Sembilan buah, diantaranya: 1. Avicenna Psychology (Oxford: Oxford University Press,1952); 2. Propesy in Islam, Philosophy and Ortodoxcy ( G. Allen & Unwin, London, 1958 ); 3. Avicenna De Anima, Being the Psysicological Part of Kitab al Syifa'( New York: Oxford University Press, 1959); 4. Islamic Metodology in History( Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965), yang berisi tentang kajian Rahman tentang evolusi history dari aplikasi keempat prinsip pokok pemikiran islam, yaitu al Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas, serta peran aktual dari prinsip-prinsip tersebut bagi perkembangan islam; 5. Islam (Hold Rineland & Winston: New York, 1966) merupakan usaha Rahman dalam member definisi "Islam" bagi Pakistan: 6. Phylosophy of Mulla Sadra Syirazi (Al Bany: State University of New York Press, 1976), merupakan kajian historis Rahman terhadap pemikiran Religio filosofis Sadr al Din Al Syirazi (Mulla Sadra); 7. Major Themes of the Qur'an(Minneapolis Bibliotheca Islamica, 1980) yang berisi delapan tema pokok al Qur'an: Tuhan, manusia sebagai Individu, manusia sebagai anggota masyarakat, alam semesta, kenabian dan wahyu, eskatologi, Syaitan dan kejahatan, serta lahirnya masyarakat muslim; 8. Islam dan Modernity; Transformation of an Intellectual Tradition( Chicago: University of Chicago, 1982), merupakan hasil riset dari Unversitas of Chicago tentang "Islam dan Change" , yang menjelaskan tentang sejarah intelektual dan kehidupan Islam sejak periode klasik sampai periode saat ini; 9. dan Healt and Medicine in Islamic Tradition ( Cross Roads Book: New York, 1987).
Sementara karya-karyanya yang berbentuk artikel yang tersebar dari beberapa jurnal, terjemahan karya berjumlah 75 artikel, disamping 7 artikelnya yang dimuat dalam beberapa insiklopedi dan yang berupa review buku berjumlah 16 tulisan. Selain itu masih terdapat beberapa karya orisinal Rahman yang sampai saat ini belum dipublikasikan.
D. Perkembangan Hadis dan Sunnah
Dalam memahami istilah Sunnah dan Hadis, di kalangan ulama' hadis terjadi terjadi perbedaan pendapat, khususnya antara Ulama' Mutaqaddimin dan Ulama' Muta'akkhirin. Menurut Ulama' Mutaqaddimin istilah sunnah dan hadis mempunyai pengertian yang berbeda. Sunnah adalah segala sesuatu yang diambil dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat-sifat fisik dan non fisik ataupun segala hal ihwal Nabi sebelum diutus menjadi Rasul. Sedang hadis adalah segala perkataan, perbuatan, atau ketetapan yang disandarkan kepada Nabi setelah diutus menjadi Nabi (ba'da nubuwwah). Adapun Ulama' Hadis Muta'akkhirin berpendapat bahwa sunnah sinonim dengan hadis. Hadis dan sunnah memiliki pengertian yang sama, yakni segala ucapan, perbuatan, atau ketetapan Nabi.
Sedang menurut Fazlur Rahman, Sunnah mempunyai pengertian yang berbeda dengan Hadis. Sunnah menurutnya adalah tranmisi non verbal, sementara Hadis adalah transmisi verbal. Setiap Hadis mengandung dua bagian, teks (matan) hadis itu sendiri dan mata rantai transmisi (sanad). Baik ahli-ahli sejarah terdahulu maupun modern sependapat bahwa mula-mula Hadis muncul tanpa dukungan sanad kurang lebih pada pertukarab abad ke-1 H/7M. Sekitar masa ini pulalah Hadis muncul secara besar-besaran ketika ilmu-ilmu tertulis yang formal mulai dirintis. Akan tetapi terdapat bukti yang kuat yang langsung mapun yang tidak langsung yang menunjukkan bahwa sebelum menjadi disiplin yang formal dalam dalam abad ke-2 H/8 M, fenomena Hadis telah muncul paling tidak sejak kira-kira tahun 680-700 M.
Para sahabat memperhatikan perilaku Nabi saw sebagai teladan. Mereka berusaha mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Setelah Nabi saw wafat, berkembanglah penafsiran individual terhadap teladan Nabi itu. Boleh jadi sebagian sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tapi sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Dalam "free market of ideas," pada daerah tertentu seperti Madinah, Kuffah, berkembang sunnah yang umumnya disepakati para ulama di daerah tersebut. Ada sunnah Madinah, ada sunnah Kuffah. Secara berangsur-angsur, pada daerah kekuasaan kaum muslim, berkembang secara demokratis sunnah yang disepakati (amr al-majtama' 'alaih). Karena itu, sunnah tidak lain dari pada opinio publica. Ketika timbul gerakan hadits pada paruh kedua
Abad 2 Hijrah. Sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang ini, diekspresikan dalam hadits. Hadits adalah verbalisasi sunnah. Tahapan inilah memunculkan istilah Dari Sunnah ke Hadis yang sudah menjadi suatu hal yang tidak asing di telinga kita. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah ke dalam hadits ini, telah memasung proses kreatif sunnah dan menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku.
Sedang yang dimaksud dengan istilah Dari Hadis ke Sunah adalah: bahwa perilaku Nabi saw, selama hidupnya terus-menerus menjadi perhatian para sahabat. Mereka dengan kadar yang bermacam-macam berusaha membentuk tingkah lakunya sesuai dengan Nabi saw. Nabi saw. berulangkali menyuruh sahabat menirunya. Dalam hal shalat, Nabi saw. berkata, "Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat." Dalam hal haji, ia berkata "Ambillah dari aku manasik kalian." Sesekali Nabi saw menegaskan, perilakunya itu sunnah yang harus diikuti, "Nikah itu sunnahku. Siapa yang berpaling dari sunnahku ia tidak
termasuk golonganku."Namun yang pertama kali beredar di kalangan kaum muslim adalah hadits. Banyak riwayat menunjukkan perhatian para sahabat untuk menghapal ucapan-ucapan Nabi atau menyampaikan apa yang dilakukan Nabi saw. Ada di antara mereka yang menuliskannya. Misalnya 'Aisyah juga menyimpan catatan-catatan hadits (mungkin ditulis Abu Bakar).
E. Pandangan Rahman mengenai sanad dan matan
Kritik Rahman terhadap hadis dari dimensi matan yang menurutnya banyak yang tidak historis, sistem isnad juga tidak terlepas dari kritikannya. Ia memang mengakui bahwa isnâd di samping mengandung informasi geografis yang kaya, juga telah meminimalkan upaya-upaya pemalsuan hadis, tetapi baginya isnâd tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi positif yang final. Menurut Rahman, isnâd berkembang belakangan bermula di sekitar penghujung abad pertama hijriyah, sehingga hadis-hadis yang bersifat prediktif mengenai gejolak politik di dalam sahih Bukhari dan Muslim meskipun mempunyai isnad yang mengagumkan menurut Rahman tidaklah bisa diterima kalau kita memang benar-benar jujur pada sejarah.
Selanjutnya Rahman memberikan dua kriteria penilai bagi hadis yaitu sejarah dan al Qur’an. Dan hadis-hadis ini harus ditafsirkan secara situasional menurut perspektif historisnya yang tepat dan menurut fungsinya yang tepat di dalam konteks kesejarahannya yang jelas. Dengan prinsip penafsiran yang demikian, Rahman menegaskan agar hadis-hadis hukum tidak difahami sebagai hukum yang sudah jadi untuk bisa diterapkan secara langsung, tetapi harus difahami sebagai suatu masalah yang harus ditinjau kembali (a problem to be retreated).
F. Metode Pemahaman Sunnah
Masalah-masalah mendasar mengenai metodologi penafsiran terhadap kedua sumber pemikiran Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi tidak lagi dibicarakan secara adil oleh kaum muslimin bahkan oleh pembaharu pemikiran Islam. Hal inilah yang membuat Rahman beranggapan bahwa krisis dan problematika yang dialami kaum muslim tersebut hanya akan bisa disembuhkan dengan suatu metodologi yang sistematis dan komprehensif dan metodologi inilah yang nampaknya menjadi karakteristik utama yang membedakannya dari gerakan pembaharuan Islam lainnya.
Dalam kajiannya tentang evolusi sunnah dan hadis, meskipun ia menemukan perbedaan pemahaman terhadap sunnah pada generasi muslim awal dengan generasi berikutnya khususnya setelah kuatnya gerakan hadis, tetapi pada akhirnya Rahman mengakui bahwa satu-satunnya tradisi Nabi yang tertinggal dan sampai pada kita adalah hadis, di mana menurut Rahman banyak yang tidak historis dan sintetis.
Dari sini Rahman menawarkan alternatif berupa penafsiran situasional terhadap hadis-hadis teknis tersebut melalui pendekatan historis dan kritis, karena kebutuhan umat Islam dewasa ini adalah menuangkan kembali atau mencairkan kembali hadis-hadis yang ada ke dalam bentuk sunnah yang hidup. Dalam konteks ini Rahman mengemukakan : tentu saja harus dikemukakan secara tegas bahwa suatu reevaluasi terhadap aneka ragam unsur dalam hadis dan reinterprestasinya yang sempurna selaras dengan perubahan-perubahan kondisi sosiomoral dewasa ini mesti dilakukan. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui suatu studi historis terhadap hadis dengan mereduksinya menjadi sunnah yang hidup dan dengan membedakan secara tegas nilai-nilai nyata yang terkandung di dalamnya latar belakang situasionalnya. Walhasil penafsiran situasional dengan metode pendekatan historis ini mengisyaratkan adanya langkah-langkah strategis; pertama, memahami makna hadis tersebut kemudian memahami latar belakang situasionalnya termasuk memahami asbâb al wurûdnya. Dari sini dapat difahami dan dibedakan nilai-nilai nyata atau sasaran hukumnya (ratio legal) dari ketetapan legal spesifiknya. Dan dengan demikian, bisa dirumuskan prinsip ideal-moral dari hadis tersebut. Kemudian langkah selanjutnya adalah penumbuhan kembali hukumnya, yakni dari prinsip ideal-moral yang didapat tersebut diaplikasikan dan diadaptasikan dalam latar sosiologis dewasa ini. Inilah yang dimaksud dengan pereduksian hadis menjadi “sunnah yang hidup”. Dengan demikian penafsiran situasional Rahman ini mengkombinasikan metoda pendekatan historis dengan metoda pendekatan sosiologis.
G. Kritik Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman
Penafsiran dengan metoda pendekatan historis sosiologis pada satu sisi memang memiliki kelebihan. Karena hasil pemahaman dari penafsiran melalui pendekatan semacam ini akan nampak lebih hidup dan dinamis. Hasil pemahaman dari penafsiran semacam ini sangat dibutuhkan dalam kondisi masyarakat yang semakin dinamis dan mempunyai problematika yang selalu berkembang secara kompleks sebagai suatu dampak dari arus modernisasi dan globalisasi.
Dengan demikian, operasionalisasi ajaran Islam sebagai hasil pemahaman dari penafsiran seperti ini terasa lebih kontekstual dan realis terhadap tuntutan sejarah, dan tidak terasa sebagai pengekangan atau pemandulan terhadap laju modernitas. Akan tetapi sebaliknya bisa jadi sebagai alat legitimasi bagi proses modernisasi.
Pada dataran aplikatifnya yang mapan, penafsiran dengan metoda pendekatan semacam ini juga memungkinkan untuk memberi jawaban bagi krisis serta problematika pemikiran Islam dan merupakan jawaban bagi kelemahan penafsiran dan pemahaman literal dari ulama’-ulama’ klasik khususnya al Syafi’I sebagaimana dituduhkan Rahman, bahkan jawaban bagi modernis klasik yang menganggap ketidak normatifan dan invaliditas sunnah karena terlalu irrasional, dan berbanding terbalik dengan kebutuhan masyarakat kontemporer.
Akan tetapi di sisi lain metoda pendekatan Rahman ini sangat memungkinkan sekali terhadap munculnya subyektivitas yang sangat dominan, karena proses perumusan hikmah yang tidak jelas indikatornya berarti mengharuskan keikutsertaan penghayatan psikologis seseorang dalam proses pemahaman dan penafsiran tersebut. Pada titik ini ketidak mampuan seseorang mengontrol kesadaran psikologisnya kemungkinan besar terjadi. Padahal ketidak mampuan mengontrol kesadaran psikologis ini akan berakibat pemaksaan terhadap obyek pemahaman dan penafsiran (dalam hal ini adalah hadis) untuk menghasilkan kesimpulan atau doktrin-doktrin hukum yang tunduk kepada kecenderungan subyektif. Jika demikian, akan terjadi proses penuhanan dan penabian subyektivitas.
Untuk selanjutnya, Rahman dengan motodologi kritik hadis mengatakan ketidak setujuannya tentang pemikiran-pemikiran ulama’- ulama’ klasik, bahwa historisitas hadis dijustifikasi oleh isnâd. Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa Rahman tidak menerima sistem isnâd (metodologi kritik sanad) dalam rangka menentukan validitas hadis. Pemikiran Rahman yang demikian ini berarti telah menafikan pemikir-pemikir klasik dan muhaddisîn (tradisionalis) yang telah menyeleksi puluhan ribu hadis untuk menentukan validitas (kesahihannya) dengan metode kritik sanad.
Dalam rangka menyeleksi dan membersihkan hadis dari pemalsuan, ahli hadis telah merumuskan seperangkat teori, yang diantaranya adalah metodologi kritik sanad hadis. Dari seperangkat teori tersebut, mereka menghasilkan klasifikasi hadis menjadi mutawatir, ahad, masyhûr, azîz dan gharîb, sahîh, hasan, dla’îf serta mursal, muttashil dan sebagainya. Dengan pemikiran tersebut, Rahman secara tidak langsung telah menafikan klasifikasi-klasifikasi hadis yang demikian. Di samping itu juga telah mengaburkan teori-teori ulama’ klasik tentang qath’i dan dzanni hadis. Dalam penelitian hadis, kritik yang ditujukan kepada sanad merupakan kritik ekstern atau al naqd al khariji atau disebut juga al naqd al dzâhiri, sedang kritik yang ditujukan kepada matan merupakan kritik intern atau al naqd al dâkhili atau biasa disebut al naqd al bâtini. Dalam melakukan kritik terhadap hadis, pada kenyataannya Rahman menggunakan metode kritik matan dan mengesampingkan metode kritik sanad. Dan kriterium penilai yang digunakan adalah sejarah dan al- Qur’an. Kriterium penilai sejarah dimaksudkan bahwa jika matan hadis tidak mencerminkan problematika yang cocok untuk periode Nabi Muhammad, maka jelas hadis tersebut dinyatakan palsu (tidak sahih). Sedang kriterium penilai al-Qur’an dimaksudkan bahwa jika matan suatu hadis tidak relevan dengan isyarat al-Qur’an, maka juga dinyatakan palsu. Selanjutnya jika kita menganalisa metode kritik hadis para tradisionis (muhaddisîn), kita juga mendapatkan gambaran bahwa meskipun mereka telah membuat beberapa kaedah tentang kesahihan hadis, namun dalam pelaksanaannya terhadap kritik matan masih kurang mendapatkan porsi yang mapan, sehingga jika diletakkan pada kerangka teori metode sejarah di atas, maka melaksanaan metode kritik yang demikian punya kelemahan, karena masih dianggap mengesampingkan kritik intern hadis.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Fazlur Rahman tidak menyamakan antara pengertian Sunnah dan Hadis. Menurutnya Sunnah adalah tranmisi non verbal, sementara Hadis adalah transmisi verbal. Sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang ini, diekspresikan dalam hadits. Hadits adalah verbalisasi sunnah. Hal inilah yang memunculkan istilah Dari Sunnah ke Hadis. Sedang yang dimaksud dengan istilah Dari Hadis ke Sunah adalah: bahwa perilaku Nabi saw, selama hidupnya terus-menerus menjadi perhatian para sahabat. Mereka dengan kadar yang bermacam-macam berusaha membentuk tingkah lakunya sesuai dengan Nabi saw. Nabi saw berulangkali menyuruh sahabat menirunya. Dalam hal shalat, Nabi saw bersabda: "Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat." Dalam hal haji, ia berkata "Ambillah dari aku manasik kalian." Sesekali Nabi saw menegaskan, perilakunya itu sunnah yang harus diikuti, "Nikah itu sunnahku. Siapa yang berpaling dari sunnahku ia tidak termasuk golonganku.
Dan untuk menanggulangi permasalahan yang dialami oleh kaum muslim (dalam memandang kedua sumber pemikiran Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi lewat pendekatan-pendekatan ahistoris, literalis, dan atomistis) Rahman menawarkan penafsiran situasional dengan metode pendekatan historis, kemudian mengkombinasikannya dengan metoda pendekatan sosiologis.
Disamping itu, dalam melakukan kritik terhadap hadis, pada kenyataannya Rahman menggunakan metode kritik matan dan mengesampingkan metode kritik sanad. Hal ini dikarenakan sanâd berkembang belakangan bermula di sekitar penghujung abad pertama hijriyah, sehingga hadis-hadis yang bersifat prediktif mengenai gejolak politik di dalam sahih Bukhari dan Muslim meskipun mempunyai isnad yang mengagumkan menurut Rahman tidaklah bisa diterima kalau kita memang benar-benar jujur pada sejarah. Selanjutnya Rahman memberikan dua kriteria penilai bagi hadis yaitu sejarah dan al Qur’an, suatu hadis dikatakan sahih apabila tidak bertentangan dengan sejarah begitu juga dengan al Qur'an.
Daftar Pustaka
Al Shalih, Shubhi. Memahami Ilmu-Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007.
Amal, Tufik Adnan. Islam dan Tantang Modernitas. Bandung: Mizan, 1999.
___________. Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neomodernisme Islam Dewasa Ini dalam Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif.
Rahman, Fazlur. Islam dan Tantangan Modernitas: Tentang Transformatif social, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1985.
___________. Kontroversi Kenabian dalam Islam: antara Filsafat dan Ortodoksi, (Bandung: Mizan, 2003)
___________. Islam. Bandung: Pustaka, 1984.
___________. Membuka Pintu Ijtihad. Bandung: Pustaka, 1995.
Suryadi, Metode Kontemporer Pemahaman Hadis Nabi. Yogyakarta: Teras, 2008.
M Ihsan Ali Fauzi dan Taufik Adnan Amal,"Bibliografi Karya-karya Intelektual Fazlur Rahman", dalam Jurnal Islamika, vol. 2, Oktober-Desember, 1993, hlm. 81-84.
Krisis fundamental yang dihadapi Islam pada masa modern ini adalah semacam perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan sejarah Islam. Oleh karena itu, problem mendasar kaum muslimin modern adalah bagaimana merehabilitasi sejarah tersebut dan membuatnya berjalan lagi dengan kekuatan penuh sehingga masyarakat Islam dapat maju ke depan sebagaimana mestinya masyarakat yang terpimpin secara Ilahiyah. Ide-ide pembaharuan sebagai upaya mengantisipasi krisis ini telah banyak muncul. Akan tetapi metode yang dikembangkan oleh pembaharu dalam menjawab krisis tersebut terlihat belum memuaskan.
Dengan latar belakang inilah, Rahman berupaya merumuskan metodologi sistematisnya dalam gerakan pembaharuan yang sering dikenal dengan neo-modernisme. Rahman menyadari bahwa krisis yang digambarkan tersebut mempunyai implikasi yang serius terhadap masa depan Islam dan umatnya. Dan akar krisis ini bagi Rahman terletak pada sejarah keagamaan Islam karena sejak penghujung abad pertama hijriyah kaum muslimin telah mengembangkan suatu sikap yang kaku dalam memandang kedua sumber pemikiran Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi lewat pendekatan-pendekatan ahistoris, literalis, dan atomistis. Pendekatan-pendekatan semacam ini telah menceraikan al-Qur’an dan sunnah Nabi dari akar kesejarahannya dan mereduksi keduanya menjadi kompendia yang terdiri dari bagian-bagian yang terisolasi dan fragmentasi.
A. Sekilas mengenai Fazlur Rahman
Fazlur Rahman lahir pada tahun 1919 tepatnya tanggal 21 September, di daerah hazara yang terletak di wilayah Barat Laut Pakistan. Ketika Rahman lahir, anak benua Indo-Pakistan belum terpecah menjadi dua negara merdeka yang masih menyisakan persoalan, yakni India dan Pakistan. Daya pikat rasionalitas cendekiawan satu ini, tak sekadar bisa dilacak dari pengalaman akademis atau latar belakang keilmuan semata. Jejak tapaknya bisa juga ditemukan sedari keluarga dan lingkungan tempat Rahman dibesarkan.
Dia dibesarkan dalam keluarga muslim nan religius bermadzhab Hanafi, satu madzhab fiqh yang dikenal paling rasional di antara madzhab sunni lainnya . Ayahnya adalah sosok kyai yang mengajar di madrasah tradisional paling bergengsi di anak benua Indo-Pakistan yakni Deoband. Meski begitu, berbeda dengan kebanyakan kaum tradisional lainnya, ayah Rahman yakni Maulana Syahab Al-Din ialah seorang kyai tradisional yang melihat modernitas sebagai tantangan yang perlu disikapi dan bukan dihindari. Kepada sang ayah, Rahman belajar ilmu tradisional, selain juga mengenyam pendidikan formal. Ia anak yang cerdas, hingga tak heran di usia 10 tahun, Qur’an telah dihapalnya di luar kepala. Empat tahun kemudian, ia sudah mulai belajar filsafat, bahasa Arab, teologi, hadis, dan tafsir.
B. Perjalanan Rahman dalam menimba ilmu.
Setelah menamatkan sekolah menengah, Rahman mengambil studi bidang sastra arab di Departeman Ketimuran pada Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia berhasil menyelesaikan studinya di Universitas tersebut dan mendapat gelar M. A dalam sastra Arab. Kemudian ia meneruskan studynya ke Lahore untuk program Ph.D., tetapi setelah beberapa waktu Rahman merasa tidak puas terhadap mutu pendidikan yang ada di dalamnya, akhirnya ia memutuskan untuk tidak meneruskan, dan pada 1946, Rahman melanjutkan studi ke Oxford University, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1950. Pada masa ini seorang Rahman giat mempelajari bahasa-bahasa Barat, sehinga ia menguasai banyak bahasa . Ia mengajar beberapa saat di Durham University, Inggris, kemudian menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy di Islamic Studies, McGill University, Kanada. Sekembalinya ke tanah air, Pakistan, pada Agustus 1962, ia diangkat sebagai direktur pada Institute of Islamic Research. Belakangan, ia juga diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintah Pakistan, tahun 1964. Lembaga Islam tersebut bertujuan untuk menafsirkan islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif. Sedangkan Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik yang sudah maupun belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Kedua lembaga ini memiliki hubungan kerja yang erat, karena Dewan Penasehat bisa meminta lembaga riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan mengajukan saran mengenai rancangan undang-undang. Karena tugas yang diemban oleh kedua lembaga inilah Rahman intens dalam usaha-usaha menafsirkan kembali Islam untuk menjawab tantangan-tantangan masa itu. Tentu saja gagasan-gagasan liberal Rahman, yang merepresentasikan kaum modernis, selalu mendapatkan serangan dari kalangan ulama tradisionalis dan fundamentalis di Pakistan. Ide-idenya di seputar riba dan bunga bank, sunnah dan hadis, zakat, proses turunnya wahyu Al-Qur'an, fatwa mengenai kehalalan binatang yang disembelih secara mekanis, dan lainnya, telah meledakkan kontroversi-kontroversi berskala nasional yang berkepanjangan. Bahkan pernyataan Rahman dalam karya magnum opusnya, Islam, bahwa Al-Qur'an itu secara keseluruhannya adalah kalam Allah dan dalam pengertian biasa juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad, telah menghebohkan media massa selama kurang lebih setahun. Banyak media yang menyudutkannya. Al-Bayyinat, media kaum fundamentalis, misalnya, menetapkan Rahman sebagai munkir al-Quran. Puncak kontroversi ini adalah demonstrasi massa dan aksi mogok total, yang menyatakan protes terhadap buku tersebut. Akhirnya, Rahman pun mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam pada 5 September 1968. Jabatan selaku anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam juga dilepaskannya pada 1969.
Akhirnya, Rahman memutuskan hijrah ke Chicago untuk menjabat sebagai guru besar dalam kajian Islam dalam segala aspeknya pada Departement of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago. Bagi Rahman, tampaknya tanah airnya belum siap menyediakan lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggungjawab.
C. Karya-karya Rahman
Sebagai seorang intelek yang sangat produktif dan progrssif, Rahman telah mengahsilkan banyak karya tulis dalam berbagai bidang keilmuan yang luas. Karya-karya Rahman dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu: karya-karya dalam bentuk buku, artikel, dan review buku.
Karya-karya Rahman yang berbentuk buku setidaknya berjumlah sekitar Sembilan buah, diantaranya: 1. Avicenna Psychology (Oxford: Oxford University Press,1952); 2. Propesy in Islam, Philosophy and Ortodoxcy ( G. Allen & Unwin, London, 1958 ); 3. Avicenna De Anima, Being the Psysicological Part of Kitab al Syifa'( New York: Oxford University Press, 1959); 4. Islamic Metodology in History( Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965), yang berisi tentang kajian Rahman tentang evolusi history dari aplikasi keempat prinsip pokok pemikiran islam, yaitu al Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas, serta peran aktual dari prinsip-prinsip tersebut bagi perkembangan islam; 5. Islam (Hold Rineland & Winston: New York, 1966) merupakan usaha Rahman dalam member definisi "Islam" bagi Pakistan: 6. Phylosophy of Mulla Sadra Syirazi (Al Bany: State University of New York Press, 1976), merupakan kajian historis Rahman terhadap pemikiran Religio filosofis Sadr al Din Al Syirazi (Mulla Sadra); 7. Major Themes of the Qur'an(Minneapolis Bibliotheca Islamica, 1980) yang berisi delapan tema pokok al Qur'an: Tuhan, manusia sebagai Individu, manusia sebagai anggota masyarakat, alam semesta, kenabian dan wahyu, eskatologi, Syaitan dan kejahatan, serta lahirnya masyarakat muslim; 8. Islam dan Modernity; Transformation of an Intellectual Tradition( Chicago: University of Chicago, 1982), merupakan hasil riset dari Unversitas of Chicago tentang "Islam dan Change" , yang menjelaskan tentang sejarah intelektual dan kehidupan Islam sejak periode klasik sampai periode saat ini; 9. dan Healt and Medicine in Islamic Tradition ( Cross Roads Book: New York, 1987).
Sementara karya-karyanya yang berbentuk artikel yang tersebar dari beberapa jurnal, terjemahan karya berjumlah 75 artikel, disamping 7 artikelnya yang dimuat dalam beberapa insiklopedi dan yang berupa review buku berjumlah 16 tulisan. Selain itu masih terdapat beberapa karya orisinal Rahman yang sampai saat ini belum dipublikasikan.
D. Perkembangan Hadis dan Sunnah
Dalam memahami istilah Sunnah dan Hadis, di kalangan ulama' hadis terjadi terjadi perbedaan pendapat, khususnya antara Ulama' Mutaqaddimin dan Ulama' Muta'akkhirin. Menurut Ulama' Mutaqaddimin istilah sunnah dan hadis mempunyai pengertian yang berbeda. Sunnah adalah segala sesuatu yang diambil dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat-sifat fisik dan non fisik ataupun segala hal ihwal Nabi sebelum diutus menjadi Rasul. Sedang hadis adalah segala perkataan, perbuatan, atau ketetapan yang disandarkan kepada Nabi setelah diutus menjadi Nabi (ba'da nubuwwah). Adapun Ulama' Hadis Muta'akkhirin berpendapat bahwa sunnah sinonim dengan hadis. Hadis dan sunnah memiliki pengertian yang sama, yakni segala ucapan, perbuatan, atau ketetapan Nabi.
Sedang menurut Fazlur Rahman, Sunnah mempunyai pengertian yang berbeda dengan Hadis. Sunnah menurutnya adalah tranmisi non verbal, sementara Hadis adalah transmisi verbal. Setiap Hadis mengandung dua bagian, teks (matan) hadis itu sendiri dan mata rantai transmisi (sanad). Baik ahli-ahli sejarah terdahulu maupun modern sependapat bahwa mula-mula Hadis muncul tanpa dukungan sanad kurang lebih pada pertukarab abad ke-1 H/7M. Sekitar masa ini pulalah Hadis muncul secara besar-besaran ketika ilmu-ilmu tertulis yang formal mulai dirintis. Akan tetapi terdapat bukti yang kuat yang langsung mapun yang tidak langsung yang menunjukkan bahwa sebelum menjadi disiplin yang formal dalam dalam abad ke-2 H/8 M, fenomena Hadis telah muncul paling tidak sejak kira-kira tahun 680-700 M.
Para sahabat memperhatikan perilaku Nabi saw sebagai teladan. Mereka berusaha mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Setelah Nabi saw wafat, berkembanglah penafsiran individual terhadap teladan Nabi itu. Boleh jadi sebagian sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tapi sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Dalam "free market of ideas," pada daerah tertentu seperti Madinah, Kuffah, berkembang sunnah yang umumnya disepakati para ulama di daerah tersebut. Ada sunnah Madinah, ada sunnah Kuffah. Secara berangsur-angsur, pada daerah kekuasaan kaum muslim, berkembang secara demokratis sunnah yang disepakati (amr al-majtama' 'alaih). Karena itu, sunnah tidak lain dari pada opinio publica. Ketika timbul gerakan hadits pada paruh kedua
Abad 2 Hijrah. Sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang ini, diekspresikan dalam hadits. Hadits adalah verbalisasi sunnah. Tahapan inilah memunculkan istilah Dari Sunnah ke Hadis yang sudah menjadi suatu hal yang tidak asing di telinga kita. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah ke dalam hadits ini, telah memasung proses kreatif sunnah dan menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku.
Sedang yang dimaksud dengan istilah Dari Hadis ke Sunah adalah: bahwa perilaku Nabi saw, selama hidupnya terus-menerus menjadi perhatian para sahabat. Mereka dengan kadar yang bermacam-macam berusaha membentuk tingkah lakunya sesuai dengan Nabi saw. Nabi saw. berulangkali menyuruh sahabat menirunya. Dalam hal shalat, Nabi saw. berkata, "Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat." Dalam hal haji, ia berkata "Ambillah dari aku manasik kalian." Sesekali Nabi saw menegaskan, perilakunya itu sunnah yang harus diikuti, "Nikah itu sunnahku. Siapa yang berpaling dari sunnahku ia tidak
termasuk golonganku."Namun yang pertama kali beredar di kalangan kaum muslim adalah hadits. Banyak riwayat menunjukkan perhatian para sahabat untuk menghapal ucapan-ucapan Nabi atau menyampaikan apa yang dilakukan Nabi saw. Ada di antara mereka yang menuliskannya. Misalnya 'Aisyah juga menyimpan catatan-catatan hadits (mungkin ditulis Abu Bakar).
E. Pandangan Rahman mengenai sanad dan matan
Kritik Rahman terhadap hadis dari dimensi matan yang menurutnya banyak yang tidak historis, sistem isnad juga tidak terlepas dari kritikannya. Ia memang mengakui bahwa isnâd di samping mengandung informasi geografis yang kaya, juga telah meminimalkan upaya-upaya pemalsuan hadis, tetapi baginya isnâd tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi positif yang final. Menurut Rahman, isnâd berkembang belakangan bermula di sekitar penghujung abad pertama hijriyah, sehingga hadis-hadis yang bersifat prediktif mengenai gejolak politik di dalam sahih Bukhari dan Muslim meskipun mempunyai isnad yang mengagumkan menurut Rahman tidaklah bisa diterima kalau kita memang benar-benar jujur pada sejarah.
Selanjutnya Rahman memberikan dua kriteria penilai bagi hadis yaitu sejarah dan al Qur’an. Dan hadis-hadis ini harus ditafsirkan secara situasional menurut perspektif historisnya yang tepat dan menurut fungsinya yang tepat di dalam konteks kesejarahannya yang jelas. Dengan prinsip penafsiran yang demikian, Rahman menegaskan agar hadis-hadis hukum tidak difahami sebagai hukum yang sudah jadi untuk bisa diterapkan secara langsung, tetapi harus difahami sebagai suatu masalah yang harus ditinjau kembali (a problem to be retreated).
F. Metode Pemahaman Sunnah
Masalah-masalah mendasar mengenai metodologi penafsiran terhadap kedua sumber pemikiran Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi tidak lagi dibicarakan secara adil oleh kaum muslimin bahkan oleh pembaharu pemikiran Islam. Hal inilah yang membuat Rahman beranggapan bahwa krisis dan problematika yang dialami kaum muslim tersebut hanya akan bisa disembuhkan dengan suatu metodologi yang sistematis dan komprehensif dan metodologi inilah yang nampaknya menjadi karakteristik utama yang membedakannya dari gerakan pembaharuan Islam lainnya.
Dalam kajiannya tentang evolusi sunnah dan hadis, meskipun ia menemukan perbedaan pemahaman terhadap sunnah pada generasi muslim awal dengan generasi berikutnya khususnya setelah kuatnya gerakan hadis, tetapi pada akhirnya Rahman mengakui bahwa satu-satunnya tradisi Nabi yang tertinggal dan sampai pada kita adalah hadis, di mana menurut Rahman banyak yang tidak historis dan sintetis.
Dari sini Rahman menawarkan alternatif berupa penafsiran situasional terhadap hadis-hadis teknis tersebut melalui pendekatan historis dan kritis, karena kebutuhan umat Islam dewasa ini adalah menuangkan kembali atau mencairkan kembali hadis-hadis yang ada ke dalam bentuk sunnah yang hidup. Dalam konteks ini Rahman mengemukakan : tentu saja harus dikemukakan secara tegas bahwa suatu reevaluasi terhadap aneka ragam unsur dalam hadis dan reinterprestasinya yang sempurna selaras dengan perubahan-perubahan kondisi sosiomoral dewasa ini mesti dilakukan. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui suatu studi historis terhadap hadis dengan mereduksinya menjadi sunnah yang hidup dan dengan membedakan secara tegas nilai-nilai nyata yang terkandung di dalamnya latar belakang situasionalnya. Walhasil penafsiran situasional dengan metode pendekatan historis ini mengisyaratkan adanya langkah-langkah strategis; pertama, memahami makna hadis tersebut kemudian memahami latar belakang situasionalnya termasuk memahami asbâb al wurûdnya. Dari sini dapat difahami dan dibedakan nilai-nilai nyata atau sasaran hukumnya (ratio legal) dari ketetapan legal spesifiknya. Dan dengan demikian, bisa dirumuskan prinsip ideal-moral dari hadis tersebut. Kemudian langkah selanjutnya adalah penumbuhan kembali hukumnya, yakni dari prinsip ideal-moral yang didapat tersebut diaplikasikan dan diadaptasikan dalam latar sosiologis dewasa ini. Inilah yang dimaksud dengan pereduksian hadis menjadi “sunnah yang hidup”. Dengan demikian penafsiran situasional Rahman ini mengkombinasikan metoda pendekatan historis dengan metoda pendekatan sosiologis.
G. Kritik Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman
Penafsiran dengan metoda pendekatan historis sosiologis pada satu sisi memang memiliki kelebihan. Karena hasil pemahaman dari penafsiran melalui pendekatan semacam ini akan nampak lebih hidup dan dinamis. Hasil pemahaman dari penafsiran semacam ini sangat dibutuhkan dalam kondisi masyarakat yang semakin dinamis dan mempunyai problematika yang selalu berkembang secara kompleks sebagai suatu dampak dari arus modernisasi dan globalisasi.
Dengan demikian, operasionalisasi ajaran Islam sebagai hasil pemahaman dari penafsiran seperti ini terasa lebih kontekstual dan realis terhadap tuntutan sejarah, dan tidak terasa sebagai pengekangan atau pemandulan terhadap laju modernitas. Akan tetapi sebaliknya bisa jadi sebagai alat legitimasi bagi proses modernisasi.
Pada dataran aplikatifnya yang mapan, penafsiran dengan metoda pendekatan semacam ini juga memungkinkan untuk memberi jawaban bagi krisis serta problematika pemikiran Islam dan merupakan jawaban bagi kelemahan penafsiran dan pemahaman literal dari ulama’-ulama’ klasik khususnya al Syafi’I sebagaimana dituduhkan Rahman, bahkan jawaban bagi modernis klasik yang menganggap ketidak normatifan dan invaliditas sunnah karena terlalu irrasional, dan berbanding terbalik dengan kebutuhan masyarakat kontemporer.
Akan tetapi di sisi lain metoda pendekatan Rahman ini sangat memungkinkan sekali terhadap munculnya subyektivitas yang sangat dominan, karena proses perumusan hikmah yang tidak jelas indikatornya berarti mengharuskan keikutsertaan penghayatan psikologis seseorang dalam proses pemahaman dan penafsiran tersebut. Pada titik ini ketidak mampuan seseorang mengontrol kesadaran psikologisnya kemungkinan besar terjadi. Padahal ketidak mampuan mengontrol kesadaran psikologis ini akan berakibat pemaksaan terhadap obyek pemahaman dan penafsiran (dalam hal ini adalah hadis) untuk menghasilkan kesimpulan atau doktrin-doktrin hukum yang tunduk kepada kecenderungan subyektif. Jika demikian, akan terjadi proses penuhanan dan penabian subyektivitas.
Untuk selanjutnya, Rahman dengan motodologi kritik hadis mengatakan ketidak setujuannya tentang pemikiran-pemikiran ulama’- ulama’ klasik, bahwa historisitas hadis dijustifikasi oleh isnâd. Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa Rahman tidak menerima sistem isnâd (metodologi kritik sanad) dalam rangka menentukan validitas hadis. Pemikiran Rahman yang demikian ini berarti telah menafikan pemikir-pemikir klasik dan muhaddisîn (tradisionalis) yang telah menyeleksi puluhan ribu hadis untuk menentukan validitas (kesahihannya) dengan metode kritik sanad.
Dalam rangka menyeleksi dan membersihkan hadis dari pemalsuan, ahli hadis telah merumuskan seperangkat teori, yang diantaranya adalah metodologi kritik sanad hadis. Dari seperangkat teori tersebut, mereka menghasilkan klasifikasi hadis menjadi mutawatir, ahad, masyhûr, azîz dan gharîb, sahîh, hasan, dla’îf serta mursal, muttashil dan sebagainya. Dengan pemikiran tersebut, Rahman secara tidak langsung telah menafikan klasifikasi-klasifikasi hadis yang demikian. Di samping itu juga telah mengaburkan teori-teori ulama’ klasik tentang qath’i dan dzanni hadis. Dalam penelitian hadis, kritik yang ditujukan kepada sanad merupakan kritik ekstern atau al naqd al khariji atau disebut juga al naqd al dzâhiri, sedang kritik yang ditujukan kepada matan merupakan kritik intern atau al naqd al dâkhili atau biasa disebut al naqd al bâtini. Dalam melakukan kritik terhadap hadis, pada kenyataannya Rahman menggunakan metode kritik matan dan mengesampingkan metode kritik sanad. Dan kriterium penilai yang digunakan adalah sejarah dan al- Qur’an. Kriterium penilai sejarah dimaksudkan bahwa jika matan hadis tidak mencerminkan problematika yang cocok untuk periode Nabi Muhammad, maka jelas hadis tersebut dinyatakan palsu (tidak sahih). Sedang kriterium penilai al-Qur’an dimaksudkan bahwa jika matan suatu hadis tidak relevan dengan isyarat al-Qur’an, maka juga dinyatakan palsu. Selanjutnya jika kita menganalisa metode kritik hadis para tradisionis (muhaddisîn), kita juga mendapatkan gambaran bahwa meskipun mereka telah membuat beberapa kaedah tentang kesahihan hadis, namun dalam pelaksanaannya terhadap kritik matan masih kurang mendapatkan porsi yang mapan, sehingga jika diletakkan pada kerangka teori metode sejarah di atas, maka melaksanaan metode kritik yang demikian punya kelemahan, karena masih dianggap mengesampingkan kritik intern hadis.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Fazlur Rahman tidak menyamakan antara pengertian Sunnah dan Hadis. Menurutnya Sunnah adalah tranmisi non verbal, sementara Hadis adalah transmisi verbal. Sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang ini, diekspresikan dalam hadits. Hadits adalah verbalisasi sunnah. Hal inilah yang memunculkan istilah Dari Sunnah ke Hadis. Sedang yang dimaksud dengan istilah Dari Hadis ke Sunah adalah: bahwa perilaku Nabi saw, selama hidupnya terus-menerus menjadi perhatian para sahabat. Mereka dengan kadar yang bermacam-macam berusaha membentuk tingkah lakunya sesuai dengan Nabi saw. Nabi saw berulangkali menyuruh sahabat menirunya. Dalam hal shalat, Nabi saw bersabda: "Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat." Dalam hal haji, ia berkata "Ambillah dari aku manasik kalian." Sesekali Nabi saw menegaskan, perilakunya itu sunnah yang harus diikuti, "Nikah itu sunnahku. Siapa yang berpaling dari sunnahku ia tidak termasuk golonganku.
Dan untuk menanggulangi permasalahan yang dialami oleh kaum muslim (dalam memandang kedua sumber pemikiran Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi lewat pendekatan-pendekatan ahistoris, literalis, dan atomistis) Rahman menawarkan penafsiran situasional dengan metode pendekatan historis, kemudian mengkombinasikannya dengan metoda pendekatan sosiologis.
Disamping itu, dalam melakukan kritik terhadap hadis, pada kenyataannya Rahman menggunakan metode kritik matan dan mengesampingkan metode kritik sanad. Hal ini dikarenakan sanâd berkembang belakangan bermula di sekitar penghujung abad pertama hijriyah, sehingga hadis-hadis yang bersifat prediktif mengenai gejolak politik di dalam sahih Bukhari dan Muslim meskipun mempunyai isnad yang mengagumkan menurut Rahman tidaklah bisa diterima kalau kita memang benar-benar jujur pada sejarah. Selanjutnya Rahman memberikan dua kriteria penilai bagi hadis yaitu sejarah dan al Qur’an, suatu hadis dikatakan sahih apabila tidak bertentangan dengan sejarah begitu juga dengan al Qur'an.
Daftar Pustaka
Al Shalih, Shubhi. Memahami Ilmu-Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007.
Amal, Tufik Adnan. Islam dan Tantang Modernitas. Bandung: Mizan, 1999.
___________. Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neomodernisme Islam Dewasa Ini dalam Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif.
Rahman, Fazlur. Islam dan Tantangan Modernitas: Tentang Transformatif social, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1985.
___________. Kontroversi Kenabian dalam Islam: antara Filsafat dan Ortodoksi, (Bandung: Mizan, 2003)
___________. Islam. Bandung: Pustaka, 1984.
___________. Membuka Pintu Ijtihad. Bandung: Pustaka, 1995.
Suryadi, Metode Kontemporer Pemahaman Hadis Nabi. Yogyakarta: Teras, 2008.
M Ihsan Ali Fauzi dan Taufik Adnan Amal,"Bibliografi Karya-karya Intelektual Fazlur Rahman", dalam Jurnal Islamika, vol. 2, Oktober-Desember, 1993, hlm. 81-84.
Langganan:
Postingan (Atom)