Jumat, 31 Desember 2010

Hadis-Hadis Tentang Larangan Dalam Kitab al-Jami' al-Saghir

DESKRIPSI KITAB, PENGARANG, DAN MASALAH
A. Setting Biografi Jalaluddin al-Suyuti
Al-Şuyūţī nama lengkapnya adalah al-Ḥāfiż ‘Abdurrahmān Ibnu al-Kamāl Abī Bakr Bin Muhammad Bin Sābiq al-Dīn Ibn al-Fakhr ‘Uṣmān Bin Nażīr al-Dīn al-Hamām al-Khudairi al-Şuyūţī. Penulis Mu`jam al-Mallifīn menambahkan: al-Ţālūnī al-Mişrī al-Syāfi`ī, dan diberi gelar Jalāluddīn, serta di panggil dengan nama abdu al-Fadal.
Al-Şuyūţī dilahirkan di wilayah Asyuth sesudah magrib pada malam ahad, bulan Rajab 849 H, begitulah al-Şuyūţī mengatakannya sendiri, dan para sejarawan sepakat tentang tahun kelahiran ini, kecuali Ibnu Iyās dan Isma’īl Pasha al-Bagdādī yang menganggap bahwa kelahiran al-Şuyūţī adalah pada bulan Jumadil akhir. Ia dibesarkan dalam keadaan yatim piatu. Ayahnya meninggal dunia pada malam senin, 5 Safar 855 H, pada saat ia masih berusia 6 tahun.
ó Perjalanan dalam menuntut ilmu:
Pada usia yang amat sangat muda ia telah hafal Al-Quran, dan hafalan ini menjadi sempurna ketika ia menginjak usia 8 tahun. Setelah itu ia lanjutkan dengan menghafal kitab-kitab semisal al-`Umdab, Minhaj al-fiqh, al-Uşūl, dan al-fiyah Ibn Mālik.
Selanjutnya ia menekuni berbagai bidang ilmu dan saat itu usianya baru menginjak usia 16 tahun, yakni pada tahun 864 H. Ia mempelajari Fiqh dan Nahwu dari beberapa guru, dan mengambil ‘ilmu Farāid dari ulama di jamannya yakni Syaikh Syihāb al-Dīn al-Syarmasahī, lalu menimba Ilmu Fiqh kepada syaikh al-Islām al-Balqinī sampai yang disebut terakhir ini wafat, dan dilanjutkan oleh putranya `Ilmuddīn al-Balqinī. Ia kemudian berguru kepada Muhyiddīn al-Kafayāji selama 14 tahun. Dari ulama ini ia menyerap Ilmu al-Tafsir dan Ushul, Lughah dan ma`ani, lalu menyusun buku-buku ringkas tentang ilmu-ilmu ini.
Selain itu, al-Şuyūţī juga telah mendatangi syaikh Safuddīn al-Hanafi dan berulangkali mengkaji kitab al-Mukasyāf dan al-Taudīh. Ia pernah pula dikirim orang tuanya mengikuti majelis yang diselenggarakan oleh al-Ḥāfiẓ Ibnu Hajar, dan mengkaji Şahīh Muslim sampai hampir tamat. Kepada al-Syairafī di samping kitab-kitab lain seperti al-Syifā`, al-Fiyah Ibnu Mālik, Syarh al-Syudūr, al-Mughnī, sebuah kitab Ushul Fiqh Mażab Ĥanafiyah dan syarhnya pada Syams al- Marzabani al-Hanafi, dan mendengarkan pengajian kitab al-Mutawassiţ serta al-Safiyah berikut syarhnya yang ditulis oleh al-Jarudi yang disampaikan oleh ulama ini. Selain itu, mempelajari juga Alfiah karya al-`Irāqi, dan menghadiri pengajian ilmiah yang diberikan al-Balqinī. Dari ulama yang disebut terakhir itu, al-Şuyūţī menyerap ilmu yang tidak terhingga jumlahnya. Sesudah itu ia tinggal bersama al-Syaraf al-Manawī, hingga ulama ini meningggal dunia. Dari ulama ini al-Suyūţi menimba ilmu yang tidak terbilang juga banyaknya. Lalu secara tetap pula mengikuti pengajian yang diberikan oleh Saifuddīn Muhammad Bin Muhammad al-Hanafī, serta pengajian-pengajian yang diberikan oleh al-’Alamah al-Syamanī dan al-Kafijī.
Al-Suyūţī banyak melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu, antara lain ke kota Al-Fayun, Al-Mihlah, Dimyat, lalu menuju Syam dan Hijaj, Yaman, India dan al-Maghrib (Maroko).
Al-Suyūţī kemudian dikenal dengan orang yang begitu dalam ilmunya, dalam tujuh disiplin ilmu : Tafsir, Hadis, Fiqh , Nahwu, Ma’ani, Bayan dan Badi’.
ó Guru dan Murid al-Suyūţī:
Al-Suyūţī mengakui sekitar seratus lima puluhan orang ulama sebagai gurunya, dan yang menonjol diantaranya adalah: Ahmad al-Syarmasāhī, `Umar al-Balqinī, Şālih Bin ‘Umar Bin Ruslān al-Balqinī, Muhyiddīn al-Kafijī, dan Al-Qadhī syarafuddīn al-Manāwī. Selain guru, beliau mempunyai murid yang jumlah ribuan namun yang paling menonjol adalah Syamsuddīn al-Sakhāwī dan Ali al-Asymunī.
ó Pengaruh intelektualitasnya:
Begitu al-Suyūţī menginjak usia 40 tahun, ia segera mengasingkan diri dari keramaian, dan menunjukkan perhatian dalam bidang karang-mengarang, sehingga hanya dalam waktu 22 tahun saja ia telah membanjiri perpustakaan-perpustakaan Islam dengan karya-karyanya dalam berbagai bidang ilmu yang jumlahnya sekitar 600 judul, semisal Tafsir dan Ilmu Tafsir, Hadis dan Ilmu Hadis, Fiqh dan Usul Fiqh, bahasa Arab dengan berbagai cabang ilmunya, Sirah Nabawiyah, dan Tarikh.
Adapun karya al-Suyūţī yang paling menonjol dalam bidang Hadis dan Ilmu Hadis sebagai berikut:
Pertama: Hadis
• Zahr al-Rabbiy ‘Ala Mujtaba li an-Nasā`ī
• Al-Hawalik `Ala Muwat}a` Mālik
• Marqat al-Shū`ud Syarkh Sunan Abi Dāwud
• Jam`u al-Jawāmi`/ al-Jāmi` al-Kabīr
• al-Jāmi` al-Şāgīr
Kedua: Ilmu Hadis
• Tadrīb al-Rāwī bi syarkh Taqrīb al-Nawāwī
• Alfiyah fī al-Ĥadīś
• As`af al-mabtha` bi Rijal al-Muhtha`
• Durr al-Şaĥābah fī Man Nazal al-Nishīr min al-Şahābah
• Naśr al-Abīr fī Takhrīj Ahādīś al-syarkh al-Kabīr
ó Wafatnya:
Kehidup syaikh al-Suyūţī sarat dengan kegiatan menghimpun ilmu dan mengarang. Untuk itu ia mengeram dirinya di rumah dalam kamar khusus yang di sebut Raudhah al-Miqyās dan hampir-hampir tidak beranjak dari situ. Ia terus menerus terlibat dalam hal ini hingga akhir hayatnya sesudah menderita sakit dan kelumpuhan total pada tangan kirinya selama seminggu. Nampaknya karena sakit yang di derita inilah ia lalu meninggal dunia pada hari kamis, 19 Jumadil Ula 911 H di tempat kediamannya, dan dimakamkan di Hausy Qousun.

B. Kitab al-Jami’ al-Saghir
ó Latar Belakang Penulisan Kitab
Usaha ulama ahli hadis pada abad V ditujukan untuk mengklarifikasikan hadis dengan metode menghimpun hadis-hadis yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam suatu kitab hadis. Disamping itu mereka mensyarahkan (menguraikan dengan luas) dan mengikhtisharkan (meringkas) kitab-kitab hadis yang telah disusun oleh ulama terdahulu. Dengan demikian, lahirlah banyak kitab hadis.
Selanjutnya pada abad berikutnya, tepatnya abad X bangkit ulama ahli hadis yang berusaha menciptakan kitab kamus hadis untuk mencari pentakhrij sebuah hadis atau mengetahui dari kitab hadis apa suatu hadis didapatkan. Dan salah satu dari kitab tersebut ialah Kitab kamus al-Jāmi’ al- Şagīr, karya Imam Jalāluddīn al- Suyūţī. Dalam kitab ini terkumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab enam (Kutub al-Sittah) dan lainnya, seperti dalam kitab al Mustadrak karya al Hākim al-Naisābūri, Syu’ab al-Imān karya al Baihāqī, al-Sunan al-Kubrā karya al Baihāqī, dan masih banyak lagi. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 907 H. Adapun Nama lengkap kitab kamus tersebut adalah: االجامع الصغير من أحاديث البشير النّذ ير , dinamakan al-Jāmi’ al-Şagīr karena dalam kitab kamus tersebut memuat sebagian hadis yang telah terhimpun dalam kitab himpunan kutipan hadis yang disususun oleh al-Suyūţī juga, yakni kitab:جمع الجوامع yang sering dikenal juga dengan sebutan الجامع الكبير. sedang dinamakan من أحاديث البشير النّذ ير karena dalam kitab kamus tersebut terdapat hadis-hadis yang didalamya terkandung kabar gembira yang diperuntukkan bagi orang-orang mukmin dan orang-orang yang senantiasa taat kepada Allah, serta peringatan bagi orang-orang kafir dan yang menyimpang dari ajaran agama. Adapun contoh hadis yang berkenaan dengan kabar gembira dan peringatan, dapat dilihat dibawah ini:
إنّ المسلم إذا عاد أخاه المسلم لم يزل في مخرقة الجنّة حتى يرجع
إنّ أبخل الناس من بخل با لسلام, وأعجز الناس من عجز عن الدعاء
ó Sistematika dan Jumlah Hadis dalam Kitab al-Jāmi’ al- Şagīr.
Kitab kamus al-Jāmi’ al- Şagīr terdiri dari dua jilid dengan jumlah hadis 10031, jilid 1 terdiri dari 4367 hadis ( mulai dari hadis-hadis yang yang awalnya أ sampai ر pertengahan awal) dan jilid 2 (mulai dari pertengahan hadis yang yang awalnya ر sampai ي ) terdiri dari 5664 hadis. Adapun penempatan hadis-hadis tersebut diatur berdasarkan urutan huruf-huruf hijaiyyah, dimulai dengan hadis yang huruf pertamanya alif, bā’, tā’ dan seterusnya, begitu juga dengan urutan huruf ke dua, tiga, dan seterusnya. Seperti hadis-hadis yang dimulai dengan huruf bā’, maka huruf berikutnya adalah bā’ dengan alif, bā’ dengan bā’, bā’ dengan tā’ dan seterusnya. Selain itu, penomoran hadis juga berdasarkan pada silsilah urutan hijaiyyah.
Dan untuk lebih jelas mengetahui rincian jumlah hadis yang ada dalam al-Jāmi’ al- Şagīr, dapat dilihat dibawah ini:
1. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf hamzah ( أ ) terdiri dari 3110 hadis.
2. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Ba>’ ( ب ) terdiri dari 79, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Bā’ terdiri dari 37 hadis, jadi total keduanya 116 hadis.
3. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Tā’ ( ت ) terdiri dari 158, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Tā’ terdiri dari 30 hadis, jadi jumlah keduanya 188 hadis.
4. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Şā’ ( ث ) terdiri dari 152, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Şā’ terdiri dari 6 hadis, jadi jumlah keduanya 158 hadis.
5. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Jim ( ج ) terdiri dari 34, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Jim terdiri dari 50 hadis, jadi jumlah keduanya 84 hadis.
6. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Hā’ ( ح ) terdiri dari 115, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Hā’ terdiri dari 101 hadis, jadi jumlah keduanya 216 hadis.
7. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Khā’ ( خ ) terdiri dari 247, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Khā’ terdiri dari 45 hadis, jadi jumlah keduanya 292 hadis.
8. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Dal ( د ) terdiri dari 79, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Dal terdiri dari 65 hadis, jadi jumlah keduanya 144 hadis.
9. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Źal ( ذ ) terdiri dari 39, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Źal terdiri dari 11 hadis, jadi jumlah keduanya 50 hadis.
10. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Rā’ ( ر ) terdiri dari 9 hadis, ini berada pada jilid 1 sedang pada jilid 2 terdiri dari 121, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Rā’ terdiri dari 62 hadis, jadi jumlah totalnya 183 hadis.
11. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Zai ( ز ) terdiri dari 31, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Zai terdiri dari 15 hadis, jadi jumlah totalnya 46 hadis.
12. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Sīn ( س ) terdiri dari 191, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Sīn terdiri dari 64 hadis, jadi jumlah totalnya 255 hadis.
13. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Syīn ( ش ) terdiri dari 69, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Syīn terdiri dari 53 hadis, jadi jumlah totalnya 122 hadis.
14. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Şād ( ص ) terdiri dari 148, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Şād terdiri dari 82 hadis, jadi jumlah totalnya 230 hadis.
15. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Dād ( ض ) terdiri dari 23, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Dād terdiri dari 17 hadis, jadi jumlah totalnya 40 hadis.
16. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Ta’ ( ط ) terdiri dari 81, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Ta’ terdiri dari 29 hadis, jadi jumlah totalnya 110 hadis.
17. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Zā’ (ظ ) terdiri dari 1, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Zā’ terdiri dari 3 hadis, jadi jumlah totalnya 4 hadis.
18. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf ‘Ayn ( ع ) terdiri dari 292, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan‘Ayn terdiri dari 103 hadis, jadi jumlah totalnya 395 hadis.
19. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Gayn ( غ ) terdiri dari 34, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Gayn terdiri dari 39 hadis, jadi jumlah totalnya 73 hadis.
20. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Fā’ ( ف ) terdiri dari 145, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Fa’ terdiri dari 22 hadis, jadi jumlah totalnya 167 hadis.
21. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Qāf ( ق ) terdiri dari 177, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Qaf terdiri dari 27 hadis, jadi jumlah totalnya 204 hadis.
22. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Kāf ( ك ) terdiri dari 251, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Kāf terdiri dari 22 hadis, dan terdapat pula bab (كان) وهي الشمائل الشريفة yang jumlah hadisnya sebanyak 722, jadi jumlah totalnya 995 hadis.
23. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Lām ( ل ) terdiri dari 553, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Lām terdiri dari 11 hadis, jadi jumlah totalnya 564 hadis.
24. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Mīm ( م ) terdiri dari 1373, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Mīm terdiri dari 123 hadis, jadi jumlah totalnya 1496 hadis.
25. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Nūn ( ن ) berjumlah 325 dengan rincian:
 Awal lafadznya ( ن ) terdiri dari 39 hadis.
 Sedang yang awalnya Nūn dengan menggunakan lafadz نهيت terdiri dari 6 hadis,
 Hadis yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Nūn terdiri dari 31 hadis.
 Hadis dalam bāb larangan yang letaknya disendirikan berjumlah 249 hadis.
26. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Waw ( و ) terdiri dari 54, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Waw terdiri dari 35 hadis, jadi jumlah totalnya 89 hadis.
27. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Ha’ ( ه ) terdiri dari 23, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Ha’ terdiri dari 5 hadis, jadi jumlah totalnya 28 hadis.
28. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Lām Alif ( لا ) terdiri dari 294 hadis.
29. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Yā’ ( ي ) terdiri dari 39, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Yā’ terdiri dari 5 hadis, jadi jumlah totalnya 44 hadis.
ó Metode Penulisan Kitab
Dalam menuliskan hadis pada kitab kamus al-Jāmi’ al- Şagīr, Jalāluddīn al- Suyūţī menggunakan metode-metode tertentu, diantaranya membagi setiap halaman menjadi dua bagian yakni bagian atas dan bawah, bagian atas halaman berharakat dengan berisikan bunyi hadis sedang bagian bawah tanpa harakat yang beisikan keterang hadis. Dan Hampir pada setiap akhir hadis yang dikutip dalam kitab kamus tersebut diterangkan nama sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis yang bersangkutan, nama Mukharrijnya ( periwayat hadis yang menghimpun hadis dalam kitabnya), dan kualitas hadis. Selain itu, dalam menyebutkan keterangan hadis baik yang berkenaan dengan nama Mukharrij atau kualitas, al- Suyuţī menggunakan rumus-rumus tertentu. Adapun rumus-rumus tersebut berjumlah 33 macam, 3 rumus ( ض, ح, ﺻﺤ ) yang menunjukkan kualitas hadis dan 30 yang rumus yang lain menunjukkan nama periwayat hadis yang menghimpun hadis beserta kitabnya.

Hadis-Hadis tentang larangan dalam Kitab al-Jami’ al-Saghir

A. Nahi dan Hal - Hal yang Berkaitan dengannya.

Secara bahasa, nahi berarti larangan atau cegahan. Sedang secara terminologi, nahi berarti tuntutan atau perintah meninggalkan suatu perbuatan dari yang lebih tinggi kedududkannya kepada yang lebih rendah kedudukannya. Menurut Ulama ahli ushul, nahi adalah suatu lafadz yang digunakan oleh pihak yang lebih tinggi tingkatannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya, supaya tidak mengerjakan suatu pekerajaan.
Khalid Abdurrahman mengartikan nahi sebagai perkataan yang menunjukkan permintaan berhenti dari suatu perbuatan, dari orang yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Sedang menurut Sayyid Ahmad al-Hasyimi adalah tuntutan mencegah perbuatan yang datang dari atasan. Ash-Syafahsi mengatakan bahwa sesungguhnya keharusan larangan adalah meninggalkan yang dilarang sesegera mungkin, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang dilarang.
Dalam penyajian redaksi Kalimat yang itu menunjukkan nahi, biasanya ada beberapa bentuk, yang diantaranya: menggunakan fi’il nahi, lafadz utruk, da’, naha, dan harrama. Larangan seperti halnya perintah, membawa berbagai variasi makna. Meskipun makna pokok dari nahi adalah keharaman (الاصل في النهي للتحريم), tetapi nahi juga seringkali dipakai untuk mengutarakan makna lain, seperti:

1. Kemakruhan perbuatan yang dilarang”
2. Larangan yang mengandung perintah melakukan yang sebaliknya.
3. Nahi bermakna do’a
4. Nahi bermakna Irsyad (bimbingan)
5. Nahi menegaskan keputusasaan
6. Nahi untuk menentramkan.
7. Nahi bermakan Tamanni (harapan)
8. Nahi bermakan Tahdzir (ancaman)

B. Pemaparan Model Redaksi Hadis-Hadis Tentang Larangan
Dalam kitab al-Jami’ al-Saghir, hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan berjumlah 360 hadis, yang mana dari hadis-hadis itu dipaparkan oleh al-Suyuti dengan menggunakan beberapa model redaksi, yang diantaranya adalah dengan menggunakan redaksi awal lafadz hadis naha yang itu dipisahkan dalam satu sub bab tersendiri yang terletak pada akhir bab nun. Selain itu, sama halnya dengan redaksi yang pertama (awal redaksi menggunakan lafadz naha) namun yang sedikit membedakannnya hanyalah pada waqi’nya saja, jika naha yang terdapat pada sub bab khusus itu menggunakan waqi’ mufrad mudzakar ghaib, ini berbeda dengan naha pada model yang kedua ini yang letaknya bercampur dengan hadis – hadis lain yang awal redaksinya menggunakan huruf nun itu menggunakan waqi’ mutakallim wahdah. Model redaksi lainnya adalah dengan menggunakan awal reaksi لا yang disususul dengan fi’il mudahri’(Fi’il Nahi).
Dari deskripsi itu dapat diketahui bahwa hadis-hadis tentang larangan dalam kitab al-Jāmi’ al- Şagīr dipaparkan dengan menggunakan tiga macam bentu redaksi, diantaranya:
1. Hadis-hadis dengan awal readaksi lafadznya menggunakan lafadz naha dengan waqi’ mutakallim wahdah, ini berjumlah sebanyak 6 hadis, adapun mengenai contohnya bisa dilihat sebagai berikut:
٩٢٨٥نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها, فإنّها تذ كّركم الموت
٩۲۸٦نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها, فإنّلكم فيها عبرة
٩٢٨٧نهيت عن التعرّي
٩٢٨٩نهيت عن أن أمشي عريانا
٩٢٩۰نهيت عن المصلّين
٩٢٩١نهيناعن الكلام في الصلاة, إلاّ با لقرآن و الذكر
2. Hadis-hadis dengan awal redaksi lafadznya menggunakan lafadz naha dengan waqi’ mufrad mudzakar ghaib yang itu terletak pada sub bab khusus, berjumlah 249 hadis, sebagian redaksi itu seperti contoh dibawah ini:
نهى عن بيع الثمرة تى يبدو صلاحها, وعن النخل حتى يزهو
نهي عن أكل كل ذي ناب من السباع, و عن كل ذي مخلب من الطير
نهى أن نستقبل ا لقبلتين ببول أو غائط
3. Hadis-hadis dengan awal readaksi lafadznya menggunakan lafadz لا yang disususul dengan fi’il mudahri’. Ini berjumlah sebanyak 105, sebagian contoh hadis-hadis tersebut seperti:
۹۸٦٦ لا تمسّ القران إلاّ وأنت طاهر
٩٨٥٧ لا تكبروا في الصلاة حتى يفرغ المؤذن من أذانه
٩٨٤٢ لا تقتلوا الجراد, فإنّه من جند الله الأعظم
٩٧٧٩ لا تسافر المرأة ثلاثة أيام إلاّ مع ذي محرم
٩٧٢١ لا تأكلوا با الشمال فإنّ الشيطان يأكل بالشمال
۹۸۱٦ لا تصوموا يوم الجمعة مفردا
Namun demikian, dari ketiga macam model redaksi hadis di atas bagaimana dengan makna dan kandungan dari setiap hadis yang berkenaan dengan larangan tersebut, apakah makna dan kandungan kesemuanya hadis-hadis itu sama atau ada hal lain yang membedakannya.
C. Pensyarahan Hadis dan Kualitasnya
Dari sekian banyak hadis yang berkenaan dengan larangan, disini penulis berusaha mensyarahi sebagian hadis dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai makna dari hadis-hadis tentang larangan tersebut, dalam hal ini penulis mengambil 3 hadis yang diambil dari masing-masing model redaksi tersebut:
Contoh 1:
نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها, فإنّها تذ كّركم الموت (رواه الطبراني, ح)
Artinya: “Aku melarangmu untuk zirah kubur, maka berziarahlah karena hal itu bisa mengingatkanmu akan kematian”
Adapun mengenai hasil takhrij hadis tesebut antara lain:
No. Mukharrij Kitab No Hadis
1. Muslim Al-Janaiz 1623
2. Nasa’i Al-Janaiz
Adz-Dhuhaya
Al-Asribah 2005, 2006
4353
5557, 5558
3. Daud Janaiz
Al-Asyribah 2816
3212
4. Ahmad bin Hanbal Baqi Musnad al-Ansar 21880, 21925, 21937, 21960, 21974

Syarah Hadis:
An-Nawawi: menjelaskan bahwa hadis ini merupakan salah satu hadis yang didalamnya terdapat aplikasi nasakh mansukh, ini akan tampak jelas pada kisah seorang lelaki yang mana saat ia akan melakukan ziarah kubur nabi melarangnya, akan tetapi larangan itu kemudian dinasakh dengan hadis itu sendiri tepatnya pada kelanjutan redaksi hadis tersebut, yang menunjukkan perintah akan dilakukannya ziarah kubur, adapun untuk kaum wanita masalah ziarah kubur masih menjadi perdebatan diantara para ulama.
Muhammad Abdurahman dalam Tuhfatul Ahwadhi, menjelaskan bahwa setelah datang larangan akan ziarah kubur, datang perintah untuk melakukan ziarah kubur yang mana ini terlihat pada kejadian yang mana Nabi Muhammad saat memeberikan izin untuk berziarah kubur, disamping itu beliau juga berziarah ke makan ibunya. Ibn ‘Amr mengatakan bahwa ziarah kubur itu wajib dilakukan karena itu bisa mengingatkan umat manusia akan adanya kematian yang sewaktu-waktu bisa datang merenggut nyawa manusia.
As-Sindi, mengatakan bahwa dalam hadis tersebut terdapat nasakh dan mansukh, adapun mengenai dibolehkannya ziarah kubur itu bersifat umum dan tidak hanya diperuntukkan untuk para kaum adam saja, namun para kaum hawa juga mendapatkan rukhsah pembolehan itu, hal ini dengan mempertimbangkan bahwa dalam redaksi hadis tersebut tidaka ada lafadz atau ‘illah yang menunjukkan akan dilarangnya kaum hawa untuk berziarah kubur.
Dari beberapa uraian syarah hadis tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa adanya larangan yang disusul dengan perintah itu menunjukkan akan bolehny asuatu perbuatan untuk dilakukan bahkan wajibnya suatu pekara untuk dikerjakan, dan oleh karenanya nahi di sini bermakna perintah bukan larangan lagi.
Kritik sanad hadis:
Berdasrakan keterangan akan kualitas hadis yang tertera dalam kitab al-Jami’ al-Saghir, menurut al-Suyuti hadis di atas berkualitas hasan. Dan untuk membuktikan akan kehasanan hadis tersebut, penulis di sisni melakukan kroscek ulang dengan menggunakan perantara CD ROM Masu’ah al-Hadis al-Syarif, dengan mengecek ulang kualiatas hadis tersebut serta hadis-hadis hasil takhrijnya, dan itu menunjukkan bahwa hadis itu memangberkualaitas hasan, sebab dari beberapa rentetan sanadnya, ada dua rawi yang menduduki tingkatan ke 4 dan ke 5 yang mana itu merupakan salah satu bukti akan kehasanan hadis itu.
Contoh 2:
نهى عن الشرب قائما و الأكل قائما ‏(‏صح‏)‏
Artinya: “Rasulullah melarang minum dengan berdiri dan makan dengan berdiri”
Adapun mengenai hasil takhrij hadis tesebut antara lain:
No. Mukharrij Kitab No Hadis
1. Muslim Al-Asribah 3774, 3772, 3771
2. Ibn Majah Al-Asribah 3415
3. Ahmad bin Hanbal Baqi Musnad al-Ansar 7985, 11740, 11888, 12033
4. Darimi Al-Asribah 2034
5. Turmudzi Al-Asribah ‘an Rasulullah 1800
6. Abu Daud Al-Asribah 3229

Syarah Hadis:
An-Nawawi, menjelaskan bahwa Nabi SAW melarang minum dalam keadaan berdiri, bahkan dalam riwayatnya Abu hurairah dijelaskan bahwa barang siapa terlanjur minun dalam keadaan berdiri hendaknya ia memuntahkan apa yang ia telah ia minum, namun demikian diriwayatkan oleh Ibn Abbas bahwa Nabi minum air zam—zam dalam keadaan berdiri, dari dua riwayat tersebut ada makna yang seakan-akan itu bertentangan, namun demikian setelah diteliti kedua riwayat tersebut bisa dikompromikan. Adapun mengenai hukum meminum dalam keadaan berdiri itu adalah makruh tanzih (makruh yang mendekati halal). Jadi, dalam kedua hadis tersebut nabi menggambarkan akan adab minum, dan dari dua riwayat itu tampak bahwa kalaupun seseorang terpaksa minum dalam keadaan berdiri maka itu hukumnya makruh, dan kalaupun tidak dalam keadaan terpaksa untuk minum dalam keadaan berdiri sebaiknya minum dalam keadaan duduk, sebab suatu hal yang hukumnya makruh lebih baik dijauhi selagi pelaku mampu dan sanggup.
Abu Tayyib dalam Aunul Ma’bud, menjelaskan tidak jauh beda dengan penjelasan yang diberikan oleh an-Nawawi bahwa ada dua hadis yang seakan-akan bertentangan, namun pada hakikatnya itu tidaklah bertentangan. Satu golongan menjelasakan bahwa kedua hadis itu bisa dikompromikan, namun ada juga golongan lain yang menyatakan bahwa hadis yang menyatakan bahwa nabi minum dalam keadaan berdiri itu muncul terlebih dahulu yang kemudian hadis itu disusul dengan hadis yang menjelaskan akan larangan minum dengan berdiri. Sahabat ‘Ikrimah memberikan penjelasan serta bersumpah bahwa nabi pernah minum dalam keadaan berdiri namun itu karena terpaksa dan beliau sedang berada di atas kendaran. Golongan lain berkata bahwa nahi disini tidaklah bermakna larangan namun bermakna irsyad (membimbing atau menunjukkan) agar meninggalkan yang pertama (minum dalam keadaan berdiri) yang menurut adab itu kurang bagus.
Ibn Qayyim al-Jauzi, jika an-Nawawi dan Abu Tayyib dalam menyikapi dua hadis yang seakan-akan bertentang itu mereka memaparkan akan adanya kemungkinan untuk kompromi namun ada juga kemungkinan nasakh mansukh , di sini Ibn Qayyim berbeda dengan mereka berdua. Ibn Qayyim secara tegas menjelaskan bahwa kedua hadis tersebut (nabi minum dalam keadaanberdiri dan larangan minum berdiri) adalah nasakh mansukh, yakni hadis yang menjelaskan bahwa nabi minum dala keadaan beridiri itu dinasakh oleh hadis larangan minum berdiri.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa hadis nahi dalam hads tersebut beramakna irsyad (menunjukkan), selain itu hukum minum dalam keadaan berdiri adalah makruh tanzih, selagi kita mampu untuk menghindari hal-hal yang makruh sebaiknya itu dilakukan, namun kalaupun dalam keadaan yang sangat terpaksa hal itu boleh dilakukan dengan catatan tidak terlalu sering, karena kalau keseringan bisa berdampak menjadi kebiasaan, dan kebiasaan melakukan hal makruh itu tidaklah baik.
Kritik Sanad Hadis:
Jalaluddin al-Suyuti dalam kitabnya menjelasakn bahwa hadis tersebut berkualitas shahih, setelah mengecek ulang kalitas hadis tersebut serta hadis-hadis lain hasil takhrijnya melalui CD ROM Masu’ah al-Hadis al-Syarif, nampaknya dalam menilai kualitas suatu hadis AL-Suyuti lebih memilih pada kualitas yang mayoritas, karena dari hadis di atas dan juga takhrijnya penulismenemukan dua kulaitas hadis tersebut. Kesemuanya hadis baik hadis pokok ataupun hadis hasil takrij mayoritas berkualitas shahih, sedang yang berkualitas hasan hanya pada riwayat Muslim (3774), Ibn Majah (3415), dan Ahmad (7985).
Contoh 3:
لا تأكلوا بالشمال، فإن الشيطان يأكل بالشمال : ‏(‏ه‏)‏ عن جابر , ‏(‏ح‏)‏
Artinya: “Janganlah makan dengan menggunakan tangan kiri, karena sesungguhnya syaitan makan dengan tangan kiri.
No. Mukharrij Kitab No Hadis
1. Muslim Al-Asribah 3763
2. Ibn Majah Al-Ath’imah 3259
3. Ahmad bin Hanbal Baqi Musnad al-Ansar 13604, 13662, 13930, 13980, 14060, 14178, 14327, 14620, 1438
4. At-Turmudzi Al-Ath’imah 1721
Syarah Hadis:
An-Nawawi, menjelaskan bahwa hadis di atas mengandung makna akan sunnahnya makan dan minum dengan menggunakan tangan kanan dan makruh nya keduanya dengan menggunakan tangan kiri. Dan kalaupun makan dan minum dengan menggunkan tangan kiri hendaknya itu hanya dalam keadaan dharurat saja seperti halnya tangan kanannya luka atau terkilir dan sebagainya. Dan kalaupun dalam keadaan sehat bugar menjauhi perbuatan yang itu serupa dengan perbuatan syaitan haruslah dilakukan.
Muhammad Abdurahman dalam Tuhfatul Ahwadhi, dalam mensyarahi hadis di atas Muhammad Abdurrahman berpegang pada dua pendapat, pendapat pertama menyatakan bahwa nahi dalam hadis tersebut bermakna karahah (makruh) yang mana argumen ini beliau nukil dari ucapan al-Syaukani, sedang pendapat kedua makna nahi dalam ahdis tersebut adalah wajib yakni wajibnya untuk melakukan yang sebaliknya (makan dan minum dengan menggunakan tangan kanan), hal in untuk membedakan antara ni’mat dan penyakit.
Berdasarkan uraian syarah hadis diatas, dapat difahami bahwa nahi dalam hadis tersebut disamping dapat difahami sebagai kemakruhan suatu perbuatan juga bisa menunjukkan akan wajibnya melakukan hal yang sebaliknya.
Kritik Sanad Hadis:
Berdasarkan kualitas yang diberikan oleh Jalaluddin al-Suyuti, hadis tersebut berkualitas hasan. Dan setelah mengkroscek ulang kualitas hadis tersebut serta hasil takhrijnya mayoritas berkualitas hasan, namun demikian ada dua hadis yang berkualitas shahih: at-Turmudzi (1721), Ahmad (1438)

PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa hadis-hadis larangan dalam kitab al-Jami’ al-Saghir kandungan maknanya bukan hanya mengenai makna tahrim (keharaman) yang mana biasanya seseorang dalam memaknai sebuah larangan kebanyakan langsung menjastifikasi bahwa semua larangan itu bermakna tahrim, dari penelitian di atas di dapatkan makna lain dari sebuah nahi (larangan) selain makna tahrim, yang diantaranya adalah makna wajib yang itu sebagaimana didapatkan dalam pensyarahan hadis pada contoh nomor satu, sedang pada contoh nomor dua didapatkan nahi dengan makan irsyad (menunjukkan atau membimbing), dan pada contoh nomor tiga makna nahi nya menunjukkan akan kemakruhan namun ada juga yang berpendapat nahi pada hadis tersebut bermakan kewajiban melakukan yang sebaliknya. Selain itu kualitas dari hadis-hadis yang diteliti rata-rata menduduki tingkatan shahih dan hasan, dengan demikian hadis tersebut bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa hawatir mengenai palsu atau tidaknya hadis itu.

B. Saran-saran
Demikianlah hasil penelitian hadis-hadis tentang larangan dalam kitab al-Jami’ al-Saghir, untuk menunjang dan meningkatkan kajian tentang makna serta kandungan nahi dalam suatu hadis yang selama ini kurang mendapatkan perhatian para cendekiawan, penulis berharap ada penelitian yang melanjutkan bahasan tentang nahi dalam hadis dengan mengkajinya secara mendalam dengan merujuk pada kitab-kitab lain yang belum dipakai dalam penelitian ini sehingga dapat ditemukan makna dan kandungan nahi yang lain serta aspek lain yang belum dibahas dalam penrlitian ini.



Daftar Pustaka
Abdurrahman, Khalid. Ushull al-Tafsir wa Qawaiduha. Beirut: Dar al-Nafais. 1986.
Al-Adzim, al-Fadhil al-Jalil Abu al-Tayyib Muhammad al-Syahir Syamsuddin al-Haq. Aunul Ma’bud, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Al Mubarakfuri, Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim. Tuhfah al-Ahwadhi, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Al-Sindi. Hasyiyah al-Sindi ‘aaibn Majah, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Al-Suyuti, Jalaluddin. Jam’u al-Jawami’, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah. Versi Edisi 2.11.

_________________. Jami’ al-Ahadis, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah. Versi Edisi 2.11.
_________________. al-Jāmi’ al-Śagīr. Beirut: Dar al Fikri. tt.
_________________. Proses lahirnya sebuah Hadits. Bandung: Pustaka. 1985.

Al-Manawi, Abdur Rauf. Faidh al-Qadīr, DVD al-Maktabah al-Syāmilah, ( Solo: Pustaka Ridwana, 2004), jilid 1, hlm. 16.

An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah.

Chirzin, Muhammad. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. 2003.
Depag RI. Ushul Fiqh II, Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad. Jakarta: Proyek
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama. 1986.
Ibn Bakr, Syamsuddin Muhammad. Ta’liqat al-Huffadz, dalam CD ROM Masu’ah al-Hadis al-Syarif
Ismail, Syuhudi. Cara Praktis Mencari Hadis. Jakarta: Bulan Bintang. 1991.

Kamāl, Mustafā (dkk.). ‘Ulum al-Ḥadīś. Jakarta: Depag. 1997.

Sayyid Ahmad al-Hasyimi. Mutiara Ilmu Balaghah dalam Ilmu Ma’ani, terj Muhammad Zuhri dan K Ahmad Chumaidi Umar. Surabaya: Mutiara Ilmu. 1994.
Siswanto, Deding. Ushul Fiqh, Bag 2. Bandung: PT Armico. 1993.
Zarkasyi, Imām. “Kajian Kitab Hadis al Jami’” dalam http.Indoskripsi.com, diakses tanggal 24 April 2009.








DESKRIPSI KITAB, PENGARANG, DAN MASALAH
A. Setting Biografi Jalaluddin al-Suyuti
Al-Şuyūţī nama lengkapnya adalah al-Ḥāfiż ‘Abdurrahmān Ibnu al-Kamāl Abī Bakr Bin Muhammad Bin Sābiq al-Dīn Ibn al-Fakhr ‘Uṣmān Bin Nażīr al-Dīn al-Hamām al-Khudairi al-Şuyūţī. Penulis Mu`jam al-Mallifīn menambahkan: al-Ţālūnī al-Mişrī al-Syāfi`ī, dan diberi gelar Jalāluddīn, serta di panggil dengan nama abdu al-Fadal.
Al-Şuyūţī dilahirkan di wilayah Asyuth sesudah magrib pada malam ahad, bulan Rajab 849 H, begitulah al-Şuyūţī mengatakannya sendiri, dan para sejarawan sepakat tentang tahun kelahiran ini, kecuali Ibnu Iyās dan Isma’īl Pasha al-Bagdādī yang menganggap bahwa kelahiran al-Şuyūţī adalah pada bulan Jumadil akhir. Ia dibesarkan dalam keadaan yatim piatu. Ayahnya meninggal dunia pada malam senin, 5 Safar 855 H, pada saat ia masih berusia 6 tahun.
ó Perjalanan dalam menuntut ilmu:
Pada usia yang amat sangat muda ia telah hafal Al-Quran, dan hafalan ini menjadi sempurna ketika ia menginjak usia 8 tahun. Setelah itu ia lanjutkan dengan menghafal kitab-kitab semisal al-`Umdab, Minhaj al-fiqh, al-Uşūl, dan al-fiyah Ibn Mālik.
Selanjutnya ia menekuni berbagai bidang ilmu dan saat itu usianya baru menginjak usia 16 tahun, yakni pada tahun 864 H. Ia mempelajari Fiqh dan Nahwu dari beberapa guru, dan mengambil ‘ilmu Farāid dari ulama di jamannya yakni Syaikh Syihāb al-Dīn al-Syarmasahī, lalu menimba Ilmu Fiqh kepada syaikh al-Islām al-Balqinī sampai yang disebut terakhir ini wafat, dan dilanjutkan oleh putranya `Ilmuddīn al-Balqinī. Ia kemudian berguru kepada Muhyiddīn al-Kafayāji selama 14 tahun. Dari ulama ini ia menyerap Ilmu al-Tafsir dan Ushul, Lughah dan ma`ani, lalu menyusun buku-buku ringkas tentang ilmu-ilmu ini.
Selain itu, al-Şuyūţī juga telah mendatangi syaikh Safuddīn al-Hanafi dan berulangkali mengkaji kitab al-Mukasyāf dan al-Taudīh. Ia pernah pula dikirim orang tuanya mengikuti majelis yang diselenggarakan oleh al-Ḥāfiẓ Ibnu Hajar, dan mengkaji Şahīh Muslim sampai hampir tamat. Kepada al-Syairafī di samping kitab-kitab lain seperti al-Syifā`, al-Fiyah Ibnu Mālik, Syarh al-Syudūr, al-Mughnī, sebuah kitab Ushul Fiqh Mażab Ĥanafiyah dan syarhnya pada Syams al- Marzabani al-Hanafi, dan mendengarkan pengajian kitab al-Mutawassiţ serta al-Safiyah berikut syarhnya yang ditulis oleh al-Jarudi yang disampaikan oleh ulama ini. Selain itu, mempelajari juga Alfiah karya al-`Irāqi, dan menghadiri pengajian ilmiah yang diberikan al-Balqinī. Dari ulama yang disebut terakhir itu, al-Şuyūţī menyerap ilmu yang tidak terhingga jumlahnya. Sesudah itu ia tinggal bersama al-Syaraf al-Manawī, hingga ulama ini meningggal dunia. Dari ulama ini al-Suyūţi menimba ilmu yang tidak terbilang juga banyaknya. Lalu secara tetap pula mengikuti pengajian yang diberikan oleh Saifuddīn Muhammad Bin Muhammad al-Hanafī, serta pengajian-pengajian yang diberikan oleh al-’Alamah al-Syamanī dan al-Kafijī.
Al-Suyūţī banyak melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu, antara lain ke kota Al-Fayun, Al-Mihlah, Dimyat, lalu menuju Syam dan Hijaj, Yaman, India dan al-Maghrib (Maroko).
Al-Suyūţī kemudian dikenal dengan orang yang begitu dalam ilmunya, dalam tujuh disiplin ilmu : Tafsir, Hadis, Fiqh , Nahwu, Ma’ani, Bayan dan Badi’.
ó Guru dan Murid al-Suyūţī:
Al-Suyūţī mengakui sekitar seratus lima puluhan orang ulama sebagai gurunya, dan yang menonjol diantaranya adalah: Ahmad al-Syarmasāhī, `Umar al-Balqinī, Şālih Bin ‘Umar Bin Ruslān al-Balqinī, Muhyiddīn al-Kafijī, dan Al-Qadhī syarafuddīn al-Manāwī. Selain guru, beliau mempunyai murid yang jumlah ribuan namun yang paling menonjol adalah Syamsuddīn al-Sakhāwī dan Ali al-Asymunī.
ó Pengaruh intelektualitasnya:
Begitu al-Suyūţī menginjak usia 40 tahun, ia segera mengasingkan diri dari keramaian, dan menunjukkan perhatian dalam bidang karang-mengarang, sehingga hanya dalam waktu 22 tahun saja ia telah membanjiri perpustakaan-perpustakaan Islam dengan karya-karyanya dalam berbagai bidang ilmu yang jumlahnya sekitar 600 judul, semisal Tafsir dan Ilmu Tafsir, Hadis dan Ilmu Hadis, Fiqh dan Usul Fiqh, bahasa Arab dengan berbagai cabang ilmunya, Sirah Nabawiyah, dan Tarikh.
Adapun karya al-Suyūţī yang paling menonjol dalam bidang Hadis dan Ilmu Hadis sebagai berikut:
Pertama: Hadis
• Zahr al-Rabbiy ‘Ala Mujtaba li an-Nasā`ī
• Al-Hawalik `Ala Muwat}a` Mālik
• Marqat al-Shū`ud Syarkh Sunan Abi Dāwud
• Jam`u al-Jawāmi`/ al-Jāmi` al-Kabīr
• al-Jāmi` al-Şāgīr
Kedua: Ilmu Hadis
• Tadrīb al-Rāwī bi syarkh Taqrīb al-Nawāwī
• Alfiyah fī al-Ĥadīś
• As`af al-mabtha` bi Rijal al-Muhtha`
• Durr al-Şaĥābah fī Man Nazal al-Nishīr min al-Şahābah
• Naśr al-Abīr fī Takhrīj Ahādīś al-syarkh al-Kabīr
ó Wafatnya:
Kehidup syaikh al-Suyūţī sarat dengan kegiatan menghimpun ilmu dan mengarang. Untuk itu ia mengeram dirinya di rumah dalam kamar khusus yang di sebut Raudhah al-Miqyās dan hampir-hampir tidak beranjak dari situ. Ia terus menerus terlibat dalam hal ini hingga akhir hayatnya sesudah menderita sakit dan kelumpuhan total pada tangan kirinya selama seminggu. Nampaknya karena sakit yang di derita inilah ia lalu meninggal dunia pada hari kamis, 19 Jumadil Ula 911 H di tempat kediamannya, dan dimakamkan di Hausy Qousun.
B. Kitab al-Jami’ al-Saghir
ó Latar Belakang Penulisan Kitab
Usaha ulama ahli hadis pada abad V ditujukan untuk mengklarifikasikan hadis dengan metode menghimpun hadis-hadis yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam suatu kitab hadis. Disamping itu mereka mensyarahkan (menguraikan dengan luas) dan mengikhtisharkan (meringkas) kitab-kitab hadis yang telah disusun oleh ulama terdahulu. Dengan demikian, lahirlah banyak kitab hadis.
Selanjutnya pada abad berikutnya, tepatnya abad X bangkit ulama ahli hadis yang berusaha menciptakan kitab kamus hadis untuk mencari pentakhrij sebuah hadis atau mengetahui dari kitab hadis apa suatu hadis didapatkan. Dan salah satu dari kitab tersebut ialah Kitab kamus al-Jāmi’ al- Şagīr, karya Imam Jalāluddīn al- Suyūţī. Dalam kitab ini terkumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab enam (Kutub al-Sittah) dan lainnya, seperti dalam kitab al Mustadrak karya al Hākim al-Naisābūri, Syu’ab al-Imān karya al Baihāqī, al-Sunan al-Kubrā karya al Baihāqī, dan masih banyak lagi. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 907 H. Adapun Nama lengkap kitab kamus tersebut adalah: االجامع الصغير من أحاديث البشير النّذ ير , dinamakan al-Jāmi’ al-Şagīr karena dalam kitab kamus tersebut memuat sebagian hadis yang telah terhimpun dalam kitab himpunan kutipan hadis yang disususun oleh al-Suyūţī juga, yakni kitab:جمع الجوامع yang sering dikenal juga dengan sebutan الجامع الكبير. sedang dinamakan من أحاديث البشير النّذ ير karena dalam kitab kamus tersebut terdapat hadis-hadis yang didalamya terkandung kabar gembira yang diperuntukkan bagi orang-orang mukmin dan orang-orang yang senantiasa taat kepada Allah, serta peringatan bagi orang-orang kafir dan yang menyimpang dari ajaran agama. Adapun contoh hadis yang berkenaan dengan kabar gembira dan peringatan, dapat dilihat dibawah ini:
إنّ المسلم إذا عاد أخاه المسلم لم يزل في مخرقة الجنّة حتى يرجع
إنّ أبخل الناس من بخل با لسلام, وأعجز الناس من عجز عن الدعاء
ó Sistematika dan Jumlah Hadis dalam Kitab al-Jāmi’ al- Şagīr.
Kitab kamus al-Jāmi’ al- Şagīr terdiri dari dua jilid dengan jumlah hadis 10031, jilid 1 terdiri dari 4367 hadis ( mulai dari hadis-hadis yang yang awalnya أ sampai ر pertengahan awal) dan jilid 2 (mulai dari pertengahan hadis yang yang awalnya ر sampai ي ) terdiri dari 5664 hadis. Adapun penempatan hadis-hadis tersebut diatur berdasarkan urutan huruf-huruf hijaiyyah, dimulai dengan hadis yang huruf pertamanya alif, bā’, tā’ dan seterusnya, begitu juga dengan urutan huruf ke dua, tiga, dan seterusnya. Seperti hadis-hadis yang dimulai dengan huruf bā’, maka huruf berikutnya adalah bā’ dengan alif, bā’ dengan bā’, bā’ dengan tā’ dan seterusnya. Selain itu, penomoran hadis juga berdasarkan pada silsilah urutan hijaiyyah.
Dan untuk lebih jelas mengetahui rincian jumlah hadis yang ada dalam al-Jāmi’ al- Şagīr, dapat dilihat dibawah ini:
1. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf hamzah ( أ ) terdiri dari 3110 hadis.
2. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Ba>’ ( ب ) terdiri dari 79, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Bā’ terdiri dari 37 hadis, jadi total keduanya 116 hadis.
3. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Tā’ ( ت ) terdiri dari 158, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Tā’ terdiri dari 30 hadis, jadi jumlah keduanya 188 hadis.
4. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Şā’ ( ث ) terdiri dari 152, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Şā’ terdiri dari 6 hadis, jadi jumlah keduanya 158 hadis.
5. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Jim ( ج ) terdiri dari 34, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Jim terdiri dari 50 hadis, jadi jumlah keduanya 84 hadis.
6. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Hā’ ( ح ) terdiri dari 115, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Hā’ terdiri dari 101 hadis, jadi jumlah keduanya 216 hadis.
7. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Khā’ ( خ ) terdiri dari 247, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Khā’ terdiri dari 45 hadis, jadi jumlah keduanya 292 hadis.
8. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Dal ( د ) terdiri dari 79, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Dal terdiri dari 65 hadis, jadi jumlah keduanya 144 hadis.
9. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Źal ( ذ ) terdiri dari 39, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Źal terdiri dari 11 hadis, jadi jumlah keduanya 50 hadis.
10. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Rā’ ( ر ) terdiri dari 9 hadis, ini berada pada jilid 1 sedang pada jilid 2 terdiri dari 121, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Rā’ terdiri dari 62 hadis, jadi jumlah totalnya 183 hadis.
11. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Zai ( ز ) terdiri dari 31, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Zai terdiri dari 15 hadis, jadi jumlah totalnya 46 hadis.
12. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Sīn ( س ) terdiri dari 191, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Sīn terdiri dari 64 hadis, jadi jumlah totalnya 255 hadis.
13. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Syīn ( ش ) terdiri dari 69, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Syīn terdiri dari 53 hadis, jadi jumlah totalnya 122 hadis.
14. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Şād ( ص ) terdiri dari 148, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Şād terdiri dari 82 hadis, jadi jumlah totalnya 230 hadis.
15. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Dād ( ض ) terdiri dari 23, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Dād terdiri dari 17 hadis, jadi jumlah totalnya 40 hadis.
16. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Ta’ ( ط ) terdiri dari 81, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Ta’ terdiri dari 29 hadis, jadi jumlah totalnya 110 hadis.
17. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Zā’ (ظ ) terdiri dari 1, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Zā’ terdiri dari 3 hadis, jadi jumlah totalnya 4 hadis.
18. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf ‘Ayn ( ع ) terdiri dari 292, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan‘Ayn terdiri dari 103 hadis, jadi jumlah totalnya 395 hadis.
19. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Gayn ( غ ) terdiri dari 34, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Gayn terdiri dari 39 hadis, jadi jumlah totalnya 73 hadis.
20. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Fā’ ( ف ) terdiri dari 145, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Fa’ terdiri dari 22 hadis, jadi jumlah totalnya 167 hadis.
21. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Qāf ( ق ) terdiri dari 177, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Qaf terdiri dari 27 hadis, jadi jumlah totalnya 204 hadis.
22. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Kāf ( ك ) terdiri dari 251, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Kāf terdiri dari 22 hadis, dan terdapat pula bab (كان) وهي الشمائل الشريفة yang jumlah hadisnya sebanyak 722, jadi jumlah totalnya 995 hadis.
23. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Lām ( ل ) terdiri dari 553, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Lām terdiri dari 11 hadis, jadi jumlah totalnya 564 hadis.
24. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Mīm ( م ) terdiri dari 1373, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Mīm terdiri dari 123 hadis, jadi jumlah totalnya 1496 hadis.
25. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Nūn ( ن ) berjumlah 325 dengan rincian:
 Awal lafadznya ( ن ) terdiri dari 39 hadis.
 Sedang yang awalnya Nūn dengan menggunakan lafadz نهيت terdiri dari 6 hadis,
 Hadis yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Nūn terdiri dari 31 hadis.
 Hadis dalam bāb larangan yang letaknya disendirikan berjumlah 249 hadis.
26. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Waw ( و ) terdiri dari 54, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Waw terdiri dari 35 hadis, jadi jumlah totalnya 89 hadis.
27. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Ha’ ( ه ) terdiri dari 23, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Ha’ terdiri dari 5 hadis, jadi jumlah totalnya 28 hadis.
28. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Lām Alif ( لا ) terdiri dari 294 hadis.
29. Hadis-hadis yang dimulai dengan huruf Yā’ ( ي ) terdiri dari 39, dan yang dimulai dengan al-Ta’rīf yang disusul dengan Yā’ terdiri dari 5 hadis, jadi jumlah totalnya 44 hadis.
ó Metode Penulisan Kitab
Dalam menuliskan hadis pada kitab kamus al-Jāmi’ al- Şagīr, Jalāluddīn al- Suyūţī menggunakan metode-metode tertentu, diantaranya membagi setiap halaman menjadi dua bagian yakni bagian atas dan bawah, bagian atas halaman berharakat dengan berisikan bunyi hadis sedang bagian bawah tanpa harakat yang beisikan keterang hadis. Dan Hampir pada setiap akhir hadis yang dikutip dalam kitab kamus tersebut diterangkan nama sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis yang bersangkutan, nama Mukharrijnya ( periwayat hadis yang menghimpun hadis dalam kitabnya), dan kualitas hadis. Selain itu, dalam menyebutkan keterangan hadis baik yang berkenaan dengan nama Mukharrij atau kualitas, al- Suyuţī menggunakan rumus-rumus tertentu. Adapun rumus-rumus tersebut berjumlah 33 macam, 3 rumus ( ض, ح, ﺻﺤ ) yang menunjukkan kualitas hadis dan 30 yang rumus yang lain menunjukkan nama periwayat hadis yang menghimpun hadis beserta kitabnya.

Hadis-Hadis tentang larangan dalam Kitab al-Jami’ al-Saghir.

A. Nahi dan Hal - Hal yang Berkaitan dengannya.

Secara bahasa, nahi berarti larangan atau cegahan. Sedang secara terminologi, nahi berarti tuntutan atau perintah meninggalkan suatu perbuatan dari yang lebih tinggi kedududkannya kepada yang lebih rendah kedudukannya. Menurut Ulama ahli ushul, nahi adalah suatu lafadz yang digunakan oleh pihak yang lebih tinggi tingkatannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya, supaya tidak mengerjakan suatu pekerajaan.
Khalid Abdurrahman mengartikan nahi sebagai perkataan yang menunjukkan permintaan berhenti dari suatu perbuatan, dari orang yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Sedang menurut Sayyid Ahmad al-Hasyimi adalah tuntutan mencegah perbuatan yang datang dari atasan. Ash-Syafahsi mengatakan bahwa sesungguhnya keharusan larangan adalah meninggalkan yang dilarang sesegera mungkin, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang dilarang.
Dalam penyajian redaksi Kalimat yang itu menunjukkan nahi, biasanya ada beberapa bentuk, yang diantaranya: menggunakan fi’il nahi, lafadz utruk, da’, naha, dan harrama. Larangan seperti halnya perintah, membawa berbagai variasi makna. Meskipun makna pokok dari nahi adalah keharaman (الاصل في النهي للتحريم), tetapi nahi juga seringkali dipakai untuk mengutarakan makna lain, seperti:

1. Kemakruhan perbuatan yang dilarang”
2. Larangan yang mengandung perintah melakukan yang sebaliknya.
3. Nahi bermakna do’a
4. Nahi bermakna Irsyad (bimbingan)
5. Nahi menegaskan keputusasaan
6. Nahi untuk menentramkan.
7. Nahi bermakan Tamanni (harapan)
8. Nahi bermakan Tahdzir (ancaman)

B. Pemaparan Model Redaksi Hadis-Hadis Tentang Larangan
Dalam kitab al-Jami’ al-Saghir, hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan berjumlah 360 hadis, yang mana dari hadis-hadis itu dipaparkan oleh al-Suyuti dengan menggunakan beberapa model redaksi, yang diantaranya adalah dengan menggunakan redaksi awal lafadz hadis naha yang itu dipisahkan dalam satu sub bab tersendiri yang terletak pada akhir bab nun. Selain itu, sama halnya dengan redaksi yang pertama (awal redaksi menggunakan lafadz naha) namun yang sedikit membedakannnya hanyalah pada waqi’nya saja, jika naha yang terdapat pada sub bab khusus itu menggunakan waqi’ mufrad mudzakar ghaib, ini berbeda dengan naha pada model yang kedua ini yang letaknya bercampur dengan hadis – hadis lain yang awal redaksinya menggunakan huruf nun itu menggunakan waqi’ mutakallim wahdah. Model redaksi lainnya adalah dengan menggunakan awal reaksi لا yang disususul dengan fi’il mudahri’(Fi’il Nahi).
Dari deskripsi itu dapat diketahui bahwa hadis-hadis tentang larangan dalam kitab al-Jāmi’ al- Şagīr dipaparkan dengan menggunakan tiga macam bentu redaksi, diantaranya:
1. Hadis-hadis dengan awal readaksi lafadznya menggunakan lafadz naha dengan waqi’ mutakallim wahdah, ini berjumlah sebanyak 6 hadis, adapun mengenai contohnya bisa dilihat sebagai berikut:
٩٢٨٥نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها, فإنّها تذ كّركم الموت
٩۲۸٦نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها, فإنّلكم فيها عبرة
٩٢٨٧نهيت عن التعرّي
٩٢٨٩نهيت عن أن أمشي عريانا
٩٢٩۰نهيت عن المصلّين
٩٢٩١نهيناعن الكلام في الصلاة, إلاّ با لقرآن و الذكر
2. Hadis-hadis dengan awal redaksi lafadznya menggunakan lafadz naha dengan waqi’ mufrad mudzakar ghaib yang itu terletak pada sub bab khusus, berjumlah 249 hadis, sebagian redaksi itu seperti contoh dibawah ini:
نهى عن بيع الثمرة تى يبدو صلاحها, وعن النخل حتى يزهو
نهي عن أكل كل ذي ناب من السباع, و عن كل ذي مخلب من الطير
نهى أن نستقبل ا لقبلتين ببول أو غائط
3. Hadis-hadis dengan awal readaksi lafadznya menggunakan lafadz لا yang disususul dengan fi’il mudahri’. Ini berjumlah sebanyak 105, sebagian contoh hadis-hadis tersebut seperti:
۹۸٦٦ لا تمسّ القران إلاّ وأنت طاهر
٩٨٥٧ لا تكبروا في الصلاة حتى يفرغ المؤذن من أذانه
٩٨٤٢ لا تقتلوا الجراد, فإنّه من جند الله الأعظم
٩٧٧٩ لا تسافر المرأة ثلاثة أيام إلاّ مع ذي محرم
٩٧٢١ لا تأكلوا با الشمال فإنّ الشيطان يأكل بالشمال
۹۸۱٦ لا تصوموا يوم الجمعة مفردا
Namun demikian, dari ketiga macam model redaksi hadis di atas bagaimana dengan makna dan kandungan dari setiap hadis yang berkenaan dengan larangan tersebut, apakah makna dan kandungan kesemuanya hadis-hadis itu sama atau ada hal lain yang membedakannya.
C. Pensyarahan Hadis dan Kualitasnya
Dari sekian banyak hadis yang berkenaan dengan larangan, disini penulis berusaha mensyarahi sebagian hadis dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai makna dari hadis-hadis tentang larangan tersebut, dalam hal ini penulis mengambil 3 hadis yang diambil dari masing-masing model redaksi tersebut:
Contoh 1:
نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها, فإنّها تذ كّركم الموت (رواه الطبراني, ح)
Artinya: “Aku melarangmu untuk zirah kubur, maka berziarahlah karena hal itu bisa mengingatkanmu akan kematian”
Adapun mengenai hasil takhrij hadis tesebut antara lain:
No. Mukharrij Kitab No Hadis
1. Muslim Al-Janaiz 1623
2. Nasa’i Al-Janaiz
Adz-Dhuhaya
Al-Asribah 2005, 2006
4353
5557, 5558
3. Daud Janaiz
Al-Asyribah 2816
3212
4. Ahmad bin Hanbal Baqi Musnad al-Ansar 21880, 21925, 21937, 21960, 21974

Syarah Hadis:
An-Nawawi: menjelaskan bahwa hadis ini merupakan salah satu hadis yang didalamnya terdapat aplikasi nasakh mansukh, ini akan tampak jelas pada kisah seorang lelaki yang mana saat ia akan melakukan ziarah kubur nabi melarangnya, akan tetapi larangan itu kemudian dinasakh dengan hadis itu sendiri tepatnya pada kelanjutan redaksi hadis tersebut, yang menunjukkan perintah akan dilakukannya ziarah kubur, adapun untuk kaum wanita masalah ziarah kubur masih menjadi perdebatan diantara para ulama.
Muhammad Abdurahman dalam Tuhfatul Ahwadhi, menjelaskan bahwa setelah datang larangan akan ziarah kubur, datang perintah untuk melakukan ziarah kubur yang mana ini terlihat pada kejadian yang mana Nabi Muhammad saat memeberikan izin untuk berziarah kubur, disamping itu beliau juga berziarah ke makan ibunya. Ibn ‘Amr mengatakan bahwa ziarah kubur itu wajib dilakukan karena itu bisa mengingatkan umat manusia akan adanya kematian yang sewaktu-waktu bisa datang merenggut nyawa manusia.
As-Sindi, mengatakan bahwa dalam hadis tersebut terdapat nasakh dan mansukh, adapun mengenai dibolehkannya ziarah kubur itu bersifat umum dan tidak hanya diperuntukkan untuk para kaum adam saja, namun para kaum hawa juga mendapatkan rukhsah pembolehan itu, hal ini dengan mempertimbangkan bahwa dalam redaksi hadis tersebut tidaka ada lafadz atau ‘illah yang menunjukkan akan dilarangnya kaum hawa untuk berziarah kubur.
Dari beberapa uraian syarah hadis tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa adanya larangan yang disusul dengan perintah itu menunjukkan akan bolehny asuatu perbuatan untuk dilakukan bahkan wajibnya suatu pekara untuk dikerjakan, dan oleh karenanya nahi di sini bermakna perintah bukan larangan lagi.
Kritik sanad hadis:
Berdasrakan keterangan akan kualitas hadis yang tertera dalam kitab al-Jami’ al-Saghir, menurut al-Suyuti hadis di atas berkualitas hasan. Dan untuk membuktikan akan kehasanan hadis tersebut, penulis di sisni melakukan kroscek ulang dengan menggunakan perantara CD ROM Masu’ah al-Hadis al-Syarif, dengan mengecek ulang kualiatas hadis tersebut serta hadis-hadis hasil takhrijnya, dan itu menunjukkan bahwa hadis itu memangberkualaitas hasan, sebab dari beberapa rentetan sanadnya, ada dua rawi yang menduduki tingkatan ke 4 dan ke 5 yang mana itu merupakan salah satu bukti akan kehasanan hadis itu.
Contoh 2:
نهى عن الشرب قائما و الأكل قائما ‏(‏صح‏)‏
Artinya: “Rasulullah melarang minum dengan berdiri dan makan dengan berdiri”
Adapun mengenai hasil takhrij hadis tesebut antara lain:
No. Mukharrij Kitab No Hadis
1. Muslim Al-Asribah 3774, 3772, 3771
2. Ibn Majah Al-Asribah 3415
3. Ahmad bin Hanbal Baqi Musnad al-Ansar 7985, 11740, 11888, 12033
4. Darimi Al-Asribah 2034
5. Turmudzi Al-Asribah ‘an Rasulullah 1800
6. Abu Daud Al-Asribah 3229

Syarah Hadis:
An-Nawawi, menjelaskan bahwa Nabi SAW melarang minum dalam keadaan berdiri, bahkan dalam riwayatnya Abu hurairah dijelaskan bahwa barang siapa terlanjur minun dalam keadaan berdiri hendaknya ia memuntahkan apa yang ia telah ia minum, namun demikian diriwayatkan oleh Ibn Abbas bahwa Nabi minum air zam—zam dalam keadaan berdiri, dari dua riwayat tersebut ada makna yang seakan-akan itu bertentangan, namun demikian setelah diteliti kedua riwayat tersebut bisa dikompromikan. Adapun mengenai hukum meminum dalam keadaan berdiri itu adalah makruh tanzih (makruh yang mendekati halal). Jadi, dalam kedua hadis tersebut nabi menggambarkan akan adab minum, dan dari dua riwayat itu tampak bahwa kalaupun seseorang terpaksa minum dalam keadaan berdiri maka itu hukumnya makruh, dan kalaupun tidak dalam keadaan terpaksa untuk minum dalam keadaan berdiri sebaiknya minum dalam keadaan duduk, sebab suatu hal yang hukumnya makruh lebih baik dijauhi selagi pelaku mampu dan sanggup.
Abu Tayyib dalam Aunul Ma’bud, menjelaskan tidak jauh beda dengan penjelasan yang diberikan oleh an-Nawawi bahwa ada dua hadis yang seakan-akan bertentangan, namun pada hakikatnya itu tidaklah bertentangan. Satu golongan menjelasakan bahwa kedua hadis itu bisa dikompromikan, namun ada juga golongan lain yang menyatakan bahwa hadis yang menyatakan bahwa nabi minum dalam keadaan berdiri itu muncul terlebih dahulu yang kemudian hadis itu disusul dengan hadis yang menjelaskan akan larangan minum dengan berdiri. Sahabat ‘Ikrimah memberikan penjelasan serta bersumpah bahwa nabi pernah minum dalam keadaan berdiri namun itu karena terpaksa dan beliau sedang berada di atas kendaran. Golongan lain berkata bahwa nahi disini tidaklah bermakna larangan namun bermakna irsyad (membimbing atau menunjukkan) agar meninggalkan yang pertama (minum dalam keadaan berdiri) yang menurut adab itu kurang bagus.
Ibn Qayyim al-Jauzi, jika an-Nawawi dan Abu Tayyib dalam menyikapi dua hadis yang seakan-akan bertentang itu mereka memaparkan akan adanya kemungkinan untuk kompromi namun ada juga kemungkinan nasakh mansukh , di sini Ibn Qayyim berbeda dengan mereka berdua. Ibn Qayyim secara tegas menjelaskan bahwa kedua hadis tersebut (nabi minum dalam keadaanberdiri dan larangan minum berdiri) adalah nasakh mansukh, yakni hadis yang menjelaskan bahwa nabi minum dala keadaan beridiri itu dinasakh oleh hadis larangan minum berdiri.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa hadis nahi dalam hads tersebut beramakna irsyad (menunjukkan), selain itu hukum minum dalam keadaan berdiri adalah makruh tanzih, selagi kita mampu untuk menghindari hal-hal yang makruh sebaiknya itu dilakukan, namun kalaupun dalam keadaan yang sangat terpaksa hal itu boleh dilakukan dengan catatan tidak terlalu sering, karena kalau keseringan bisa berdampak menjadi kebiasaan, dan kebiasaan melakukan hal makruh itu tidaklah baik.
Kritik Sanad Hadis:
Jalaluddin al-Suyuti dalam kitabnya menjelasakn bahwa hadis tersebut berkualitas shahih, setelah mengecek ulang kalitas hadis tersebut serta hadis-hadis lain hasil takhrijnya melalui CD ROM Masu’ah al-Hadis al-Syarif, nampaknya dalam menilai kualitas suatu hadis AL-Suyuti lebih memilih pada kualitas yang mayoritas, karena dari hadis di atas dan juga takhrijnya penulismenemukan dua kulaitas hadis tersebut. Kesemuanya hadis baik hadis pokok ataupun hadis hasil takrij mayoritas berkualitas shahih, sedang yang berkualitas hasan hanya pada riwayat Muslim (3774), Ibn Majah (3415), dan Ahmad (7985).
Contoh 3:
لا تأكلوا بالشمال، فإن الشيطان يأكل بالشمال : ‏(‏ه‏)‏ عن جابر , ‏(‏ح‏)‏
Artinya: “Janganlah makan dengan menggunakan tangan kiri, karena sesungguhnya syaitan makan dengan tangan kiri.
No. Mukharrij Kitab No Hadis
1. Muslim Al-Asribah 3763
2. Ibn Majah Al-Ath’imah 3259
3. Ahmad bin Hanbal Baqi Musnad al-Ansar 13604, 13662, 13930, 13980, 14060, 14178, 14327, 14620, 1438
4. At-Turmudzi Al-Ath’imah 1721
Syarah Hadis:
An-Nawawi, menjelaskan bahwa hadis di atas mengandung makna akan sunnahnya makan dan minum dengan menggunakan tangan kanan dan makruh nya keduanya dengan menggunakan tangan kiri. Dan kalaupun makan dan minum dengan menggunkan tangan kiri hendaknya itu hanya dalam keadaan dharurat saja seperti halnya tangan kanannya luka atau terkilir dan sebagainya. Dan kalaupun dalam keadaan sehat bugar menjauhi perbuatan yang itu serupa dengan perbuatan syaitan haruslah dilakukan.
Muhammad Abdurahman dalam Tuhfatul Ahwadhi, dalam mensyarahi hadis di atas Muhammad Abdurrahman berpegang pada dua pendapat, pendapat pertama menyatakan bahwa nahi dalam hadis tersebut bermakna karahah (makruh) yang mana argumen ini beliau nukil dari ucapan al-Syaukani, sedang pendapat kedua makna nahi dalam ahdis tersebut adalah wajib yakni wajibnya untuk melakukan yang sebaliknya (makan dan minum dengan menggunakan tangan kanan), hal in untuk membedakan antara ni’mat dan penyakit.
Berdasarkan uraian syarah hadis diatas, dapat difahami bahwa nahi dalam hadis tersebut disamping dapat difahami sebagai kemakruhan suatu perbuatan juga bisa menunjukkan akan wajibnya melakukan hal yang sebaliknya.
Kritik Sanad Hadis:
Berdasarkan kualitas yang diberikan oleh Jalaluddin al-Suyuti, hadis tersebut berkualitas hasan. Dan setelah mengkroscek ulang kualitas hadis tersebut serta hasil takhrijnya mayoritas berkualitas hasan, namun demikian ada dua hadis yang berkualitas shahih: at-Turmudzi (1721), Ahmad (1438)

PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa hadis-hadis larangan dalam kitab al-Jami’ al-Saghir kandungan maknanya bukan hanya mengenai makna tahrim (keharaman) yang mana biasanya seseorang dalam memaknai sebuah larangan kebanyakan langsung menjastifikasi bahwa semua larangan itu bermakna tahrim, dari penelitian di atas di dapatkan makna lain dari sebuah nahi (larangan) selain makna tahrim, yang diantaranya adalah makna wajib yang itu sebagaimana didapatkan dalam pensyarahan hadis pada contoh nomor satu, sedang pada contoh nomor dua didapatkan nahi dengan makan irsyad (menunjukkan atau membimbing), dan pada contoh nomor tiga makna nahi nya menunjukkan akan kemakruhan namun ada juga yang berpendapat nahi pada hadis tersebut bermakan kewajiban melakukan yang sebaliknya. Selain itu kualitas dari hadis-hadis yang diteliti rata-rata menduduki tingkatan shahih dan hasan, dengan demikian hadis tersebut bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa hawatir mengenai palsu atau tidaknya hadis itu.

B. Saran-saran
Demikianlah hasil penelitian hadis-hadis tentang larangan dalam kitab al-Jami’ al-Saghir, untuk menunjang dan meningkatkan kajian tentang makna serta kandungan nahi dalam suatu hadis yang selama ini kurang mendapatkan perhatian para cendekiawan, penulis berharap ada penelitian yang melanjutkan bahasan tentang nahi dalam hadis dengan mengkajinya secara mendalam dengan merujuk pada kitab-kitab lain yang belum dipakai dalam penelitian ini sehingga dapat ditemukan makna dan kandungan nahi yang lain serta aspek lain yang belum dibahas dalam penrlitian ini.



Daftar Pustaka
Abdurrahman, Khalid. Ushull al-Tafsir wa Qawaiduha. Beirut: Dar al-Nafais. 1986.
Al-Adzim, al-Fadhil al-Jalil Abu al-Tayyib Muhammad al-Syahir Syamsuddin al-Haq. Aunul Ma’bud, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Al Mubarakfuri, Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim. Tuhfah al-Ahwadhi, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Al-Sindi. Hasyiyah al-Sindi ‘aaibn Majah, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Al-Suyuti, Jalaluddin. Jam’u al-Jawami’, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah. Versi Edisi 2.11.

_________________. Jami’ al-Ahadis, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah. Versi Edisi 2.11.
_________________. al-Jāmi’ al-Śagīr. Beirut: Dar al Fikri. tt.
_________________. Proses lahirnya sebuah Hadits. Bandung: Pustaka. 1985.

Al-Manawi, Abdur Rauf. Faidh al-Qadīr, DVD al-Maktabah al-Syāmilah, ( Solo: Pustaka Ridwana, 2004), jilid 1, hlm. 16.

An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah.

Chirzin, Muhammad. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. 2003.
Depag RI. Ushul Fiqh II, Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad. Jakarta: Proyek
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama. 1986.
Ibn Bakr, Syamsuddin Muhammad. Ta’liqat al-Huffadz, dalam CD ROM Masu’ah al-Hadis al-Syarif
Ismail, Syuhudi. Cara Praktis Mencari Hadis. Jakarta: Bulan Bintang. 1991.

Kamāl, Mustafā (dkk.). ‘Ulum al-Ḥadīś. Jakarta: Depag. 1997.

Sayyid Ahmad al-Hasyimi. Mutiara Ilmu Balaghah dalam Ilmu Ma’ani, terj Muhammad Zuhri dan K Ahmad Chumaidi Umar. Surabaya: Mutiara Ilmu. 1994.
Siswanto, Deding. Ushul Fiqh, Bag 2. Bandung: PT Armico. 1993.
Zarkasyi, Imām. “Kajian Kitab Hadis al Jami’” dalam http.Indoskripsi.com, diakses tanggal 24 April 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar