Minggu, 07 Maret 2010

Kajian Hadis Di Pesantren dan Madrasah

Kajian Hadis di Madrasah dan Pesantren
Pendahuluan
Sebagai umat muslim, kita tahu bahwa Al Qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang pertama, sedang hadis terhadapnya berfungsi sebagai penguat, penjelas, pembatas kemutlakan, serta pentakhsis keumuman-keumuman yang terkandung di dalamnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa antara Al Qur’an dan Hadis memiliki hubungan yang erat dan keduanya tidak bisa dipisahkan, inilah yang menyebabkan bahwa disamping Al Qur’an Umat Islam perlu juga berpegang kepada hadis yang juga merupakan salah satu sumber hukum Islam setelah Al Qur’an. Hal ini selaras dengan firman Allah SWT:
أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir"(QS. Al Imran: 32)
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaai Allah.”(QS. An Nisa’: 80)
Sebagai sumber ajaran Islam yang kedua, pembelajaran dan pendalaman tentang hadis dan ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengannya sangat diperlukan, sebab jika seseorang buta akan pengetahuan tentang hadis, mustahil ia akan bisa memahami Al Qur’an dengan baik bahkan dapat mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari.
Namun demikian, Upaya penelusuran sejarah perkembangan kajian hadis khususnya di Indonesia masih belum dilakukan secara sistematis. Hal ini bisa diduga disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, kenyataan bahwa kajian hadis tidak seintens kajian di keislaman yang lain, seperti al-Qur’an, fiqh, akhlak dan sebagainya. Kedua, kajian hadis bisa dikatakan berkembang sangat lambat, terutama bila dilihat dari kenyataan bahwa para ulama Nusantara telah menulis di bidang hadis sejak abad ke- 17. Hal ini terlihat dari banyaknya tulisan-tulisan tentang hadis yang tidak dikembangkan lebih jauh. Kajian hadis setelah itu mengalami kemandekan hampir satu setengah abad lamanya. Namun seiring dengan perkembangan zaman, lambat laun kajian hadis mendapatkan perhatian kembali pada paruh terakhir abad 19 dengan dimasukkannya kajian hadis dalam kurikulum pesantren-pesantren dan madrasah.

A. Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia.
Pola dan kebijakan pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat lepas dari apa yang diilustrasikan pada kebijakan pemerintah Belanda yang saat itu menguasai Indonesia, hal ini berawal dari dunia perdagangan. Pemerintah kolonia Belanda memperkenalkan sekolah-sekolah modern menurut sistem persekolahan yang berkembang di dunia Barat, sedikit banyak mempengaruhi sistem pendidikan Indonesia, yaitu pesantren. Padahal diketahui bahwa pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal di Indonesia sebelum adanya kolonia Belanda, justru sangat berbeda dalam sistem dan pengolaannya dengan sekolah yang diperkenalkan oleh Belanda.
Hal ini dapat dilihat dari terpecahnya dunia pemdidikan di Indonesia pada abad 20 M menjadi dua golongan, yaitu: 1. pendidikan yang diberikan oleh sekolah Barat yang sekuler yang tidak mengenal ajaran agama, 2. Pendidikan yang diberikan pondok pesantren yang hanya mengenal agama saja. Dengan kata lain menurut istilah Wirjosukarto yang dikutip oleh Muhaimin, pada periode tersebut terdapatterdapat dua corak pendidikan, yaitu corak lama yang berpusat pondok pesantren dan corak baru dari perguruan sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Pendidikan yang dikelola Belanda khususnya berpusat pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi yaitu pendidikan umum, sedangkan pada lembaga pendidikan Islam lebih menekankan pada pengetahuan dan ketrampilan yang berguna bagi penghayatan agama.
Dengan terpecahnya dunia pendidikan menjadi dua corak yang sangat berbeda, tentunya tidak akan mendatangkan keuntungan bagi perkembangan masyarakat Indonesia bagi masa yang akan datang, bahkan akan merugikan masyarakat muslim sendiri. Di suatu sisi dipandang perlu untuk mengetahui perkembangan dunia luar teknologi, di sisi lain juga diperlukan adanya pemahaman keagamaan yang telah ditanamkan jauh hari sebelum Belanda datang dengan pendidikan pesantren.
Dengan terbukanya kesempatan yang luas bagi masyarakat umum untuk memasuki sekolah-sekolah yang diselenggarakan secara tradisional oleh kalangan Islam, dan mendapat tantangan dan saingan berat dengan didirikannya sekolah Belanda yang dikelola secara modern oleh Belanda yang berisikan materi tentang ketrampilan duniawi karena untuk sekolah pesantren memerluakan biaya yang tinggi. Sementara pada sekolah Belanda hanya orang-orang dari kalangan tetentu yang bisa mengikutinya, sedang untuk kalangan bawah tidak bisa mendapatkan pendidikan, sehingga ada sebagian diantara rakyat Indonesia yang masih tidak bisa baca tulis, karena tidak mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan.
Dalam hal ini muncul kesadaran dari pendidikan Islam ulama-ulama yang pada waktu itu juga menyadari bahwa sistem pendidikan tradisional dan langgar tidak lagi sesuai dengan iklim pada masa itu. Maka dirasakanlah akan pentingnya memberikan pendidikan secara teratur di madrasah atau sekolah secara teratur. Muhammad Abduh dan Rasid Ridha dengan pembaruan di bidang sosial dan kebudayaan berdasarkan tradisi Islam Al Qur’an dan Hadis yang dibangkitkan kembali dengan menggunakan ilmu-ilmu Barat.
Hal ini merupakan jalan untuk maju dan berpartisipasi di madrasah madrasah Islam dengan terus mengadakan pembaruan, dengan memasukkan ilmu-ilmu pengetahuan Barat ke dalam kurikulum, maka muncullah tokoh-tokoh pembaruan di Indonesia yang mendiikan sekolah Islam di man-mana.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa disamping kedua corak pendidikan sebelumnya, juga terdapat corak yang ketiga yang merupakan sintera dari corak lama dan corak baru. Corak pendiikan yang ketiga muncul sintesis, muncul bersamaan dengan lahirnya madrasah-madrasah yang berkelas yang muncul sejak tahun 1909, yang dipelopori oleh pembaruan Islam. Seperti Madrasah Diniyyah School yang didirikan oleh Zainuddin Labia El Yunisa 1890-1924, pada tahun 1915 sebagai sekolah agama petama yang dilaksanakan menurut sistem pendidikan modern yakni menggunakan alat tulis, dan menggunakan alat peraga.
Pesantren dan Madrasah sebagai Lembaga Pendidikan Islam.
I. Pesantren

Menurut asal katanya, pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan pe dan akhiran an yang menunjukkan tempat. Dengan demikian, pesantren artinya tempat para santri. Sedangkan menurut Sudjoko Prasodyo, “ pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara non klasikal, dimana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di asrama dalam pesantren tersebut. Dengan demikian dalam lembaga pendidikan Islam yang disebut pesantren tersebut, sekurang-kurangnya memiliki unsur-unsur seperti: kiai, santri, masjid, sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan dan pondok atau asrama sebagai tempat tinggal para santri serta kitab-kitab klasik sebagai sumber atau bahan pelajaran.
Dari perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya lembaga kependidikan yang tahan terhadap berbagai gelombang modernisasi. Dengan kondisi demikian itu, kata Azyumardi Azra, menyebabkan pesantren tetap survive sampai hari ini. Sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai Dunia Islam, tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan. Kebanyakan lenyap setelah tergusur oleh ekspansi sistem kehidupan umum atau sekuler. Nilai-nilai progresif dan inovatif diadopsi sebagai suatu strategi untuk mengejar ketertinggalan dari model pendidikan lain. Dengan demikian pesantren mampu bersaing dan sekaligus bersanding dengan sistem pendidikan modern.
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab (kitab kuning). Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah Al Qur’an dengan tajwid dan tafsirnya, aqa’id dan ilmu kalam, fiqih dan ushul fiqih, hadis dan mustalahul hadis, bahasa Arab dengan ilmunya, tarikh, mantiq, dan tasawuf, serta ilmu-ilmu agama yang lain.

II. Madrasah

Sejarah dan perkembangan madrasah akan dibagi dalam dua periode yaitu:

a.Periode Sebelum Kemerdekaan

Pendidikan dan pengajaran agama Islam dalam bentuk pengajian Al Qur’an dan pengajian kitab yang diselenggarakan di rumah-rumah, surau, masjid, pesantren, dan lain-lain. Pada perkembangan selanjutnya mengalami perubahan bentuk baik dari segi kelembagaan, materi pengajaran (kurikulum), metode maupun struktur organisasinya, sehingga melahirkan suatu bentuk yang baru yang disebut madrasah.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam berfungsi menghubungkan sistem lama dengan sistem baru dengan jalan mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik yang masih dapat dipertahankan dan mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu, teknologi dan ekonomi yang bermanfaat bagi kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, isi kurikulum madrasah pada umumnya adalah apa yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam (surau dan pesantren) ditambah dengan beberapa materi pelajaran yang disebut dengan ilmu-ilmu umum.
Latar belakang pertumbuhan madrasah di indonesia dapat dikembalikan pada dua situasi, yaitu:

a. Gerakan Penbaharuan di Indonesia

Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia muncul pada awal abad ke-20 yang dilatar belakangi oleh kesadaran dan semangat yang kompleks sebagaimana diuraikan oleh Karel A Steenbrink dengan mengidentifikasikan empat faktor yang mendorong gerakan pembaruan Islam di Indonesia, antara lain:
 Keinginan untuk kembali kepada Al Qur’an dan Hadis.
 Semangat nasionalisme dalam melawan penjajah.
 Mempekuat basis gerakan sosial, budaya, dan politik.
 Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia.
Bagi tokoh-tokoh pembaruan, pendidikan kiranya senantiasa dianggap sebagai aspek yang strategis untuk membentuk sikap dan pandangan keislaman masyarakat. Oleh karena itu, pemunculan madrasah tidak bisa dilepas dari gerakan pembaharuan Islam yang dimulai oleh usaha beberapa orang tokoh-tokoh intelektual agama Islam yang selanjutnya dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam.
b. Respons pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan hindia Belanda.
Pertama kali bangsa Belanda datang ke Nusantara hanya untuk berdagang, tetapi karena kekayaan alam Nusantara yang sangat banyak maka tujuan utama untuk berdagang tadi berubah untuk menguasai wilayah Nusantara sekaligus denagn mengembangkan fahamnya yang terkenal denagn semboyan 3G yaitu, Glory ( kemenangan dan kekuasaan), Gold ( emas atau kekayaan bangsa Indonesia ), dan Gospel ( upaya salibisasi terhadap umat Islam di Indonesia ).
Dalam menyebarkan misi-misinya itu, belanda (VOC) mendirikan sekolah-sekoalh kristen. Misalnya di Ambon yang jumlah sekolahnya mencapai 16 sekolah dan 18 sekolah di sekitar pulau-pulau Ambon, di Batavia sekitar 20 sekolah, padahal sebelumnya sudah ada sekitar 30 sekolah. Dengan demikian, untuk daerah Batavia saja, sekolah kristen sudah berjumlah 50 buah. Melalui sekolah-sekolah inilai Belanda menanamkan pengaruhnya di daerah jajahannya.
Pada perkembangan selanjutnya di awal abad ke-20 atas perintah Gubernur Jenderal Van Heutsz sistem pendidikan diperluas dalam bentuk sekolah desa, walaupun masih diperuntukkan terbatas bagi kalangan anak-anak bangsawan. Namun pada masa selanjutnya, sekolah ini dibuka secara luas untuk rakyat umum dengan biaya yang murah.
Dengan terbukanya kesempatan yang luas bagi masyarakat umum untuk memasuki sekolah-sekolah yang diselenggarkan secara tradisional-tradisional oleh kalangan Islam mendapat tantangan dan saingan berat, terutama karena sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda dilaksanakan dan dikelola secara modern terutama dalam hal kelembagaan, kurikulum, metodologi, sarana, dan lain-lain. Perkembangan sekolah yang demikian jauh dan merakyat menyebabkan tumbuhnya ide-ide di kalangan intelektual Islam untuk memberikan respons dan jawaban terhadap tantangan tersebut dengan tujuan untuk memajukan pendidikan Islam. Ide-ide tersebut muncul dari tokoh-tokoh yang pernah mengenyam pendidikan di timur tengah atau pendidikan Belanda. Mereka mendirikan lembaga pendidikan baik secara perorangan maupun secara kelompok/organisasi yang dinamakan Madrasah atau Sekolah.

b. Periode Sesudah Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, kemudian pada tanggal 3 januari 1946 di bentuklah Departemen Agama yang akan mengurus masalah keberagaman di Indonesia termasuk di dalamnya pendidikan, khususnya madarasah.

B. Pendidikan Islam di Masa Perubahan(1900-1908)
Pendidikan Islam menurut sistem lama, hanya terdiri dari dua tingkat saja: pengajian Qur’an dan Pengajian Kitab. Hampir seluruh pendidikan Islam di Indonesia seperti demikian keadaannya. Kemudian banyaklah pelajar-pelajar dan guru-guru agama di Indonesia, semisal di Minangkabau pergi naik haji ke Makkah, serta bermukim di sana melanjutkan pelajarannya bertahun-tahun lamanya kepada guru besar Arab.
Setelah mereka kembali ke Indonesia, mereka ajarkan Ilmu-ilmu Agama dan Bahasa Arab yang mereka pelajari di Makkah itu. Dengan jalan demikain bertambah tinggilah mutu ilmu-ilmu agama serta bertambah luas dan mendalam di seluruh Indonesia. Pada masa itu boleh dikata bahwa pelajaran agama di Indonesia sama atau hampir sama dengan di Makkah. Maka banyaklah pemuda-pemuda Islam Indonesia yang hanya belajar pada ‘Alim Ulama keluaran Makkah di Indonesia saja, sehingga mereka menjadi ‘Alim yang tidak kurang mutunya dari ‘Alim ‘Ulama Makkah.
Perbedaan yang nayat pada masa perubahan itu adalah pelajaran ilmu Sharaf, Nahwu, Fiqh, dan Tafsir yang dahulu hanya dipelajari dalam satu macam kitab saja, sekarang telah dipelajari dalam bermacam-macam kitab. Untuk ilmu nahwu misalnya: Al Jurumiyah dan Alfiah, untuk ilmu Sharaf Al Kailani, Taftazani, dan sebagainya, untuk ilmu Fiqh Fathul Qarib Fathul Mu’in, Iqna’, Fathul Wahab, Mahalli,kadang-kadang sampai pada kitab Tuhfah dan Nihayah. Untuk ilmu Hadis Hadis arbain, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan lain sebagainya. Sedang untuk ilmu Tafsir seperti Tafsir Jalalain, Baidhawi, Khazin, dan sebagainya.
Oleh karena itu betambah perkembangan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab di seluruh Indonesia sampai dua belas jenis ilmu dalam bermacam-macam kitab, yaitu: Nahwu, Sharaf, Fiqh, Tafsir, Tauhid, Hadis, Mustalahul Hadis, Mantiq, Ma’ani, Bayan, Badi’, Ushul Fiqh.

C. Perkembangan Kajian Hadis
I. Periodesasi Sejarah Penulisan Hadis
Sejarah penulisan hadis mengalami beberapa tahap dan perkembangan yang cukup lama. Periodesasi atau pembagian sejarah menjadi beberapa periode adalah berdasarkan suatu alasan. Para ulama hadis berbeda pendapat dalam membagi sejarah penulisan hadis. Ada yang membaginya menjadi dua periode, empat periode dan ada yang membaginya menjadi tujuh periode.
Ditinjau dari segi para ulama’ yang mengumpulkannya, hadis dapat dibagi menjadi dua periode:
1. Periode golongan ulama Mutaqaddimin, yaitu ulama hadis pada abad kedua dan ketiga hijriyah. Mereka berusaha mengumpulkan hadis dengan mengadakan penelitian secara langsung menemui para penghafal hadis yang tersebar di berbagai pelosok Arab dan sekitarnya.
2. Periode golongan ulama Mutaakhirrin, yaitu ulama hadis pada abad ke empat hijriyah dan seterusnya. Mereka berusaha menysun kitab-kitab hadis hanya berdasarkan kepada kitab-kitab hadis yang telah ada.

Sedangkan ditinjau dari segi tahap-tahap estafeta pewarisan hadis secsara kronologis, usaha ilmiah untuk membukukan kitab-kitab hadis dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu:
1. Sejak permulaan Islam sampai abad pertama Hijriyah. Pada tahap pertama ini para ulama hanya mengumpulkan hadis yang mereka ketahui(dalam bentuk tulisan). Hadis-hadis itu dihimpun oleh para sahabat dan tabiin besar.
2. Dari tahun 100 sampai 150 Hijriyah. Pada tahap kedua ini pengumpulan hadis masih terbatas pada ulama setempat saja. Hadis-hadis dihimpun oleh para tabi’in kecil dan tabi’i at tabi’in.
3. Dari tahun 150 sampai 300 Hijriyah. Pada tahap ketiga ini para ulama mengumpulkan hadis-hadis dengan cara melawat keberbagai kota dan menyusun kitab-kitab besar. Pada masa ini, hadis-hadis dihimpun oleh tokoh-tokoh hadis kenama’an seperti Imam al Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud, an Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain.
4. Dari awal abad keempat dan seterusnya. Pada tahap ini usaha penyempurnaan kitab-kitab telah ada, meskipun ada ulama yang masih berusaha mengumpulkan hadis-hadis Shahih yang sesuai dengan syarat-syarat Bukhari dan Muslim yang belum ada dalam kitab-kitab hadis abad ketiga. Diantara mereka ialah al-Hakim dengan kitabnya al Mustadrak, yakni hadis-hadis yang ketinggalan.

Periodisasi yang lebih terperinci berdasarkan perkembangan hadis secara keseluruhan ialah pembagian ke dalam tujuh periode, yaitu:
1. Hadis pada masa Rasulullah SAW(عصر الوحي و التكوين), yaitu masa turunnya wahyu dan pembentukan hukum, dari permulaan Nabi diutus menjadi Rasul sampai wafatnya(13 SH-11 H).
2. Hadis pada masa Khulafa’ur Rasyidin, yaitu masa statis dan pembatasan riwayah(12-40 H).
3. Hadis pada masa pasca Khulafa’ur Rasyidin hingga akhir abad pertama, yaitu masa perkembangan riwayah dan perlawatan ke segenap penjuru untuk mencari hadis yang dilakukan oleh para sahabat kecil dan tabiin besar(41 H-akhir abad pertama hijriyah).
4. Hadis pada abad kedua hijriyah (عصر كتابة و تدوين ), yaitu masa penulisan dan pembukuan kitab hadis(101-200 H).
5. Hadis pada abad ke tiga hijriyah, yaitu masa penyaringan dan pemisahan antara hadis-hadis yang shahih dan yang dhaif, antara yang marfu’, mauquf dan maqhtu’.
6. Hadis pada abad keempat hijriyah sampai jatuhnya kota Baghdad, yaitu masa mempelajari, menertibkan, mencari hadis yang masih ketinggalan dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus(301-656 H).
7. Hadis pada masa pasca jatuhnya kota Baghdad sampai sekarang, yaitu masa mensyarah, menyusun kitab jami’ yang umum, menyusun kitab-kitab takhrij, menghimpun hadis-hadis hukum, dan membahas hadis-hadis tambahan(656 H sampai sekarang).
II. Perkembangan Kajian Hadis di Madrasah dan Pesantren.
Pada pembahasan di atas telah dipaparkan sedikit mengenai kajian hadis di madrasah dan pesantren. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Hadis merupakan mata pelajaran yang relatif baru di pesantren, pembelajaran hadis pun agak tertinggal dibanding dengan pembelajaran Fiqh, Tafsir, akhlaq, dan ilmu-ilmu yang lain. Kitab-kitab hadis standar tidak dijadikan rujukan. Hanya sejak abad ke-19 dan seterusnya, para ulama mengumpulkan dan menerjemahkan kitab al-Arba‘in al-Nawawiyah, karya Abu Zakariyya al-Nawawi. Hal ini menunjukkan akan munculnya semangat baru dan perhatian yang besar terhadap hadis. Ini terjadi pada abad ke-20 yang ditandai dengan adanya kitab-kitab hadis yang dijadikan bahan ajar kurikulum di surau, madrasah dan pesantren. Mahmud Yunus mencatat bahwa pada tahun 1900-1908 kitab hadis sudah diajarkan di berbagai surau yang menjadi cikal bakal lahirnya madrasah di Sumatera.
Kesimpulan
Berdasarkan keterangan di atas, dapat diketahui bahwa sistem pendidikan Islam itu sudah ada sejak awal munculnya Islam. Namun untuk perkembangannya barulah akahir-akhir ini, terutama dalam bidang Hadis dan ilmu-ilmu yang bersangkutang dengannya. Adapun salah satu sebabnya adalah adanya tekanan dari Belanda dan pelarangan dalam menyebarkan Islam secara bebas, selain itu, Umat Islam sendiri disibukkan dengan ilmu-ilmu Fiqih serta Al Qur’an. Sedang hadis hanya dibuat sampingan saja. Dan srkarang setelah muncul pemikir-pemikir Islam Hadis bangun dari masa kemandekannya menuju masa kebangkitan, hal ini terbukti dengan banyaknya dijumpai sarjana Tafsir Hadis serta buku-buku tentang Hadis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar